[1] Sang Kapten

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Duk! Duk! Duk!

Bunyi bola basket yang memantul di atas lantai parket menggema di seluruh ruangan. Decitan sol sepatu mengiringi pergerakan pemain bernomor punggung lima yang bergerak sangat cepat. Dua orang pemain lawan yang menghalangi dilewati dengan mudah. Semua menjadi tegang. Waktu seakan berhenti saat pemain bernomor punggung lima itu melompat dengan bola oranye di atas kepala.

Shoot!

Dan ....

"MASUK!"

Priiiit!

"KYAAAA!"

Jeritan para pendukung menjadi heboh. Nama Sang Kapten yang telah menutup permainan itu tak hentinya dielukan. SMA Magentha menang. Dengan ini, sekolah menengah atas yang memiliki ciri khas seragam berwarna merah muda keunguan itu resmi menjadi wakil provinsi dalam kejuaraan bola basket yang disponsori oleh perusahaan alat olah raga terkenal di dunia.

Sorak sorai penonton membahana di seluruh ruangan. Pemain muda bernomor punggung lima itu hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dua poin pamungkas yang baru saja ia masukkan telah resmi membawa tim basket SMA Magentha menjadi juara tingkat provinsi di ajang kejuaraan itu.

"Gila lo, Ri! Keren!" sorak teman satu timnya sambil mengacungkan dua jempol.

Riri, pemain bernomor punggung lima itu kembali tersenyum sambil menatap ratusan penonton yang masih bersorak gembira. Hatinya merasa senang. Setidaknya sebagai kapten tim, ia tak boleh mengecewakan para suporter setianya ini.

Setelah bersalaman dengan tim lawan dan mendapatkan tropy-nya, mereka pun kembali ke ruang ganti.

Tanpa diduga, seorang penonton putri melompat ke hadapannya dan langsung mencium pipi Riri.

"I LOVE YOU, RIRI!" teriak gadis itu histeris.

Suasana menjadi kacau. Puluhan penggemar lain berusaha ikut menerobos dan mengejarnya.

"Kabur, Ri!" Seseorang menarik tangan Riri, dan mereka pun berlari menjauhi para penggemar yang sudah mulai hilang kewarasannya.

***

Sampai di ruang ganti, napas mereka berdua terengah-engah. Untunglah para penggemar itu tak bisa mengikuti mereka samapai ruang ganti, karena dijaga security.

"Gila! Hampir aja kita gak selamat!"

"Hahaha ... thank's, Lang!" ujar Riri kepada teman yang tadi menariknya.

Gilang mengambil sebotol air mineral, menenggaknya sedikit, lalu mengguyur kepalanya dengan sisa air itu. Riri sendiri hanya duduk bersandar sambil menutup wajahnya dengan handuk basah.

Brak! Pintu ruang ganti dibuka kasar. Serombongan pemuda dengan peluh membasahi pakaiannya masuk tergesa.

"Perempuan emang kayak monster kalau udah gak waras!" umpat pemuda berambut kribo sambil memegangi tangannya yang merah. "Tangan gue dikira steak kali ya, maen gigit aja!"

Riri mengambil handuk di wajahnya dan menegakkan tubuhnya menatap makhluk kribo itu.

"Sorry, Jo ...."

"Bukan salah lo kali, Ri. Liat aja, gue bakal nuntut Meisya karena gak bisa jaga sikap Riri lupers lo!"

Riri tersenyum kecut. Riri Luvers adalah sebuah OA Line yang sengaja dibuat oleh teman-temannya sebagai basis fans club. Awalnya Riri sama sekali tak mengetahui keberadaan akun tersebut sampai Meisya—sang ketua fans club, meminta sesi wawancara eksklusif bersamanya. Nasi sudah menjadi bubur, jadi percuma saja kalau Riri protes akan keberadaan fans club tersebut.

"Lo gak salah, Ri. Tapi muka lo yang imut itu yang salah," goda Rendy sambil mengacak rambut Riri.

"Sial, lo!" tepis Riri cemberut.

"Ow, ow, prince charming kita cemberut jadi makin manis," sambut Doni yang baru saja masuk.

Duk! Sebuah bola basket melayang tepat ke muka Doni. Sayang, bola itu berhasil ditangkap dan terdakwa hanya tertawa lebar.

"Oi, oi, udah. Kalian godain kapten terus, kalau dia ngamuk nyuruh kalian lari puter lapangan seratus laps jangan minta tolong gue, ya!" ucap Gilang menengahi.

"Sowwyy!" Jo, Rendy, dan Doni kompak menggoda sambil membungkuk ke arah Riri ala Pangeran bertemu Tuan Putri.

Kali ini giliran Riri yang tertawa sambil geleng-geleng kepala. Tingkah teman-temannya ini memang patut diacungi tinju.

Setelah sesi bercanda itu selesai, mereka bertiga pun duduk di hadapan Riri sambil mengelap keringat mereka yang masih bercucuran.

"Lupakan soal fans lo yang ganas itu. Sekarang apa strategi kita ke depan?" tanya Rendy yang kini mulai "normal".

"Latihan. Apa lagi?" ucap Riri santai.

"Ayolah, Ri!"

Riri tersenyum melihat wakil kaptennya. Rendy memang sangat terobsesi dengan pertandingan. Apapun akan ia lakukan asalkan bisa mengantarkan mereka pada kemenangan. Tapi jangan salah sangka, dia itu orangnya sportif jadi gak pernah main licik apalagi main belakang.

"Dua bulan. Kita punya dua bulan untuk nyiapin pertandingan nasional. Kali ini kita harus masukin tim dua untuk main. Walau ini tahun terakhir kita, tapi para junior juga harus ada yang ikut tanding."

"Hmm ... masuk akal, selama ini cuma tim inti yang main. Tim junior juga keliatan gatel pengen turun buat acara besar," sambut Doni mengiyakan.

"Ya, kita harus ngasih kesempatan buat mereka. By the way, gue udah gatel. Gue ganti baju duluan, ya. Soal tanding, kita bahas lagi di sekolah aja." Riri pun bangkit sambil membawa tas yang berisi baju gantinya.

"Lo mau ganti baju?"

"Yup!"

"Kenapa gak di sini aja bareng kita?"

Riri terdiam sambil mengerutkan dahinya. "Dasar pervert!" umpat Riri sambil pergi berlalu.

Mereka pun tertawa bersama setelah Riri menghilang di balik pintu.

***

Selesai berganti pakaian, mereka berkumpul di kantin. Para pemuda itupun langsung memesan makanan dengan wajah kelaparan.

"Mau makan apa, Ri?" tanya Gilang tanpa mempedulikan teman-temannya yang sibuk makan gorengan sambil menunggu pesanan mereka datang.

"Jus stroberi aja, gue gak laper."

"Serius lo, Ri? Udah maen secapek itu lu gak laper?" cetus Jo menghentikan kunyahannya.

Riri menggeleng santai. Baginya, melihat teman-temannya ini makan sudah cukup membuat ia merasa kenyang.

"Riri cewek sejati, bro! Walau bagaimanapun dia tetep harus jaga body-nya. Emangnya elu, udah kayak karung sampah!" ejek Rendy sambil menyeruput es tehnya.

"Anak seusia gue butuh asupan yang banyak, jangan sampe gue pendek kayak elu!" balas Jo sambil mengambil bakwan goreng yang hanya tinggal satu.

"Pendek? Lu bilang gue pendek? Woi, gini-gini tinggi gue udah seratus tujuh puluh koma lima senti! Cuma beda sembilan koma lima senti dibanding elu yang emang tiang listrik!"

Riri hanya tersenyum melihat pertengkaran sobatnya itu yang tak berujung. Jonathan dan Rendy, mereka sudah seperti anjing dan kucing. Namun entah mengapa, mereka adalah yang paling kompak jika sudah menyentuh lapangan.

Lain halnya dengan Doni, pria wibu ini sudah seperti anak autis jika sudah memegang manga. Lihat saja tingkahnya, duduk di pojok sendirian sambil senyum-senyum membaca buku yang ada di tangannya. Ia sama sekali tak sadar, bahwa sejak tadi Jo sudah memasukkan sesendok garam pada es jeruknya.

"Pwihh! Astaga, kenapa es jeruknya jadi asin? Jangan-jangan ada pengendali element yang mengubah rasa manis menjadi asin?"

Pletak!

"Pengendali elemen, ndasmu!" sungut Jo yang merasa tak terima disebut pengendali element. Kebalikan dengan Doni yang penuh dengan imajinasi, Jo justru tidak suka hal-hal yang berbau fantasi. Baginya, fantasi adalah racun yang berbahaya bagi domba-domba yang tersesat—err maksudnya bagi anak-anak. Kebanyakan berfantasi bisa membuatmu melupakan realita, dan itu sangat berbahaya.

Melihat tingkah mereka, Riri kembali tertawa. Satu-satunya makhluk yang agak normal dibanding mereka semua hanyalah Gilang. Pemuda tampan yang selalu memakai topi ini jauh lebih waras dibanding yang lain. Dia selalu bisa bersikap tenang dan menjadi penengah jika sedang ada masalah. Dia juga yang paling bisa diandalkan dalam mencari solusi.

Ah, namun tak ada makhluk yang sempurna. Walau Gilang terlihat sempurna, tapi ia paling alergi dengan wanita. Kulitnya akan langsung bintik-bintik merah jika bersentuhan langsung dengan lawan jenis. Untungnya, hal itu tak berlaku untuk Riri.

"Ri, ngomong-ngomong kok gue gak liat Kak Reza?" tanya Gilang saat pesanan mie ayamnya sudah datang.

"Kak Reza lagi sibuk."

"Sibuk?"

"Yup, dia lagi banyak presentasi. Gue gak tega ngasih taunya."

"Serius lu? Jadi Kak Reza gak dibilangin kita ada tanding? Mampus deh kita!" cetus Rendy sambil menepuk dahinya sendiri.

Riri hanya nyengir. Kak Reza adalah kakak Riri sekaligus senior mereka di SMA Magentha. Sang Legenda bintang lapangan itu masih memiliki pengaruh yang cukup besar dalam tim basket mereka walaupun ia sudah tak lagi bersekolah di sana.

Kakak yang over protective dan senior yang sangat perhatian, itulah Reza. Jika ia sampai tahu ada pertandingan dan mereka tak memberitahunya, habislah sudah!

"Selama dia gak tau, kita aman kan?" ucap Riri santai.

Mereka terdiam menatap Riri, lalu dengan kompak mengangkat kedua bahu mereka.

"That's your problem!"

"Ah, tega lu pada!"

Mereka pun tertawa melihat ekspresi Riri, lalu kembali menyantap hidangannya yang sudah menari-nari menggoda.

Riri bergidik ngeri. Membayangkan Kak Reza-nya marah saat pulang nanti bukanlah pemandangan yang baik. Bisa-bisa Kakaknya itu tak mau lagi mengerjakan tugas presentasi miliknya, ups!

***

Salam,

Ren (20-03-2017)

REpublish (19-07-2020)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro