Chapter 1. I am in Misery

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah menyerahkan surat pengunduran diri dan memutuskan untuk pulang sebelum menyesal. Ini aneh, memang. Selama ini aku selalu mencari alasan supaya tidak bersinggungan kembali dengan masa lalu, tetapi justru ketika alasan itu lenyap sama sekali, keinginan itu membuncah.

Sejak pertunanganku kandas dan keterpaksaan untuk menghubungi keluargaku tak ada lagi, aku malah rindu rumah. Setiap hal kecil yang kulewati sepanjang perjalanan menuju kantor dan pulang ke apartemen, seakan meniupkan aroma nostalgia.

Setiap bocah yang mengantre taiyaki di Harajuku mengingatkanku pada si bungsu Kefan. Semua wajah dingin pria-pria dalam setelan resmi di dalam kereta menuju stasiun Shibuya membuatku ingin bertemu kembali dengan Kal-el. Wajah Kanaya selalu berkelebat di antara gadis-gadis belia dalam seragam sekolah yang berpapasan denganku setiap pagi. Shinjuku pada malam hari mau tidak mau membawa anganku pada Kenang yang sedang berada pada masa transisi.

Aku sudah menanggalkan banyak tanggung jawab sebagai sulung dari kami berlima. Kadang aku bertanya-tanya, apakah ayah bisa mengatasi segalanya? Bagaimana Kanaya melewatkan masa remaja tanpa seorang ibu? Bagaimana kondisi kesehatan Kefan? Atau apakah Kal-el sudah lulus sekolah kedokteran? Bagaimana Kenang?

Apakah mereka berempat akhirnya tahu mengapa aku tiba-tiba memutuskan untuk mengambil tawaran bekerja di Tokyo?

"Kenan-san! You can use the bath now!"

Aku menggosok wajahku yang kebas karena udara dingin bulan Januari. Tidak ada salju turun natal ini, tapi dinginnya cukup membuat ujung-ujung jariku kaku. Selain pemanas, aku bahkan sampai menata kotatsu.

Dengan malas, aku melewati tubuh molek Chika yang hanya berbalut handuk. Bukannya segera berpakaian, dia malah asyik memainkan ponsel.

"Put your clothes on. You'll catch a cold," aku memperingatkannya.

Gadis itu hanya berdeham sebagai respons. Saat aku membuka pintu kamar mandi, dia berseru, "Where will we do it tonight, Kenan-san?"

"Anywhere you want!" jawabku.

"Will we be eating dinner tonight before we hit the bed?"

"I have taken my dinner."

"Well then ... I don't need to get dressed!"

Mungkin ini akan jadi kali terakhir Chika bermalam di sini. Aku belum memberi tahu, tapi juga tidak berencana melakukannya. Kemungkinan besar, aku baru akan mengabarkan mengenai rencanaku tinggal di Indonesia setelah aku sampai di sana.

Perempuan ini cukup brutal, dia bisa menggagalkan rencana yang sudah kususun matang-matang.

Maksudku, kalau dia tidak suka aku pergi setelah beberapa kali kami tidur bersama, dia bisa saja mensabotase kepergianku. Mengurungku di apartemen, misalnya, memasukkan obat tidur dalam minumanku supaya aku tidak bangun untuk mengejar pesawat, atau melemparku dari balkon. Percayalah. Tidak seorang pun ingin bikin masalah dengan cewek pribumi, jika kamu kebetulan tenaga kerja asal negara berkembang yang kurang diperhitungkan. Mereka bisa saja tergila-gila pada staminamu di atas tempat tidur, atau ukuran alat kelaminmu, tapi nggak akan suka kalau dicampakkan.

Sewaktu aku keluar dari kamar mandi, Shitaka Chika sudah berbaring di atas kasur kamar tidurku. Tubuhnya berbalut selimut—aku yakin dia telanjang—sementara sebuah kacamata baca bertengger di hidung mungilnya. Bola mata bola pingpongnya bergerak-gerak menatap layar lap top.

"Hey. Maaf aku tidak bawa birku sendiri. Aku ambil dari kulkas," cengirnya, mengangkat kaleng bir yang semula dia letakkan di night table.

"Help yourself," ucapku, tanpa menghentikan langkahku ke arah lemari baju.

"Kita tidak akan melakukannya sekarang?" tanyanya, mengangkat wajah dari pekerjaan yang tampil di layar, menemukanku yang tengah mencari celana piama.

Aku mengenakan celana dalam. "Kelihatannya kamu sedang sibuk."

"No. Stop!" larangnya saat aku berniat mengenakan celana. Setelah menyingkirkan laptop, dia menyingkap selimut dari tubuhnya, memaparkan tubuh polosnya yang tanpa busana.

Meski ini bukan yang pertama, jantungku tetap berhenti berdetak sebentar melihat wanita bugil menawarkan diri padaku dari balik selimut. Aku menyukai selimut di atas tubuh telanjang, lebih menggetarkan daripada yang terekspos sepenuhnya. Dan wanita Jepang selalu memenuhi fantasiku sejak remaja. Mereka mungil, bening, dan manis.

Sebulan yang lalu aku masih bersama Hanamura Shizuka, gadis yang kucintai sejak dua tahun belakangan. Dia sempurna. Seorang wanita manis yang ceriwis, cerdas, dan punya inisiatif besar dalam berhubungan seks. Kami bertunangan selama dua bulan, sebelum aku memergokinya tidur dengan teman minumku dari Sapporo.

Kemudian, Chika membawaku pulang dalam keadaan mabuk dan depresi karena putus cinta. Kami bekerja di kantor dan bagian yang sama. Sejak malam itu hubungan kami berkembang dari partner kerja menjadi partner seks. Aku sedang tidak berminat berhubungan serius, sehingga selalu menghindari bersinggungan dengan pembahasan mengenai perasaan dengannya.

Masih ada perasaan terkalahkan dari patah hati sebelumnya. Egoku rasanya belum sanggup memulai kembali setelah kegagalan yang memalukan. Asami—laki-laki itu—cuma penjaga toko kelontong di Sapporo. Satu-satunya kelebihan cowok itu dariku hanya masa otot yang dia dapatkan dari mengangkut berkerat-kerat bir.

Aku pikir, aku akan mampu melewatinya setelah beberapa kali menghadiri acara minum, atau beberapa kali tidur dengan siapa saja yang mau.

Kenyataannya tidak. Putus cinta mengubahku menjadi sentimentil, aku teringat masa lalu, merasa sendirian di negeri asing. Kesepian.

Bayangan mengerikan menghantui hari-hariku sesudahnya. Sepulang kerja, mendapati apartemen yang sepi, atau pada akhir pekan window shopping sendirian, membuatku nelangsa. Aku punya banyak teman sesama tenaga kerja asing di sini, atau kawan-kawan pribumi yang menyenangkan buat diajak bersenang-senang, tapi harga diriku sebagai pria yang diselingkuhi membuatku enggan menghubungi mereka. Akhirnya, aku semakin terpuruk dalam kesendirian.

Dan satu hal yang dulu karena kecewa pernah menjadi hal yang paling tidak kuinginkan, mendadak muncul dan menguasaiku. Aku ingin pulang. Ingin pulang. Ingin kembali berada di lingkaran orang-orang yang mengenalku, dan menganggapku sebagai keluarga.

Bagaimana kalau aku tiba-tiba tertabrak mobil, atau jatuh dari gedung tinggi, atau bahkan bunuh diri? Tidak akan ada yang memedulikanku di negara yang angka kematiannya lebih tinggi dari angka kelahiran ini.

Aku membutuhkan keluargaku.

"Arrrgh!" aku mengerang. Pikiran negatif membuatku agak sulit menahan diri dari ejakulasi dini. Aku menahan kepala Chika yang bersarang nyaman di antara dua pahaku. Mulut kecilnya menganga, matanya menatapku penuh tanda tanya. "I will end very soon if you keep doing that."

Chika menyeringai, "Is it that good?" tanyanya bangga.

Aku bahkan tidak memikirkan enak atau tidaknya digituin. Matinya hati membuat keinginanku untuk menahan diri demi pasangan lenyap entah kemana. Semua reaksi dan aktivitas seksualku setelah patah hati hanya berjalan naluriah, tidak terdorong hasrat atau kebutuhan. Jika dia bilang mau menginap, itu berarti kami akan melakukan hubungan seksual. Jika tidak, berarti aku akan menghabiskan waktu menatap kosong layar televisi, atau berjalan-jalan seputar Shibuya. Makan ramen, atau cuma beli bento dari Sevel. Tidur sendirian, dan bangun tengah malam karena nyeri di ulu hati.

Kadang aku bertanya-tanya, mana yang lebih terasa sakit, hatiku, atau harga diriku yang luka?

Well ... ngomong-ngomong, seperti biasa pinggul Chika betul-betul liat dan sintal. Kulitnya halus dan lembut. Saat tersentuh tanganku, ada rasa khawatir jika aku menodai bening warna kulitnya. Namun tetap saja, sebelum aku mengeksplorasi lebih jauh, aku sudah muncrat duluan.

"Sorry, I am tired," ucapku sambil berguling ke samping, tidak mengacuhkan gerutuan Chika.

Mungkin aku nggak perlu khawatir Chika bakal marah kalau aku pergi, dia akan pergi dengan sendirinya kalau keadaanku seperti ini. Bukannya aku tidak peduli, tapi kelihatannya gadis Jepang—sejak Shizu berkhianat—tidak lagi membuatku excited. Dia nggak mau bereaksi lagi. Jadi, aku membiarkan Chika ketak-ketik kembali dengan laptopnya, sementara aku tidur.

Namaku Lucius Kenan. Aku pria bebas yang habis putus cinta. Setelah meninggalkan Jepang besok, aku akan jadi manusia baru. Malam ini, biar sajalah dulu.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro