Dear Violin | 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tia mengerjapkan mata beberapa kali karena bingung.

"Laki-laki yang mana?"

"Yang rangkulan dengan kamu tadi! Kan laki-laki?"

Mengerutkan dahi, Tia baru paham siapa orang yang disangka laki-laki. "Eh? Maksud kamu Nina? Enggak, kok! Dia bukan laki-laki. Dia perempuan, tetapi tomboy."

"Hah?!"

Bersamaan itu pula, Nina sudah datang di depan pintu kelasnya dan memanggil Tia untuk ke lapangan upacara bendera. Ia langsung mendatangi Nina, bersama-sama pergi. Mawar perhatikan lagi, ternyata Nina memanglah perempuan. Ia langsung merasa malu, berbaris pun menjauh dari mereka.

Karena Tia berada di kelas MIPA 3 dan Nina di IPS 1, mereka berbaris bersebelahan. Seperti biasa, Tia dan Nina berbaris bersebelahan karena suatu alasan.

"Tia," bisik Nina pelan. "Kayak biasa, yah."

"Kamu belum sarapan lagi?"

Nina hanya memberikan cengiran. "Yah, gue ga sempat tadi. Ngambek ama Nyokap. Biasalah, paling juga bagian gue dikorbanin buat dua adek kampret gue."

Tia hanya menghela napas panjang. "Aku jagain kamu di belakang."

Melihat ke depan dan belakang, ternyata tak ada orang yang biasa ia mintai bantuan.

"Gimana Nina? Gak ada Santi nih."

Dahi Nina berkerut. Ia melihat ke depan dan menepuk pundak seorang anak laki-laki.

"Aji, tolongin gue entar, ya."

Aji di depan Nina hanya mengacungkan jempol. Nina berpaling lagi ke Tia, berkata, "Aman."

Sepanjang upacara bendera, lebih lama dari biasa karena ada pengumuman juara paralel juga. Untuk kelas XI sendiri, yang mendapatkannya adalah Felicia, ketua OSIS tahun ini. Tak ada yang tak kagum dengannya. Selain pintar akademik, juga berprestasi di bidang olahraga badminton.

Ketika dari pidato kepala sekolah pun, sebenarnya sudah banyak siswa yang tumbang dan pingsan karena lelah dan kepanasan. Meski begitu, si kepala sekolah tetap saja berpidato panjang lebar. Tia jadi semakin khawatir dengan Nina. Terlebih, sedari tadi Nina hanya diam saja tak bersuara apa-apa. Tak tahan dengan kediaman Nina, ia pun menepuk pundak Nina pelan.

"Nina ... eh?!"

Tubuh sahabatnya itu tiba-tiba melayang padanya, membuat Tia kaget sesaat.

"Ji! Aji, tolong!"

Sayang sekali, Aji yang dipesani Nina tadi malah sibuk mengobrol dengan teman. Di belakang, ada petugas PMR yang sedang kelimpungan karena makin banyak yang pingsan. Tia menjadi panik. Teman-temannya yang lain pun juga sibuk menangani teman sekelasnya yang lain. Separuh sibuk menonton saja. Di kala kesulitan ini, seorang petugas PMR dengan lambang di bahunya kelas XII mendatangi, menggendong Nina sendiri di hadapan. Tia tercengang sesaat. Anak PMR yang membawa Nina adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi dan tergolong cukup tampan. Belum sampai di situ, anak laki-laki itu setengah berlari, langsung ke UKS. Tia menyusul, mengabaikan teman-temannya yang berbisik satu sama lain.

Dari kejauhan, ada seorang perempuan berbalik, menatap tak suka atas kejadian ini.

***

"Tia."

Nina baru saja terbangun dari pingsan, mendapati sang sahabat menatap dengan pandangan khawatir.

"Nina! Alhamdulillah kamu udah sadar."

Nina duduk dari rebahan, hati-hati disangga oleh Tia. Menyingkirkan helaian rambut ke belakang, mencoba mengingat-ingat apa saja yang terjadi sebelum dirinya pingsan.

"Tia, gue tadi dibawa siapa ke sini?"

"Eeh, tadi Kak Azzam yang bawa."

Nina tercengang sesaat, matanya terbelalak. "Hadeh, kok dia yang bawa sih? Kalo fansnya ngeroyok gue gimana, anjir?!"

"Semoga aja gak kenapa-kenapa, Nina." Tia menjaga Nina agar tubuhnya tak oleng saat berdiri. "Yuk, aku anterin ke kelas?"

Nina mengangguk. "Makan dulu gak sih gue? Laper banget asli."

Tia terdiam dan berpikir sesaat. "Beli roti aja ama teh botol gimana?"

"Iya deh. Lo ikut, gak?"

"Aku anter kamu aja ya, Nina. Maafin aku, mata pelajaran pertama soalnya Ibu Uti."

Nina ternganga karena mendengar siapa yang mengajar di jam pertama kelas sahabatnya. "Buset! Lo langsung ke kelas deh! Entar lo malah diusir kalo telat!"

"Gapapa, Nina?"

"Aman, lah! Palingan kalo ada itu fans Kak Azzam marah-marah gue tonjok aja satu-satu!" jawab Nina ditambah anggukan, meyakinkan Tia. Dengan berat hati, Tia pun mengiyakan dan meninggalkan Nina masih di UKS. Ia harap, sahabatnya itu baik-baik saja dan ke kantin untuk makan dan minum sebentar seperti yang ia sarankan sebelum masuk kelas.

***

Pulang sekolah di jam setengah 5 sore, Nina dan Tia hendak pulang bersamaan. Tia lah yang mengantar Nina pulang. Tentu saja Nina membawa motornya karena ia yang lebih lihai. Sehabis jam pulang tadi, Tia ada mentoring singkat di musola bersama anak Rohis dan Nina berlatih dance dengan teman-temannya di panggung.

"Mau jajan crepes dulu sebelum pulang gak, Tia?" tawar Nina sambil mendorong motornya keluar deretan parkir. Tia menggeleng, menolak dengan halus, "Enggak, Nina. Aku sudah kenyang. Tapi, kalau kamu mau, aku bisa nunggu."

"Yaelah, kan gue nawarin lo! Bukan karena gue yang mau beli!"

"Udah, gapapa, Nina. Kan tadi kamu juga sudah traktir aku mie ayam?"

"Itu sih masih kurang! Entar kalo lo mau apa juga, bilang aja ke gue, ya!" jawab Nina ditambah cengiran lebar. Tia tersenyum dan mengangguk saja. Namun, baru Nina hendak menghidupkan motor Tia, tiba-tiba mereka dihentikan oleh segerombolan perempuan dan ada anak lelaki yang hendak mengambil motor juga.

"Heh! Lo cewek jadi-jadian! Jangan sok pingsan mulu tiap Senin, lo! Lo cuma mau modus ke Kak Azzam, kan?!" teriak seorang siswa dengan baju sudah keluar dari rok.

"Apa sih lo, anjir?! Maksud lo gue ngincer Kak Azzam, gitu?! Kagak, woy! Emang gue bisa milih waktu pingsan dan siapa yang ngangkat gue, hah?! Mikir make otak, dasar dongo!"

"Nina!" Tia jadi panik karena anak-anak yang melabraknya itu jadi muka murka semua.

"Ape lo! Gak terima gue bacotin fakta?!"

"Lo caper banget tiap upacara pingsan mulu! Penampilan doang tomboy, lo! Aslinya lemah!"

Nina mendecak dan berkacak pinggang. "Adoh, si dongo ini lagi satu! Mau gue tonjok, lo?! Gak takut BK gue, Sat!"

"Nina, udah!" tegur Tia lagi ditambah menepuk pundaknya. Nina mendengkus, menatap tajam ke mereka yang masih menghadang mereka.

"Untung gue sekarang masih sabar! Heh, minggir!" teriak Nina, sampai wajahnya memerah. Lantas, para siswa tadi pun takut-takut menepi dan diberi tatapan maut oleh perempuan tomboy ini. Tia mengelus punggungnya untuk menyabari. Hendak mendorong motor lagi, tetapi langkah mereka terhenti saat ada anak laki-laki berteriak.

"Eh, Nina! Si Dedy naksir, nih! Tapi dia ragu, katanya lo cewek apa cowok?!"

"Lo cowok sebenarnya, kan? Nama lo Nono, bukan Nina!" tambah anak lain dan membuat mereka tertawa mengejek.

Nina sudah hampir habis kesabaran. Napasnya memburu. Ia menurunkan standar motor dan berbalik.

"Ini lagi, buset! Capek banget gue dikata cowok mulu! Lo mau bukti apa kalo sebenarnya gue cewek, hah?! Mau liat isi kutang gue?!" sembur Nina galak. Matanya melotot tajam ke mereka semua. Beberapa laki-laki di depannya itu terdiam dan meneguk ludah. Tia sudah kehabisan akal untuk menahan Nina dari mengeluarkan kata-kata pedas, hanya bisa berdoa agar dia tak bertindak dengan pukulan.

"Enak di elo ngeliat susu gue! Sarap lo semua!" tunjuk Nina berapi-api. "Kalian juga! Makan noh Kak Azzam sono, telen bulat-bulat!"

Nina menggeram gusar, berbalik lagi. Sudah tak ingin mendebat mereka, ia pun menyalakan motor Tia dengan cuek. Memerintahkan Tia naik dan memasang helm, tak peduli aturan sepeda motor harus dinyalakan di luar gerbang. Langsung tancap gas saja menghindari mereka menuju jalan raya.

Tia tak berani mengajak Nina mengobrol karena kiranya sahabatnya itu masih kesal. Menunggu Nina saja yang bicara duluan.

"Kalo gak ada lo tadi Tia, udah pasti gue gak bakal maen ama bacotan doang! Gue tonjok langsung! Dasar tolol banget mereka semua! Gak takut gue masuk BK!" gerutu Nina, masih berkendara dengan kecepatan tinggi. Tia sendiri memegangi baju Nina, takut jatuh. Ia mengangguk saja mendengar gerutuan perempuan di hadapannya ini. Jalanan semakin ramai karena sudah jam-jam pulang kerja. Nina berbelok untuk melewati jalan tikus, memperpendek rute menuju rumah Nina.

Hampir sampai di rumah, tiba-tiba Nina teringat sesuatu. "Tia, lo mau gak temenin gue ke minimarket bentar? Baru inget Nyokap nitip beli sosis ama roti. Entar besok gak mau sarapan lagi si Valdo, bila gak makan sosis."

Tia mengangguk. "Iya, Nina. Sekalian aku juga mau beli makanan."

Nina pun berbelok arah, memang tidak terlalu jauh dengan kompleks rumah Nina. Namun, hanya saja saat ini ia masih ingin ditemani sahabatnya itu.

Setelah mereka di minimarket, mereka berpisah. Tia memilih ke rak snack, sedangkan Nina pergi ke freezer frozen food. Sedikit saja yang Tia ambil. Lalu, ia ragu-ragu saat mengambil sebuah benda kebutuhan wanita, meneguk ludah sekali. Tia baru tahu ia baru dapat bulanan hari ini sebelum solat asar. Agak malu juga karena takut dilihat banyak orang. Namun, diingat lagi, pembalutnya memang sudah habis. Rani pasti tak mau memberinya karena ia selalu membeli merek yang cukup mahal. Maka, nekat saja Tia mengambil sebungkus. Diproses di kasir tanpa menunggu Nina karena Nina menyuruhnya duluan saja. Sedikit lega karena sudah ia bayar dan digabung semua belanjaan, dimasukkan di kantong plastik.

"Terima kasih, Kak," ucap Tia ke si kasir yang melayani, dibalas dengan "terima kasih kembali". Baru Tia berbalik, ternyata ada seorang lelaki yang baru ia kenal akhir-akhir ini, sangat dekat berdiri hadapannya. Tia hampir kehilangan keseimbangan karena terkejut.

"E-Eh?!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro