13 - Senyuman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hey, wahai seorang yang kemarin berlarian di bawah syahdunya hujan.

Gerimis yang ingin kusimpan dalam sebuah toples kecil. Agar selalu kuingat peringatan darimu.

Aku teringat kala itu...

"Jangan hujan-hujan!" katamu. Kau menarik pergelangan tanganku. Menghindarkannya pada hujan sore ini.

"Tapi aku pengen!" Aku mengerucutkan bibirku. Menatapmu sinis.

"Ngga boleh!" pekikmu. Kau menarik pergelangan tanganku ke arahmu.

Tubuh ringkihku terhuyung ke arahmu. Jatuh. Ya, aku terjatuh dalam pelukanmu.

Hujan kala itu mereda. Menjadi gerimis yang mengisi gendang telingaku. Aku mendekam dalam peluk tubuhmu.

"Jangan, ini dingin. Kamu juga nggak bawa jaket. Aku hanya tak mau kau sakit," katamu. Kau meletakkan dagumu di ubun-ubunku. Sedang kepalaku bersandar di dadamu. Aku dapat mendengar degup jantungmu kawan.

"Ya sudahlah," kataku pasrah.

"Hey, tanpa perlawanan. Manisnya," katamu.

Kau itu bossy. Aku tak suka. Aku memukul dadamu pelan. Menghindarkan kepalaku dari dagumu yang membuatnya tak bisa bergerak dalam pelukanmu.

Aku pergi. Di tengah hujan yang mulai kembali deras.

"Kubilang jangan hujan-hujan!" katamu. Kau mengejarku. Aku terus saja berlari. Tertawa terlepas di bawah tetesan hujan yang berjatuhan. Membuat segala yang berada di bawahnya basah, termasuk aku dan kamu.

"Kejar aku! Hentikan aku bermain hujan kalau bisa!" teriakku. Aku terus berlari hingga lelah memaksaku berhenti. Segera saja kau menangkapku. Mendekap tubuhku yang basah. Aku tetap tersenyum. Bahkan tawa menyebar di langit-langit mendung. Dengan hujan yang senantiasa turun.

"Lepasiin!!" kataku, "Tolonglah, lepasin aku."

Kau tetap diam. Mendekapku yang kini kian basah. Hingga perlahan dekapanmu merenggang. Bersamaan dengan petir yang menyambar.

Kontan saja aku berbalik dan memelukmu lagi. Aku takut kilatan itu. Petir itu menyambar. Juga tak lupa gemuruh yang membuatku semakin merasa ketakutan.

Debit air yang turun sepertinya sudah melampaui perkiraan. Tak ada lagi celah kosong. Hanya ada air yang tumpah dari langit jelaga.

Kau memelukku. Kita berdua menghindari hujan. Lihatlah, sekarang kita sama-sama kedinginan.

"Sudah kubilangkan jangan hujan-hujan," katamu pelan.

Aku hanya menunduk. Kau benar-benar terlihat letih. Tak lagi antusias dengan apapun yang aku lakukan sekarang.zm

Aku menangis sejadi-jadinya. Tapi tak ada suara yang menggambarkan tangis dengan air mata yang bercampur dengan air hujan yang masih menempel pada kedua pipiku.

Aku takut. Kau benar-benar akan pergi. Kedua tanganku bergetar. Dengan tubuh ringkihku yang masih sanggup bertahan ditiup helaan angin.

"Hey, apa yang kau lakukan?" Kau menegakkan tubuhku. Memaksa kepalaku yang berat mendongak.

"Matamu merah, jangan menangis lah," kau kembali menyemangatiku.

Perlahan tanganmu mendekap pundakku. Mendekatkan tubuhku yang gemetar pada sosokmu yang selalu bisa memberi kehangatan.

"Kau benar akan pergi?"

"Ya,"

"Tak bisakah kau tetap disini?"

Kau hanya menggelengkan kepalamu. Membuatku kembali menyandarkan kepalaku yang berat ini pada pundakmu.

"Tenanglah, aku tak akan lama. Saat mentari pulang aku kan kembali padamu."

"Bisakah?"

"Ya,"

"Tapi aku takkan percaya. Pergilah. Aku akan mrnunggu kehadiranmu. Hey, janganlah terlalu baper," kataku. Sekarang senyumku berada tepat pada ujung bibirku. Membuat giu putihku terlihat seperti bulan sabit.

"Ada apa kau ini?" tanyamu.

"Kita masih bisa bersama-sama. Masih ada ponsel yang akan menghubungkan kita. Kita hanya perlu kepercayaan satu sama lain." Aku mencubit pipimu. Menariknya hingga elastisitas maksimal.

"Sakit Sya!" teriakmu. Aku melepaskan tarikan di pipimu.

Aku tertawa. Memaki perasaan yang terkadang perlu dipendam sendiri.

"Ayo pulang Sya, nanti kamu langsung mandi, ganti baju. Oke!" Katamu. Seorang Guntur yang bisa mendekapku. Menjadi Isya yang biasanya tersenyum. Bukan

"Ayo! Maaf ya, kamu jadi basah semua," aku begitu menyesali prilakuku.

"Tak apa, ayo pulang!" Kau mengulurkan tanganmu padaku.

Aku mendongakkan kepala. Kalau saja kala itu aku segera menggeng tanganmu. Untuk yang terakhir kalinya.

Kau segera berlari meninggalkanku.

"Guntur!" pekikku.

"Sorry Sya, ini udah jam enam sore. Aku harus ke bandara. Sorry, Sya. Kali ini aku nggak bisa nganterin pulang!"

Guntur melenggang pergi menembus hujan. Meninggalkan aku di pelataran cafe yang kini kian ramai.

Semua mata tertuju padaku. Lihatlah, aku macam gelandangan yang baru saja dapat tempat berteduh.

Lebih baik aku mulai berjalan pulang, sebelum langit kian menghitam.

Salvinamei
07.04
11/11/2016

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro