Bagian 09

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dedarah
Bagian 09

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Berapa persen baterai gadget kalian sekarang?

Hantu yang pantas menjadi hantu nasional (hantu paling populer di Indonesia) menurut kalian siapa? Pocong vs Kunti! Atau ada kandidat lain?

Apa di daerah kalian pernah ada kasus mistis yang cukup menghebohkan?

Kalau kalian ingin ke kamar kecil--kamar kecil ada di luar kamar--saat malam hari, ketika semua orang sudah tidur, kalian tetap keluar kamar atau tidak? Berikan alasannya!

Kalau kalian sangat kelaparan di malam hari ketika semua orang di rumah sudah pada tidur dan ingin makan, tetapi tidak ada makanan di rumah dan tidak bisa order makanan dari rumah, apakah kalian akan pergi keluar dan mencari makan? Berikan alasannya!

○●○

"Mengenai metodemu mencari tulisan yang mirip dengan surat yang kamu dapat, itu bukan metode yang harus dipikirkan pertama kali." Darma menunjukku, mengambil penghapus di meja dan menghapus tulisan di papan tulis. "Apa yang harus kita lakukan pertama kali untuk mencari pelakunya, yaitu menemukan apa motif di balik perbuatannya." Dia menuliskan kata motif di bagian atas papan tulis. "Jadi, ayo kita buat daftar orang-orang yang menurutmu punya motif untuk itu."

"Mo-motif, ya?"

"Rema, kamu kenapa?" Darma tampak bingung.

Aku harus berada di dekat tangga bambu ini, tidak boleh jauh. Jika posisi dia yang lebih dekat dengan tangga ini, dengan mudah dia bisa menjatuhkan tangga dan kemudian mulai melancarkan aksinya.

"Apa kamu melihat sesuatu di ruangan ini? Sosok yang muncul karena paranoid itu?" tanya Darma yang tampak bingung dengan ekspresiku.

"Tidak. Aku hanya memikirkan hal lain, hal yang mengerikan, tetapi bukan soal hantu," kataku yang kemudian tertawa canggung.

"Saya melihat keraguan dalam matamu. Saya sungguh-sungguh ingin membantu. Saya bisa batalkan tentang syarat yang saya minta. Sebenarnya, saya hanya mengetes seberapa besar kamu ingin dibantu. Saat kamu mengiyakan syarat itu, saya langsung sadar jika masalahmu benar-benar serius.

Setiap pelaku kejahatan yang merugikan orang lain haruslah mendapatkan balasan. Ini penting agar tidak ada kejahatan serupa lagi. Kejatahan dengan menggunakan ilmu hitam adalah kejahatan besar. Sesuatu yang dianggap takhayul, tetapi sebenarnya adalah hal yang serius. Saya merasa tertantang untuk dapat memecahkan masalah ini. Saya tidak bisa menjalankannya sendiri. Saya butuh kamu untuk memberitahu apa pun yang kamu tahu. Saya minta kamu untuk percaya saya, Rema," ungkapnya.

Aku menelan ludah. Kurasa aku benar-benar tolol mencurigainya akan melakukan hal yang sangat keji itu. Orang di depanku ini punya pandangan tentang kejahatan yang harus mendapatkan balasan. Apa orang seperti itu akan melakukan kejahatan juga? Namun, keraguan masih ada di benakku. Aku tidak tahu apakah dia seorang monster atau seorang malaikat.

Tidak apa-apa. Asal dia ganteng dan kaya.

Aku teringat kata-kata Sari. Darma memiliki dua kriteria yang dikatakan Sari. Tidak akan ada yang bisa membantah tentang fakta bahwa Darma memiliki wajah yang tampan. Aku tahu, ayah Darma adalah seorang saudagar sukses. Darma anak orang kaya yang cukup terpandang, tidak heran jika dia bisa dipercayai oleh polisi untuk membantu.

Dengan dua hal itu, kata-kata Sari yang tampaknya tidak masuk akal, bodoh, dan menunjukkan hilangnya harga diri itu kini menjadi sesuatu yang abu-abu. Aku yakin Sari tidak sendiri, pasti ada banyak perempuan yang juga punya pemikiran seperti Sari. Aku terlalu naif untuk hal ini. Dengan kata lain, tidak menutup kemungkinan bahwa sudah banyak perempuan yang mau diajak tidur oleh Darma.

Kejahatannya tidak akan terendus karena mereka semua mau melakukan itu atas dasar suka. Memikirkan jika Darma yang tampak sangat ramah, bicara dengan sopan, tampak baik dengan anak kecil adalah seorang penjahat kelamin membuatku merinding.

"Apa kamu mau percaya pada saya, Rema?" Darma bertanya lagi.

"A-aku," aku melirik ke arah ranjang.

Darma menyadarinya, dia menoleh ke arah ranjang. Lalu, dia tersenyum aneh ke arahku. "Jangan-jangan kamu memikirkan hal itu karena ada ranjang di ruangan ini," ujarnya. "Ini adalah ranjang untuk merenung. Jadi, saat saya terbaring di ranjang ini, saya akan merenungkan banyak hal, menemukan ide, dan mungkin saja menemukan petunjuk, dan jawaban. Tidak pernah ada perempuan masuk ke ruangan ini. Kamu yang pertama."

"Lihat di sana," Darma menunjuk ke arah sebuah pigura. Foto seorang perempuan paruh baya.

"Apa itu ibumu?" tanyaku yang masih dalam keadaan gemetar.

"Ya. Matanya menuju ke arah sini. Jika saya melakukan hal buruk di sini, saya akan merasa bahwa ibu saya mengetahuinya."

Aku masih diam.

"Ayo kita bicara di luar saja jika kamu tidak nyaman di sini," Darma mengambil buku catatan di tasnya, dan mengambil satu buku yang ada di lemari. Kemudian dia menuju ke arah tangga di sebelahku.

"Aku keluar dulu," kataku yang masih memikirkan teori gilaku.

Saat Darma mengikutiku keluar dari bangunan ini membuatku merasa sedikit bersalah.


Akhirnya, kami di sini. Di pinggir padang rumput, duduk di atas rumput dan memandangi anak-anak yang sedang berlarian mencari belalang. Angin sepoi-sepoi membuatku menjadi tenang. Kekhawatiranku pada Rajo hilang saat melihatnya membaur dengan yang lain.

"Bisa kita mulai," kata Darma.

Aku mengangguk. Di sini, aku merasa lebih pikiranku lebih jernih.

"Aku akan mulai dari Dewi...."

Ada beberapa orang yang memiliki motif untuk mencelakakanku di kelas. Tentu saja Dewi adalah salah satu orang yang dapat—paling—dicurigai. Aku adalah rivalnya. Tanpaku, dia akan menjadi ranking satu di kelas. Tanpa aku, mungkin juga dia yang akan terpilih untuk mengikuti berbagai lomba akademik.

Sari memiliki motif yang jelas jika dialah tersangkanya. Aku selalu dia anggap sebagai musuh. Jika kasus Dewi soal kepintaran, Sari adalah soal kecantikan. Sari selalu memganggap dirinya paling cantik, tetapi banyak orang tidak setuju karena ada aku—yang harus kuakui memang lebih sering mendapat pujian soal fisikku dibanding Sari. Tanpa aku, dia akan semakin yakin pada posisi kembang sekolah yang dibuatnya sendiri itu.

Orang-orang semacam Gilang, Danu, Ajeng, dan Hendra sangat kecil kemungkinannya untuk melakukan hal semacam itu. Gilang mungkin merasa dirinya sombong—itu membuatnya bangga—karena berada di kasta tinggi sebagai anak orang kaya. Namun, kesombongannya tampaknya tak terlalu dianggap oleh yang lain, karena yang lain selalu menganggapku lebih sombong. Adakah orang yang menyantet hanya karena hal seperti itu? Karena ingin dianggap paling sombong?

Jika pelakunya Danu, mungkin motifnya untuk memilikiku. Banyak hal yang mengindikasikan bahwa Danu suka padaku, seperti mengolok Sari saat dia mengataiku, mengakui kelebihanku dibanding yang lain, atau menyelamatkanku saat aku hampir pingsan. Mungkin, dia juga tahu kalau aku menderita asma—aku tidak yakin. Waktu itu, di UKS aku menggunakan inhalerku, aku tidak tahu apakah Danu masih di sana atau sudah pergi. Fakta bahwa tidak ada yang tahu lagi soal penyakitku adalah kemungkinan bahwa Danu menyimpannya baik-baik. Walau dia anak yang nakal dan suka berkelahi, bukan berarti dia berani mengungkapkan rasa suka pada perempuan. Aku tidak pernah mendengar dia memiliki pacar. Jadi, semakin jelas bahwa ada kemungkinan bahwa dia suka padaku. Mungkin skenarionya adalah mengulang apa yang pernah dia lakukan padaku—menolongku. Dia akan menjadi penolong dan mencabut kutukan itu dan aku akan suka padanya. Terdengar aneh bahkan mirip dengan Darma yang ingin aku menjadi pacarnya—walau dia sudah jelaskan bahwa dia hanya mengetes urgensi dari masalahku.

Orang seperti Ajeng yang punya kebiasaan mengambil barang-barang kecil rasanya sulit menemukan motif darinya. Apakah aku punya barang yang sangat ingin dia diambil? Jika pun ada, dia tidak perlu mengirim kutukan. Lain lagi Hendra, satu-satunya motif yang paling mungkin baginya untuk mencelakaiku adalah soal perangko. Apa aku memiliki perangko langka yang dia inginkan? Di rumahku memang ada beberapa perangko, tetapi aku tidak yakin ada yang bernilai mahal hingga Hendra mau mengirimiku kutukan untuk mengambil perangko itu. Lagi pula, dari mana dia tahu jenis-jenis perangko yang kumiliki? Oh ya, aku ingat ada tugas soal kliping. Aku menempelkan perangko-perangko dalam klipingku, lalu kami memajangnya, dan aku mendapatkan nilai terbaik dari tugas itu. Adakah perangko yang ingin dimiliki Hendra di kliping yang sudah kembali ke tanganku itu?

Naya sahabat dekatku. Rasanya dia adalah orang yang tidak mungkin melakukan itu padaku. Namun, mengingat Darma memintaku mendeskripsikan motif-motif yang mungkin dari orang-orang terdekatku, aku memasukkan namanya. Jika harus kukatakan apa motif yang mungkin untuknya mengirimiku kutukan, satu-satunya yang terlintas dibenakku adalah agar aku mati. Aku pernah mengatakan pada Naya jika asmaku tidak akan pernah sembuh kecuali aku mati. Naya sangat peduli padaku, mungkin dia berpikir jika aku mati siksaanku akan penyakit asmaku akan hilang.

Terakhir, Hani. Dia adalah sosok paling aneh di kelas. Jika aku harus memikirkan motif yang mungkin untuk dirinya menjadi seorang pelaku adalah untuk membuatku berteman dengannya. Jika kutukanku diketahui orang-orang, aku akan dikucilkan. Aku akan dianggap aneh dan terabaikan, sama persis seperti Hani yang sama sekali tidak dipedulikan oleh siapa pun.

Aku menceritakan itu pada Darma, tetapi aku menghilangkan masalah penyakit asmaku. Jadi, aku mengubah motif Naya. Sahabatku itu punya motif agar aku bertemu ayahku ketika aku mati. Karena setelah ayahku mati, Naya selalu menganggapku berubah. Namun, itu seperti motif yang terlalu mengada-ada. Naya tidak akan pernah melakukan itu.

"Kepintaran, kecantikan, kesombongan, rasa suka, barang kecil, perangko, kematian, dan pertemanan," Darma sepertinya sedang memikirkan motif-motif itu—dia sudah mencatatnya di bukunya.

"Siapa yang paling mungkin melakukan itu padaku?" tanyaku. "Motif mana yang paling masuk akal?"

"Apakah Ajeng sering mengambil barang milik orang lain tanpa ketahuan?" Darma balik bertanya.

"Ya. Dia sangat ahli dalam mencuri. Mungkin dia hanya klepto. Dia ketahuan kalau kita menggledah tasnya, tetapi sama sekali tidak pernah ketahuan saat dia menjalankan aksinya," terangku. "Apa kau curiga dengan Ajeng? Dia justru paling tidak mungkin, kan?" jawabku yang diakhiri dengan ekspresi tidak percaya.

"Sebuah santet memerlukan media dari korbannya. Biasanya berupa barang atau apa pun yang melekat di tubuh. Barang-barang kecil bisa menjadi media santet. Seorang paling ahli mengambil barang itu adalah Ajeng, kan?" tanya Darma yang ada benarnya juga.

"Tapi motifnya?"

"Pelakunya sebenarnya mungkin bukan Ajeng, dia bisa bekerja sama dengan siapa saja," ungkap Darma.

"Orang suruhan, ada yang menyuruhnya ...," gumamku seraya mengangguk-angguk.

"Saya hanya mengambil penarikan sementara. Jawaban atas masalahmu masih cukup jauh. Saya akan segera melakukan penyelidikan," kata dia. "Apa kamu mau berbagi nomor telepon rumah?"

Aku mengangguk. Aku menarik buku dan pensilnya, kutulis nomor telepon rumahku di salah satu halaman. "Kau laki-laki pertama di sekolah yang tahu nomor telepon rumahku," jawabku.

"Bagaimana dengan Pak Farhan? Kepala sekolah pasti tahu nomor rumah semua keluarga murid, kan?" tanya Darma.

"Siswa laki-laki pertama," ulangku dengan kesal.

Dia tersenyum, mungkin dia bangga. "Saya akan selalu memberikan kabar atas perkembangan penelitian ini. Saya juga akan menelepon jika membutuhkan data lain lagi."

"Baiklah."

"Ini buku yang kemarin ingin kamu pinjam dari perpustakaan, bukan?" Darma menunjukkan buku merah itu.

Sejarah Pemujaan Iblis

Aku menerima buku itu. Namun, rasanya begitu aneh memegang buku semacam ini. Aku akan membacanya di rumah.

"Tidak terasa sudah petang ya, kamu harus pulang agar sampai rumah sebelum gelap," kata Darma.

Aku mengangguk, lalu berdiri. "Rajo, ayo pulang!"

Adikku kemudian berlari, menunjukkan beberapa belalang yang ada di dalam plastik. "Aku dapat delapan."

Kami berdua pulang, meninggalkan Darma di depan markasnya. Tadinya, aku ingin meminta maaf karena pikiran-pikiran burukku tentangnya. Namun, itu justru akan membuatnya semakin tidak nyaman. Jadi kusimpan saja.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Bagaimana pendapat kalian tentang misteri di cerita ini?

3. Apa pendapat kalian tentang Rema?

Siapa yang pengin lanjut! Comment: Next!

Hadiah permainan di Bagian 28: Memiliki kemampuan menangkal friendzone.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro