Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Itu bukan kejadian yang kuinginkan untuk mengakhiri hari yang sudah cukup melelahkan ini. berjalan kesana-kemari tanpa arah dan berakhir dengan insiden yang ... yah, aku tidak bisa menjelaskannya lagi. Terlalu cepat dan membuat semuanya buram.

Tapi ... sesuatu mengganjal perasaanku. Membuat seolah aku dihantui oleh sesuatu.

Bukan, bukan soal kejadian itu ataupun saat nyawa seekor makhluk hidup diambil perlahan di hadapan kami. Ini soal Deren. Pemuda itu ... tatapannya saat melihat makhluk hidup menggeliat menuju kematiannya, benar-benar menghantui pikiranku. Walau itu hanya seekor kucing yang mati, tetap saja—

Pandangan yang seharusnya iba dan sedih, malah menampilkan raut datar dengan warna wajah yang tak bisa kubaca sama sekali. Ambisi putihnya yang semula redup semakin redup, seolah dapat hilang kapan saja.

Ah—hal ini selalu membuatku lelah.

***

"Kau meletakkan bunga, seolah itu adalah makam saja."

"Tapi Oreny mati disini ... tidak ada salahnya meletakkan bunga untuk mengenangnya, 'kan?" ujarnya murung sembari meletakkan bunga yang ia petik dari taman.

Aku hanya menatap Deren dan beralih melihat sekitar. "Maaf."

"Huh?"

". . . tidak, lupakan saja." Aku beranjak menjauh dan mengabaikan teriakannya yang memanggilku. Lebih memilih pergi ke taman yang entah kenapa terlihat sepi di akhir pekan ini.

"Oi- Siena!" Deren terlihat merenggut kesal karena kutinggalkan begitu saja. Napasnya terlihat menderu dan mendelik, "Kenapa tiba-tiba minta maaf?"

"...."

"Oi-"

"Tidak."

"Jangan bilang ...."

"Apa?"

"Kau mau meninggalkanku, ya? Memutus kontrak apalah itu?!" Ia berseru dan menangis keras, membuat perempatan siku-siku kembali muncul di keningku. Ingin rasanya melempar anak ini.

"Huweee, jangan tinggalkan aku!" Ia memeluk lenganku dan mengguncangnya dengan cepat, sembari merengek, "Jika Siena pergi, bagaimana aku bertemu orang itu? Hanya kau yang bisa kuandalkan. Aku berjanji tidak akan nakal dan menjadi berguna! Ayolah."

Ukh ... ini membuatku muak. "Hentikan. Aku tidak pernah bilang akan meninggalkanmu, 'kan?"

"Huh? Artinya ... kau tetap disini?"

"...ya."

"Yes!"

Benar-benar kekanakan.

"Lalu ...." Aku menoleh, menatapnya yang semula bersorak senang, dan kini menatapku serius sembari berkata, "Untuk apa maafmu yang tadi? Kau tidak pernah berbuat sesuatu yang salah padaku. Yah walau perkataanmu menusuk—"

"Abaikan saja."

Aku dapat melihat raut wajahnya yang tidak terima dan bersiap berseru. "Ayolah, berhenti membuat orang sakit hati dan penasaran. Kau tidak akan—"

"Aku tidak akan mendapatkan teman jika seperti itu. Yah, kau sudah mengatakannya padaku tempo hari." Aku memotong ucapannya dengan tanpa minat.

Deren mendengus dan duduk di kursi taman. "Yah, biarlah. Jika itu soal Oreny, tidak perlu meminta maaf. Kau tidak salah," ujarnya dengan santai.

Aku hanya terdiam menatapnya. Bukan soal apapun, hanya ... ucapannya tepat sasaran.

"Huh? Kenapa kau diam saja?" Deren menatapku kebingungan. Dan tentu saja kualihkan pandanganku dari tatapan polosnya, memicunya untuk berseru cepat, "Ah! Jangan bilang apa yang kukatakan itu benar adanya?!"

"Kau tidak berniat mencari jalanan bodoh itu lagi?"

"Jangan mengalihkan topik! Perkataanku yang tadi benar, 'kan?!"

"..."

"Wah! Aku seperti peramal. Aku sangat keren."

"Peramal mana yang bahkan tidak bisa menerawang jalan dan orang yang ingin ditemuinya, huh?" Dan dengan ucapan sarkasku, senyum bangga Deren memudar.

"Ck, aku tidak bisa menerawangnya karena aku lupa."

"Terserah kau saja."

"Benar kok!"

Aku hanya mendecak kesal dan beranjak dari taman. Teriakan panggilan dari Deren kembali terdengar. Beruntunglah taman itu sepi. Jika tidak, semua orang akan memandangan pemuda berumur 17 tahun itu sebagai anak berkebutuhan khusus, bahkan mungkin menelpon rumah sakit jiwa setempat.

"Akh! Siena! Berhentilah meninggalkanku seperti itu. Aku ini tuanmu, 'kan?" rengeknya yang berhasil mengejarku yang tengah berjalan di luar taman.

"Tidak, sejak kapan kau menjadi tuanku?"

"Hehh ... kejamnya. Sejak kontrak kontrak itu!"

"Aku tidak ingat mengikat kontrak dengan tuan bodoh dan pedofil sepertimu."

"Kejam!"

"Berhenti merajuk. Jadi kemana kita sekarang hm, tuan?"

Senyum sumringah terpampang jelas di wajah bodohnya itu. Dan dengan semangat, ia melangkah dan berseru lantang, "Ikuti aku, bawahan!"

Ah ... aku lebih memilih melayani anak kecil dibanding pemuda ini.

.

.

.

"Oi ... Siena ...."

"Hmn?"

"Kau menerima pertanyaan?"

"Tidak."

"Heh-"

"Jangan merengek, kau yang menanyakanku soal itu. Dan jujur saja, aku malas menjawab apapun pertanyaanmu itu."

"Tapi kau tetap menjawabnya ...."

Ctak!

Jangan hitung sudah berapa kali perempatan siku-siku ini muncul di keningku. Aku diam tanpa bergeming sebelum berbalik dan melayang, hingga seruan dari Deren mengejutkanku.

"Ah, tunggu tunggu! Baiklah aku salah, aku minta maaf!"

"Berhenti menanyakan hal bodoh, jika tidak ingin kutinggal."

"Siap, Bu bos!"

"...."

"Akh! Maksudku Siena!" Ia menjerit panik dan berbisik kecil, "Padahal semua orang suka dipanggil bos."

"Aku mendengar itu dan aku tidak menerima panggilan itu." Menarik napas, aku melanjutkan, "Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Heh?! Kau mau mendengar pertanyaanku? Padahal tadi—"

"Cepat, sebelum aku berubah pikiran dan pergi."

"Baiklah baiklah!" Ia merengut kesal dan bertanya dengan cepat, "Kenapa hantu-hantu yang dibicarakan temanku selalu terdengar menyeramkan, tapi kau tidak?"

Huh? Pertanyaan macam apa itu?

"Lalu?"

"Ya, aku penasaran! Kenapa kau malah menjawabnya seperti itu, huh?"

"Tanya saja teman bodohmu itu."

"Oh, ayolah Siena! Temanku pasti hanya akan menertawakanku."

"Yah memang kau pantas mendapatkannya dengan pertanyaan bodohmu itu."

"Kejamnya!"

Aku memijat pelipis lelah dan menghembuskan napas kasar. "Baiklah, akan kujelaskan secara cepat dan singkat. Tidak ada pengulangan."

Dan dengan begitu ia diam, menunggu dengan sabar seolah anak kecil yang bersiap mendengarkan dongeng pengantar tidur mereka. Aku menarik napas dan berbicara cepat, "Temanmu melantur."

"Heh?"

"Tidak ada pengulangan, sesuai perjanjian."

"Hehhhh- tapi itu tidak menjelaskan semuanya."

"Aku rasa itu sudah cukup menjelaskan semua hingga ke akar-akarnya."

"Tidak!"

"Iya."

"Tidak sama sekali!"

"Itu berarti otakmu terlalu dangkal untuk menangkap maksudku."

Dan rengekan kembali terdengar. Aku mengabaikannya dan terus berjalan tak tentu arah, mencari jalan berbelok dan berpegang pada keberuntungan.

"Jika kau menjadi guru, kau pasti akan didemo anak muridmu." Deren merutuk diriku dengan nada merajuknya.

"Untungnya aku sudah mati, 'kan?"

"Tidak! Tidak ada untungnya."

"Haha ... benar juga. Lagi pula mimpiku bukan menjadi guru."

"Lalu?"

"..."

"Ah ... kau selalu tertutup soal dirimu lagi!"

"Karena tidak ada hubungannya denganmu."

"Tentu ada."

"Tidak!"

"Diamlah. Kau masih merajuk soal hantu-hantu itu, huh?"

"Ya!"

Aku tidak menjawab dan menunjuk sesuatu di ujung jalan yang akan kami lalui. Pandangan Deren mengikuti arah yang kutunjuk dan seketika wajahnya menghijau, pucat dan takut. Ia terlihat ingin berteriak, tapi sepertinya suaranya tercekat di kerongkongannya.

"Itu hantu yang temanmu maksudkan." Aku beralih menunjuk diriku sendiri dan melanjutkan, "Dan aku arwah yang jelas-jelas berbeda."

"T-tapi kalian sama saja!"

"Kami berbeda-"

"Kalian sama-sama sudah mati, 'kan?"

"Tetap saja, kami berbeda."

"Ukh, apa bedanya? Hantu itu jelek dan Siena arwah yang manis, huh?"

Aku terdiam dengan rutukan Deren dan lebih memilih mengabaikannya, berjalan kembali untuk melewati 'hantu jelek' yang dibicarakan olehnya.

"Ah! Siena! Berhentilah, ayo cari jalan lain saja!" rengeknya.

Aku masih mengabaikannya. Dan entahlah. Aku ... tanpa sadar menarik kedua sudut bibirku, tersenyum kecil mengingat perkataan pemuda berumur 17 tahun itu.

Yah ... setidaknya semua kembali normal—

"Oi Siena! Tunggu aku! Aku takut!"

Walau sedikit menyebalkan ....

***

1007 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro