[2] Hukuman Manis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi yang cerah. Seperti biasa, Riri diantar Kak Reza ke sekolah dengan sepeda keramatnya. Sebenarnya, sudah sejak lama Riri ingin minta berhenti diantar. Jarak antara rumah dan sekolahnya tidak begitu jauh. Ia masih bisa berjalan kaki ataupun menggunakan sepedanya sendiri. Namun sayang, proposalnya itu langsung ditolak mentah-mentah oleh sang kakak.

Sister complex, tapi Reza tak mau mengakui hal itu. Ia hanya terlalu sayang kepada Riri. Itu saja. Namun semua orang sudah tahu betul, siapa pun yang berani mendekati apalagi menggoda Riri, bersiaplah untuk bertemu malaikat maut.

"Kak, nganternya sampai sini aja, ya," ujar Riri setelah sampai di depan gerbang SMA Magentha.

"Kenapa? Tumben, biasanya kakak disuruh mampir dulu ke klub basket."

Riri terlihat salah tingkah. Sejak tadi ia sudah melihat tiga sosok yang sudah tak asing lagi tersenyum ke arahnya sambil melambai.

"Ng ... itu Kak, soalnya ...."

"Riri, congrats yaaa!"

"Mampus deh gue!" gumam Riri sambil menepuk dahinya. Bagaimana tidak, tiga gadis yang sejak tadi senyum-senyum itu kini berlarian ke arahnya sambil membawa seikat karangan bunga.

"Hai kak Eza ganteng, congrats ya ... Riri udah jadi juara lagi," ujar Meisya menyapa Reza dengan gaya sok imut.

Riri tersenyum kecut. Agak ragu ia menerima karangan bunga dari Luna sambil sesekali melirik ke arah Reza dan Meisya yang sedang mengobrol.

"Betewe, kemarin kenapa Kakak gak dateng? Ih, padahal seru banget lho!"

"Iya, iyaa, seru! Tapi gue juga sebel sama penonton kurang ajar itu, berani banget dia nyium Riri di depan kita semua. Liat aja, gue bakal langsung blacklist dia dari member!"

Sinyal darurat. Riri sudah mulai mendeteksi hal yang gawat dari aura abangnya itu. Perlahan ia pun mengendap-endap untuk melarikan diri.

"Ayriana Renata-chan, apa kamu gak mau ikut bercerita juga, hm?"

Riri diam membeku. Wajahnya mulai pucat ketika melihat Reza yang sudah memasang dark mode—dingin dengan tatapan tajam.

"Ah, itu ... anu ...."

"Jadi, kemarin ada pertandingan?"

Riri semakin salah tingkah.

"Iya, Kak," ucap Riri mengangguk lemah.

"Final?"

Lagi, Riri hanya mengangguk.

"Kenapa gak bilang kakak?"

"Itu ... itu ... soalnya itu ...."

Gemas, akhirnya Reza menyentil dahi Riri.

"Aww ... sakit, Kak!"

"Jangan bilang kamu gak mau ngasih tau kakak karena liat kakak lagi banyak tugas. Terus kamu ngerasa gak enak jadi gak bilang apa-apa. Ya ampun, Riri ... sudah berapa ratus kali kakak bilang kalau kamu itu prioritas utama kakak. Tugas bisa menyusul, tapi kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana? Apa lagi tadi Meisya bilang sampe ada yang berani nyium kamu. Kakak gak bakal maafin orang itu! Belum lagi pulangnya, kamu pulang sama siapa? Kalau ada yang nyulik di jalan gimana? Ya ampun, Riri! Kakak harap ini yang terakhir kamu bersikap sembarangan kayak gini."

Satu ... ah, bukan. Empat pasang mata menatap Reza tak percaya. Kecepatannya berbicara mengalahkan kecepatan jaringan 4G dalam mengakses data. Mereka sama sekali tak percaya makhluk ganteng bin cool ini bisa secerewet ini pada adiknya.

"Ma-maaf." Speechless, Riri hanya mampu mengeluarkan satu kata.

Reza mengerutkan keningnya sambil menatap Riri dalam. "Kamu gak berpikir kalau kakak akan maafin kamu gitu aja, kan?"

Mata Riri membulat tak percaya. "Hukuman?"

Reza tersenyum puas sambil mengangguk.

"Di sini?"

Lagi, Reza mengangguk dan senyumnya semakin lebar.

Riri menunduk. Dari sudut matanya, ia menangkap tatapan antusias ketiga temannya yang sudah siap dengan handphone di tangan. Jika sudah seperti ini, ingin rasanya ia merutuki peraturan sekolah yang membolehkan siswanya membawa gawai.

"Come on!"

Riri maju selangkah. Wajahnya cemberut menatap sang kakak yang masih tersenyum menggoda.

Cup!

"KYAAAA RIRI KAWAIIII!"

Riri langsung memutar tubuhnya dan berlari. Ia sama sekali tak peduli dengan teriakan-teriakan gadis itu yang minta encore.

Ugh! Encore kepalamu! Kalau mau, cium sendiri aja tuh kak Reza! Umpatnya dalam hati.

***

"Hai, Ri!" sapa Gilang yang berjalan malas ke arah loker tempat Riri berdiri.

"Hai juga." Riri terdiam sebentar, lalu mengemati pemuda di sampingnya itu sambil memicingkan mata. "Eh, elo bener Gilang?"

"Lo kira emang siapa?"

"Hee? Gue pikir setan sekolah yang nyamar jadi Gilang. Secara, gue apal banget kalau Gilang tuh Mr. Bell. Satu-satunya siswa paling on time di Magentha," cetus Riri tersenyum jahil.

"Ah, rese lo!" Gilang pun tertawa sambil mengacak-acak rambut Riri.

Keilan Gilang Pramudya. Cowok ganteng yang satu ini memang sangat terkenal di sekolah. Bukan cuma karena kegantengannya ataupun prestasinya sebagai bintang lapangan, tapi lebih pada kebiasaannya yang sangat on time datang ke sekolah. Ya, dia sangat on time! Dia gak pernah dateng lewat jam tujuh ataupun kurang dari jam tujuh. Tujuh nol nol, kedatangannya selalu diiringi suara bel sekolah. Itulah sebabnya ia dijuluki Mr. Bell.

"So, ada angin apa lo dateng sebelum jam tujuh?"

"Nope, cuma lagi pengen," ucap Gilang sambil menghindari tatapan menyelidik gadis di sampingnya.

Riri tersenyum jahil sambil menatap sahabatnya yang satu ini.

"Clarissa?"

Gilang mengerutkan dahinya.

"Darimana lo tau?"

"Hahaha, satu-satunya alasan lo kabur dari rumah ya karena sepupu lo itu, kan?"

Gilang buang muka sambil membuka lokernya yang tepat berada di samping loker Riri.

"Ayolah, Lang ... sampai kapan lo akan menjauh dari cewek-cewek cantik?"

"Masih ada elo, ngapain juga gue deketin yang lain," gumam Gilang pelan, sangat pelan sampai-sampai Riri tak tahu apa yang digumamkan sahabatnya itu.

"Tadi lo ngomong apa? Maap, gak kedengeran."

"Lupain, gak penting."

Riri hanya mengangkat kedua bahunya sebelum sebuah suara menegurnya.

"Ayriana!"

Merinding. Itulah reaksi pertama yang ia rasakan saat mendengar suara itu. Perlahan ia melirik Gilang minta bantuan, tapi pemuda itu hanya tersenyum acuh melirik bawahan yang dipakai Riri.

"Ayriana?"

"I-iya, Pak!"

Riri berbalik dan langsung memberikan senyum terbaiknya pada pria paruh baya yang kini berdiri di hadapannya. Pak Hendra, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan sekaligus guru matematika yang paling horor.

"Ma-maafkan saya, Pak. Kemarin saya lupa cuci rok saya, jadi saya pakai seragam kakak saya," jelas Riri tanpa diminta dengan wajah pasrah.

Pak Hendra menatap Riri dari ujung rambut sampai ujung kepala. Ia pun mendesah. Sudah lelah guru itu menegur Riri atas kelainan seragamnya. Bagaimana tidak, saat seluruh gadis sangat menginginkan memakai seragam putri SMA Magentha yang terkenal sangat manis, anak ini justru memakai seragam laki-laki peninggalan kakaknya. Sungguh tak dapat dipercaya!

"Ah, Bapak sudah bosan membahas hal itu, terserah kau lah," ujar Pak Hendra dengan logat medannya yang masih kental. "Bapak hanya mau mengucapkan selamat karena kau lagi-lagi mengharumkan nama SMA Magentha."

"Oh ... makasih, Pak!"

"Tapi ingat, kau juga harus belajar untuk persiapan ujian nanti. Dulu kakakmu meraih nilai tertinggi se-provinsi, bapak harap kau pun demikian, okay!"

"Okay, Pak!"

Pak Hendra tersenyum, sambil menepuk-nepuk bahu Riri. Namun, tiba-tiba Pak Hendra langsung mengerutkan dahinya saat melihat Gilang yang sejak tadi terdiam.

"Astaga, sepertinya saya telat masuk kelas. Riri, apa belnya sudah berbunyi dari tadi?"

"..."

Dan Riri pun hanya bisa terkikik geli melihat wajah Gilang yang jengkel.

***

Seorang pemuda bermata sipit nampak lesu berjalan di koridor sekolah. Sesekali ia membenarkan letak kaca matanya. Napasnya terdengar berat ketika ia tiba di depan ruangan olah raga.

Agak ragu ia mendorong pintu ruangan itu. Ternyata di dalam sana ada seseorang. Salah satu siswa nampaknya sedang asyik bermain basket sendirian.

Tanpa sadar, ia terpesona dengan permainan siswa itu. Walau tubuhnya terbilang kecil untuk ukuran pemain basket, tapi kelincahan dan kemampuannya mengontrol bola sangat mengagumkan.

"Ahem!"

Pemuda itu terkejut mendengar suara di sampingnya. Empat orang siswa menatapnya curiga. Tak ingin membuat keributan, pemuda itupun pergi tanpa suara.

"Siapa dia?" tanya Gilang curiga.

"Paling fans baru Riri," ujar Jo sambil melangkah masuk ke ruang olah raga bersama yang lainnya.

"Sepuluh menit tiga puluh lima detik, kalian telat," sembur Riri sambil terus memantulkan bola basket di tangannya.

"Sorry, kapten! Tadi kita ketemu Fadil di jalan," jelas Rendy sambil melepas pakaiannya dan menggantinya dengan seragam basket bersama yang lain. "Dia minta kita ngadain seleksi lagi buat tim cadangan."

Riri hanya mengangguk, lalu beralih jadi geleng-geleng kepala melihat apa yang sedang dilakukan teman-temannya itu.

"Kebiasaan buruk! Kalian gak bisa apa, ganti bajunya di ruang ganti?" Riri masih asyik dengan bolanya lalu memasukkan bola itu ke dalam ring dari kejauhan.

"Sorry, Ri. Kan kata lo kita udah telat," ujar Doni cengengesan membela diri.

Riri hanya tersenyum sambil menaikkan kedua bahunya. Lagi, ia berlari di sekitar lapangan basket itu sambil membawa bola dengan lincah. Dengan sebuah lompatan kecil, ia kembali berhasil memasukkan bola dengan mulus.

"Wow, keren! Gue rasa bahkan si Kise* pun kalah gaya sama lo, Ri!"

"Bisa aja lo ngeledeknya, Don." Riri kembali memantulkan bola lalu melemparnya ke arah Rendy.

"Pemanasan, lari dua puluh laps!"

"Ugh, dua puluh! Kayaknya hati kapten lagi bagus. Kemaren kita telat lima menit hukumannya lari lima puluh lap."

"Mau gue tambah, Jo?"

"Tidak, kapten! Ini sudah cukup!" ujar Jo tertawa sambil mulai berlari dengan tiga temannya yang lain.

***

Hari sudah sore saat Riri dan teman-temannya selesai latihan. Sambil menunggu Reza menjemput, Riri memutuskan untuk berjalan-jalan di taman sekolah.

"Kak Riri!"

Dua orang siswi kelas tujuh datang mendekati Riri sambil membawa setangkai mawar putih. Mereka terlihat agak malu-malu.

"Ada apa?"

"Selamat ya, Kak. Kita sudah jadi juara basket tingkat provinsi," ujar gadis berambut panjang sambil menyerahkan bunga di tangannya kepada Riri.

"Mudah-mudahan kita bisa jadi juara nasional tahun ini. Kami dukung Kakak!" tambah gadis di sebelahnya.

"Oh, makasih, ya."

Riri tersenyum sambil mencium aroma mawar putih di tangannya.

Kedua siswi itu jadi makin salah tingkah. Jika mereka adalah karakter anime, mungkin dua buah gambar hati sudah loncat dari mata mereka.

Bip!

Ponsel Riri bergetar. Ia langsung tersenyum melihat siapa pengirim teks tersebut.

"Eh, sorry ... Kak Reza udah jemput. Bye!"

"Bye-bye, Kak Riri!"

Riri hanya tersenyum dan kembali melihat ponselnya.

Areza Resiandra Putra
My princess, where are u?
Jangan bilang kamu ngambek gara2 hukuman tadi pagi.

Ayriana Renata
Kalau aku ngambek, gimana?


Areza Resiandra Putra
Serius mau ngambek sama kakak?
Yah, sayang dong... ni es krim bakal nganggur.

Ayriana Renata
Mauuuuuu tunggu Riri di depan sekolah!

Baru saja Riri akan memasukkan ponselnya ke dalam tas, tiba-tiba ia menabrak seseorang.

"Sorry, eh maaf gak sengaja!"

"Kalau jalan, mata dipake! Hape terus diliatin, moron, gak punya otak!"

Riri tertegun. Baru kali ini ia menemui orang yang bicara kasar seperti itu padanya. Namun, Riri tak mau ambil pusing. Tanpa banyak bicara, ia langsung meninggalkan pemuda sipit itu.

***

Note:

*Kise = Ryouta Kise from Kuroko no Basket

Salam,

Ren (20-03-2017)

REpublish (19-07-2020)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro