Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menghela napas. Duduk diam di atap rumah seseorang dan melihat perumahan sekitar yang begitu sepi. Jalan menuju surga yang kupikir akan mudah, ternyata tidak berjalan baik. Lihat saja, diriku seolah berperan sebagai hantu pengangguran sekarang.

Jangan tanya soal Deren. Pemuda itu sibuk sedari tadi di dalam rumahnya dan aku tidak berminat sama sekali untuk ikut masuk dan sekedar mengikutinya. Yah, cukup melelahkan kesana kemari walau kau menjadi arwah.

"Apa aku harus benar-benar mengikuti keinginannya? Tidak adakah cara memutus kontrak? Bagaimana jika orang yang kami cari tidak ditemukan?" Dan pertanyaan lainnya terus memenuhi kepalaku. Sejak kemarin, aku hanya diam dan mencoba berpikir apa yang akan kulanjutkan setelah ini.

Menurut mencari orang itu, kah? Tapi dia saja tidak tahu tempatnya dengan jelas. Atau memutus kontrak? Haha, kontrak itu secara alami terikat dan aku bahkan tidak tahu menahu soal memutus kontrak. Yah, ini bukan kontrak diatas selembar kertas yang mudah kau bakar dan rubah. Wajar saja ....

Aku menoleh ke bawah, kala suara pintu depan terbuka. Sosok Deren dengan pakaian yang sama seperti kemarin, muncul. Ia terlihat kebingungan dan menengok ke segala arah dengan panik.

"Seperti anak ayam saja ...."

"Oi, anak hilang yang disana," panggilku. Dan kala pandangannya dapat menangkap sosokku dengan jelas, wajah itu tersenyum cerah.

"Siena! Bagaimana bisa kau berada disana?!" Ia bertanya dengan nada yang cukup keras dan melanjutkan, "Hati-hati, kau akan jatuh!"

"Haha—aku kan sudah mati, bodoh ...," gumamku sembari menatap anak bodoh yang kini menunjukkan tatapan kebingungan.

"Kau bilang apa?!" Ia kembali bertanya tanpa memelankan nada suaranya sama sekali.

"Tidak ... kemarilah."

"Huh?"

"Aku yakin pendengaranmu masih berfungsi dengan baik. Jadi kemarilah."

"Anu, Siena—"

"Seseorang yang ingin menjadi pilot, tidak mungkin takut dengan ketinggian, 'kan?"

"Tapi ...."

Aku mengerjap menatapnya yang kini mengelus tenguknya. Terlihat ragu dan berkata pelan, "Bagaimana bisa aku ke atas sana tanpa tangga. Jika itu kau, memang akan mudah selama kau bisa terbang—"

Ah ... aku lupa soal itu.

Dan karenanya, aku melompat dan melayang turun perlahan di hadapannya. Yah, seharusnya aku mengingat dengan jelas perbedaan diantara kami berdua. Perbedaan makhluk hidup dan mati. Benar, 'kan?

"Jadi?"

"Huh?"

Ah, sikap polos dan bodohnya itu terlalu sering membuatku geram. Aku menarik napas panjang dan berkata, "Jadi, kenapa mencariku? Kau keluar rumah karena mencariku, 'kan? Apa ini soal—"

"Ah iya!"

Ucapanku terpotong oleh seruannya yang tiba-tiba. Dan dengan semangat, pemuda itu kembali masuk ke dalam rumah, meninggalkan aku lagi di luar sini.

"Aku benar-benar ingin melemparnya ke sungai ...."

Tak membutuhkan waktu lama, pintu kembali terbuka dengan sosoknya yang memegang kertas.

"Ingat soal tempat dimana aku dan orang itu bertemu?" tanyanya saat aku sedang fokus mencoba menerawang isi kertas itu.

Apa itu surat wasiat?

Gambar lokasi?

Foto orang itu?

Atau ... peta?

"Ya, aku mengingatnya. Kali ini apa?"

Terlihat ia menampilkan senyum percaya diri dan berseru, "Aku mengingatnya!"

Wah ... sepertinya tugasku akan selesai dengan cepat. Surga, aku datang—

"Lihat!" Dan dengan semangat, ia membentangkan kertas berisi gambar coretan anak TK. Sebuah belokan, jalan berbelok.

—mungkin tidak, surga harus menunggu diriku lebih lama lagi.

Aku menatap gambaran itu dengan ekspresi datar dan berujar, "Apa ini gambar saat kau masih kecil? TK, kah?"

"Kejamnya ... aku baru menggambar ini tadi!"

". . . gambaran anak TK bahkan bisa lebih baik dari coretan ini."

"Siena benar-benar kejam—"

"Terima kasih." Aku menyilangkan tangan di depan dada dan melanjutkan, "Jadi, apa deskripsi ingatanmu dari gambar ini, huh?"

"Tidakkah kau melihatnya? Ini sebuah belokan, tikungan, jalan yang berbelok!"

"Aku tidak sebuta itu ...."

"Lalu kenapa kau bertanya soal arti gambaran ini?"

"Yang kutanya soal ingatanmu, bodoh ...."

"Akh- sakitnya. Siena tidak pernah mengatakan hal bagus untukku."

"Diam dan hentikan wajah memelasmu dan ceritakan apa hubungannya ini dengan orang itu." Aku sudah geram dengan sifatnya yang bertambah menyebalkan akhir-akhir ini.

Dan setelah menampilkan senyum tanpa dosa, ia mulai menjelaskan, "Aku ingat ... aku bertemu dengannya di sebuah belokan jalan. Entahlah, tentang jalan dimana itu, masih kabur di ingatanku. Hanya ada jalan yang berbelok dan tembok yang menghalangi ...."

"... tidak berguna."

"Bagaimana bisa tidak bergun—"

"Kau pikir ada berapa jalan berbelok di sini, huh? Dan ka ingin kita mencarinya di semua belokan?"

Deren terdiam dan terlihat memikirkan sesuatu. Tangannya yang tengah mengusap dagu, membuatku menghela napas lega. Setidaknya pemuda ini masih mencoba memikirkan sesuatu dan terlihat berguna.

"Hm, ide bagus ...."

"Huh?"

Ia menatapku dan menampilkan senyum yang selalu terlihat menyebalkan itu. "Mungkin ide bagus jika mencari di semua jalan berbelok di kota ini."

Ah ... kutarik perkataanku yang tadi.

***

"Kau gila."

"Aku tidak—lagi pula kau yang menyarankan ini, Siena."

"Sejak kapan, huh?"

"Sejak kau mengatakan soal mencarinya disini."

"Aku tidak-"

"Kau iya."

Dan sepanjang perjalanan yang telah berlalu selama dua jam itu, aku terus merutuk soal kegilaannya. Kami sudah memeriksa tiga belokan yang sekiranya mirip, dengan tembok di kedua sisinya dan nihil. Dan manusia macam apa yang masih kuat untuk berjalan lagi tanpa henti, huh?

Bukan aku. Sebagai arwah saja, aku kelelahan.

Anak ini memang gila, berjalan tanpa beristirahat dan masih memaksa untuk menuju belokan keempat yang entah dimana lokasinya.

Bertanya bagaimana kami menemukan belokan sebelumnya? Pertanyaan bodoh yang akan kujawab. Kami hanya berjalan. Berjalan terus dan terus hingga menemukan sendiri belokannya. Karena itu adalah sifat alami dari pembangunan jalanan, bukan?

Yah, aku tidak peduli.

"Kau tidak lelah melayang?"

"Kau tidak lelah berjalan?"

"Hehh ... kenapa mengembalikan pertanyaanku?"

Aku menatapnya datar dan memalingkan wajah untuk fokus ke depan. "Aku sudah mati, aku arwah. Jangan samakan aku dengan makhluk yang masih hidup."

"Ah ... maaf."

Terdengar nada menyesal dari suaranya yang selalu membuatku kesal itu. Aku hanya mendengus kecil. "Tidak perlu meminta maaf, karena inilah kenyataannya."

"..."

"Ingin istirahat di taman?"

Dan tanpa jawaban darinya, kami bersama-sama menuju taman. Kucing kemarin yang sempat dimainkan oleh Deren, terlihat tengah tertidur di kursi. Yah, mungkin itu kucing liar yang bermarkas disini.

"Wah ... Blacky masih tidur di sini~"

Ctak!

Perempatan siku-siku jelas muncul di keningku. Menatap heran pemuda berusia lebih tua dariku itu.

"Kau menamainya apa?"

"Hm? Blacky. Bukankah nama yang imut."

"Bodoh."

"Heh?"

"Dasar bodoh, pedo, tidak berguna, menyebalkan."

Suara retakan terus terdengar dengan Deren yang sempoyongan karena perkataanku. "Siena kejam."

"Buta warna."

K.O

"Berhentilah berkata yang tidak mengenakkan hatiku ... kau sudah melakukannya sangat sering kemarin, bagaimana bisa kau terus melukai hati kecilku yang lembut ini?" rengeknya.

Aku menunjuk kucing yang masih asyik tidur dan berkata, "Bagaimana bisa kau memanggilnya Blacky disaat warnana jelas-jelas oranye?"

"Apa itu salah?"

"Jelas!"

"Tapi Blacky terdengar lucu disbanding Oreny." Ia terdiam dan melanjutkan, "... wah, Oreny terdengar keren."

"Sudahlah, aku lelah."

Deren terlonjak panik dan tanpa sadar menyenggol kucing itu membuatnya terbangun dan pergi menjauh. "Ah—Oreny kabur ...."

"Berhentilah merengek. Jika kau masih ada energi untuk merengek, maka habiskan itu untuk kembali mencari jalan yang kau maksud sebelum hari mulai gelap." Aku menggeram sembari melayang menjauhinya.

"Baiklah ...." Dan dengan lesu, Deren berjalan mengikutiku.

Ah ... ini benar-benar membuatku gila. Belokan, tembok, jalanan. Kami benar-benar buntu sekarang. Bahkan aku tidak yakin akan menemukan jalan itu dalam waktu dekat jika hanya bermodalkan petunjuk seperti ini.

Bagaimana bisa Deren melupakannya? Apa ia bertemu orang itu saat kecil? Tunggu ... ia pernah bilang soal umur pemuda yang ingin ia temui itu sebaya dengannya, 'kan? Pria? Sebaya ....

Tidak mungkin saat kecil—

Dan saat aku sibuk bergulat dengan semua dedukasiku, sosok Deren melangkah mendahuluiku. Berjalan begitu saja, berniat menyebrangi jalan di depan taman yang baru saja kami datangi.

Dari sudut mataku, terlihat jelas mobil hitam tengah melaju kencang. Tersentak dan kembali ke kenyataan, aku menyadari posisi Deren yang berbahaya. Berjalan seolah akan ditabrak oleh mobil itu.

Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Suaraku tercekat dan gerakanku seolah melambat. Kugenggam tangan pemuda itu dan menariknya ke sisi jalan, bertukar tempat. Deren terkejut karena ku tarik dan terlihat tertatih, sementara aku membiarkan diriku dilalui oleh mobil hitam yang nyaris merenggut nyawa tuanku.

Aku arwah dan tentu saja mobil itu menembus tubuhku begitu saja.

"Apa yang kau pikirkan?!" Aku mengumpat kepadanya dengan nada tinggi. "Kau gila, hah?! Berjalan begitu saja, kau bisa mati! Ada apa denganmu?!"

Deren terdiam. Kejadian cepat tadi tentu saja membuatnya cukup terkejut, bahkan otaknya terlihat masih memproses apa yang terjadi. Ia menunduk. Aku menghembuskan napas kasar dan merenggut suraiku.

"Kau—apa yang kau pikirkan, huh? Berniat mati dan meninggalkan mimpimu? Kau tidak—"

"Kucingnya."

Aku terdiam kala ia memotong ucapanku dengan suara yang parau. Pandangannya yang semula tertunduk, kini menatapku dalam-dalam. "Kucingnya ... Oreny—"

Tatapannya yang semula menatapku, kini teralihkan ke jalanan. Dan aku menyadari. Dengan sosok hewan berbulu hitam yang tengah mengenjang dan menggeliat kesakitan. Suara rintihan yang terdengar parau dengan noda merah memenuhi jalanan.

Pemandangan itu mampu membuat siapapun meringis dan iba. Bahkan hingga sosok mamalia berbulu itu tak lagi bergerak, aku masih terus menatapnya. Kematian yang datang ... selalu terasa sakit. Dan seketika aku tersadar.

Deren ... hanya ingin menyelamatkan kucing ini.

***

1352 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro