Dear Violin | 05

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bertumpu di meja kasir belakang, Tia terbelalak. Laki-laki di hadapannya ini pun tak kalah terkejut dengan dirinya, lalu berpaling dan bergeser sedikit. Namun, tak Tia tahu, Farid tersenyum tipis.

"Ma-Maaf, Farid," ucap Tia pelan. Merasa sangat malu, ia ingin maju selangkah, tetapi di hadapannya sudah ada Nina datang bersama keranjang belanja.

"Harusnya aku yang minta maaf karena membuat kamu terkejut."

"Siapa, Tia? Lo kenal?" tanya Nina ditambah menggerakkan dagu ke arah Farid.

"Eh?" Tia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu melihat ke Farid yang sibuk dengan belanjaannya juga ke kasir.

"Um, dia tetangga baru aku, Nina. Namanya Farid."

Nina memoncongkan bibir dan mengangguk. "Oh, gue baru tahu."

"Um, Farid. Kenalkan, ini sahabat aku, Nina."

Farid sedikit heran melihat Nina. Berbanding terbalik penampilannya dengan Tia. Nina mengerti maksud tatapan Farid ke dirinya, hanya bisa memutar kedua bola mata.

"Liatnya gak usah kayak gitu, biasa aja!" Nina berujar dengan ketus. Farid terdiam karena kaget. Dengan cuek saja, Nina mengarahkan belanjaannya ke kasir dua untuk discan dan dibayar. Tidak lama, karena belanjaannya sedikit, Nina pun mengangkut belanjaan dan berkata ke Tia, "Yuk pulang. Entar kesorean dicari Ibu lo!"

Diseret oleh Nina, Tia tak bisa menghindar. Ia berpaling sebelum keluar minimarket, tersenyum canggung ke Farid. Melihat ke arah langit, benarlah kata Nina. Hari sudah menjelang magrib dan ia harus pulang secepatnya. Nina dan Tia pun berboncengan kembali bersepeda motor menuju rumah Nina.

"Maaf kesorean ya, Tia. Besok giliran gue yang anter-jemput lo. Kita barengan." Suara Nina dikeraskan agar terdengar oleh sahabatnya.

"Eeh, gapapa, Nina."

"Udah, lo jangan nolak terus!" sanggah Nina, lalu meneruskan perjalanan sampai mereka tiba di rumah Nina. Tanpa menunggu untuk berpamitan dengan ibunya Nina, Tia langsung pulang ke rumah.

***

"Ingat ya, Ukhti. Kewajiban berhijab itu sudah dijelaskan dalam surah An-Nisa. Sudah sepantasnya kita yang baligh, menjulurkan kain ke seluruh tubuh, untuk menjaga aurat dari pandangan yang tidak semestinya dilihat orang lain selain mahram."

Mentoring oleh kakak alumni Rohis yang Tia ikuti sudah selesai, dan ia masih teringat perkataan akhir materi itu sampai sekarang. Ia merasa tersindir, sekaligus malu karena terlalu sering buka-tutup hijab. Merenung di depan air pancuran kolam, ia berpikir, sepertinya ia harus istiqomah. Mungkin akan sulit di awal, tetapi bila terbiasa, ia pasti bisa.

"Tia! Ngelamun aja, lo!"

Sontak Tia terkejut ketika melihat siapa yang menegurnya. Seorang anak laki-laki, berkulit hitam manis dan ada lesung pipi di kiri saat ia tersenyum sekarang. Ia duduk di bangku samping Tia, mengeluarkan sebuah berkas berjilid lakban di meja.

"Eh, Naufal!" Tia tersenyum canggung, mengangguk saja. Sejujurnya, ia memang tak seberani itu duduk bersama lawan jenis. Karena tak terbiasa, lebih-lebih karena sekarang ia di lingkungan sekolah dan ikut Rohis. Memang, sejak ikut Rohis, ia jadi mengurangi interaksi dengan laki-laki. Terlebih karena ditegur oleh Mawar kemarin.

"Ada liat anak-anak OSIS, gak? Gue bilang sejak jam 4 an tadi, ngumpul di bangku sini, pada gak muncul orangnya. Heran gue," ujar Naufal membuka pembicaraan.

Tia celingak-celinguk ke sekitar, barangkali ada siswa-siswa yang dimaksud. Tak ia temukan, hanyalah Nina dan teman-teman sesama tim hiphop dance sedang berlatih di panggung.

"Maaf, Naufal. Aku kurang tahu. Enggak lihat juga, sedari tadi."

Naufal mengangguk-angguk, lalu membuka berkas di hadapan. Baru melihat sehalaman, ia berbalik membuka tas, mencari-cari sesuatu. Tia tak ingin memperhatikan, hanya mengamati air mancur saja berbentuk pot di hadapan yang memancarkan air ke atas, turun dan memenuhi kolam.

"Gimana sih ini, ngeprint-nya salah semua." Naufal menggaruk kepala yang tak gatal. "Eh, Tia. Pak Kepsek sudah naik haji semester lalu, kan?"

"Iya, aku kalo gak salah dengar, gitu sih."

Naufal menggeleng heran, mengangkat berkas di hadapan dan mengamati kolom tanda tangan kepala sekolah.

"Semuanya gak dikasih gelar haji di depan nama Pak Kepsek."

Tia tersenyum tak enak hati mendengar kepusingan wakil ketua OSIS ini. Beralih ke Nina lagi di panggung, ternyata mereka sudah pendinginan setelah latihan. Tak lama lagi, sahabatnya itu akan pulang bersamanya seperti yang dijanjikan.

"Tia. Kita udah tukeran PIN BBM atau belum? Nih, PIN BBM gue, tambahin ya! BBM gue yang di Hp lama, lupa passwordnya!" ucap Naufal ditambah senyum tipis, lalu mengeluarkan ponsel BB di kantong bajunya, diberikan ke Tia.

"Eeh, iya kayaknya belum, Naufal. Boleh." Tia menyahut, lalu ikut mengeluarkan ponsel dari tas dan menyalin PIN BBM Naufal.

"Udah."

Naufal mengambil ponselnya lagi dan berkata, "Makasih ya, Tia. Gue test PING nih."

Setelahnya, terdengar bunyi "PING!" di ponsel Tia. Naufal tersenyum tipis.

"Nah, ada tuh."

"Iya, Naufal."

Bersama itu pula Tia tak sadar bahwa Nina sudah duduk di sebelahnya, mengawasi Naufal dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Ngapain lo deket-deket sobat gue? Naksir, lo?"

Diawasi oleh perempuan tomboy seperti Nina membuat Naufal melongo, lalu mengalihkan pandangan ke Tia untuk dibantu menjelaskan.

"Eeh, enggak gitu, Nina. Dia cuma mau nambah kontak aja, kok," elak Tia. Nina memicingkan mata, lalu beralih ke Tia, "Udah! Kita pulang, yuk!"

Nina berdiri bersama Tia yang ia genggam tangannya, lalu mereka pergi meninggalkan Naufal sendirian. Sesaat setelah mereka mulai jauh, Naufal tersenyum penuh arti.

"Gue harus dapetin dia."

***

Di hari libur, seperti biasa, Rani tak ingin mendengar keributan apapun—termasuk gesekan biola oleh Tia. Maka, sehabis mencuci-jemur pakaian, Tia pun berjalan ke danau bersama biola dan ponsel di saku celana. Kini, ia memakai baju tangan panjang hitam, celana kargo hijau olive dan kerudung warna hitam pula. Sendirian saja, duduk di ujung titian dan meletakkan tas biolanya di samping.

Selagi mengeluarkan biola dan meletakkan di pundak, ia tak tahu bahwa seorang anak lelaki mengawasinya dari jauh. Ia tak tahu lagu apa yang sedang dibawakan Tia, tetapi kedengarannya sangat indah dan lembut. Bahkan, ia tak merasa dirinya berdiri begitu lama di samping pohon mangga. Sampai lagu selesai, barulah ia bertepuk tangan dan maju mendekati Tia.

"Eh, Farid?"

Farid mengangguk saja, ikut duduk di sebelah Tia dan menggeser tas biola sedikit.

"Tadi lagu apa?"

"Eh? Eum, itu A Thousand Years. Aku baru belajar sih, jadinya banyak yang salah."

Mengangguk lagi, Farid beralih ke pakaian Tia. Hanya sekilas, langsung memalingkan muka ke danau.

"Baru hari ini aku lihat kamu pakai kerudung di luar."

Tia melongo sebentar karena agak terkejut. Dahinya berkerut, sedikit bingung karena alih-alih mengomentari permainan biolanya, ia malah fokus ke pakaian yang dikenakan.

"Um, sebenarnya aku di sekolah baru ikut Rohis sih."

"Rohis itu apa?" tanya Farid ditambah berpaling lagi ke Tia. Belum siap saling menatap dengan lelaki di hadapan, Tia sedikit beralih menatap samping kiri.

"Rohani Islam, ekskul tentang kajian keislaman gitu. Dan aku dan yang lain juga ditegur supaya benar-benar menutup aurat ke mana pun bila di luar rumah."

"Begitu." Farid mengangguk sekali. Tia ikut mengangguk, sedikit kesal karena Farid sama sekali tak memberi tanggapan apa-apa mengenai ia membawakan melodi lagu tadi. Padahal, dirinya sudah berlatih sepenuh hati. Farid memanglah cuek, tetapi pikirnya, apa memang secuek itu? Terlebih sekarang ia malah terlihat melamun menatap luasnya danau ini.

Ini tak bisa dibiarkan, aku harus nanya langsung, ucap Tia dalam hati.

"Farid. Gimana aku main biola tadi? Bagus, gak?"

Pertanyaan dadakan Tia membuat Farid terkesiap dan keceplosan. "Eh ... cantik?"

"E-Eh?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro