Bagian 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dedarah
Bagian 10

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Lebih sering baca buku fisik apa Wattpad?

Lebih suka warna-warna gelap atau warna-warna terang? Favorit kalian warna apa?

Kalau kalian tersesat di hutan di malam hari, apa yang kalian akan lakukan?

Kalau kalian tahu ada hantu yang masuk ke rumah kalian, kalian akan sembunyi di mana?

Percayakah kalian pada legenda Nyi Roro Kidul?

○●○

Hari Minggu adalah hari libur yang kuisi dengan kegiatan di kota. Aku ikut dalam sebuah komunitas renang untuk remaja. Komunitas itu selalu mengadakan latihan berenang bersama di kolam renang yang ada di gelanggang olahraga. Tidak ada biaya yang dipunggut untuk ikut komunitas ini. Syarat masuknya hanyalah dengan menulis sebuah tujuan kenapa kami ingin masuk ke dalam komunitas itu.

Tujuanku yang ingin melatih pernapasan agar asmaku tidak sering kambuh pun diterima. Aku sudah menjadi bagian dari komunitas ini sejak tiga bulan yang lalu. Biasanya, kami berenang dari jam dua siang hingga jam empat. Awalnya aku ingin berhenti sejak kutukan itu datang. Namun, karena aku memakai penutup kepala saat berenang, kemungkinan rambutku akan tetap aman.

Walaupun sudah tiga bulan bergabung dalam komunitas ini, tidak ada anggota lain yang dekat denganku. Memang, ada beberapa anggota laki-laki yang kadang memulai obrolan denganku, tetapi mereka selalu tak aku acuhkan. Kecuali satu orang, Byru.

Dia tidak seperti remaja laki-laki lain yang sudah jelas hanya tertarik pada rupaku. Byru tampaknya hanya peduli denganku karena penyakit asma yang kuderita—semua anggota komunitas ini tahu. Jadi, beberapa kali dia membantuku berenang saat pelatih kami sedang membantu yang lain.

Berada di dalam air membuatku merasakan hal yang berbeda. Aku seperti sedang menyerahkan tubuhku pada air, menyatu dengannya seakan air adalah bagian dari tubuhku. Aku menikmati berenang, menggerakkan tangan dan kaki. Ini benar-benar melatih pernapasanku agar lebih kuat.

Duduk di pinggir kolam dengan handuk yang menyelimuti punggungku. Aku memperhatikan kolam yang masih diisi belasan anggota komunitas. Ini adalah kolam renang di dalam ruangan, jadi, pencahayaan berasal dari jendela di bagian atas tribune.

Byru keluar dari kolam renang dengan santai, menyugar rambutnya yang basah. Ia mendapati aku tengah memperhatikannya. Lalu, dia tersenyum ke arahku. Aku mengangguk canggung, membalas senyumnya.

"Apa kamu merasa ada perkembangan?" tanyanya yang duduk di ujung kursi panjang—menjaga jarak terhadapku.

"Kurasa, iya. Aku paling buruk di antara semuanya. Namun, aku merasa mulai bisa beberapa gaya," kataku. "Tidak hanya gaya batu saat pertama kali bergabung di sini." Aku terkekeh.

"Itu bagus," kata dia yang memandangiku. "Kamu tidak keramas dan mengeringkan rambutmu dulu?"

Aku mengindari itu. Keramas akan membuat rambutku rontok saat aku menggosoknya. Aku meminimalisir menyentuh rambut sejak kutukan itu tiba. Memang saat bangun tidur, akan selalu ada rambut yang rontok di bantalku. Namun, tidak banyak darah yang keluar dan aku sama sekali tidak sadar karena saat aku bangun darahnya sudah mengering di kepalaku. Jadi aku hanya perlu membilas rambutku dengan hati-hati untuk membersihkan darah-darah kering itu setiap pagi.

"Nanti di rumah saja, aku lupa membawa sampo," kataku beralasan.

"Oh seperti itu," kata dia yang kemudian berdiri. "Aku duluan, ya."

Aku mengangguk.

"Hei Rema! Sama aku saja, jangan sama Byru! Dia punya gadis lain," bisik anak laki-laki yang aku lupa namanya itu sedang berada di pinggir kolam dan menggodaku.

Tanpa mengacuhkannya, aku berdiri. Aku harus pulang.


Saat sampai di depan rumah, aku melihat mobil boks dan mobil Toyota Absolute Corona berwarna putih milik ibuku. Ibu pulang sore? Aku segera menaruh sepedaku ke tempat biasa—di sebuah garasi kecil di samping rumah.

Di beranda rumah, Ibu sedang bicara dengan seorang pria. Dia memberi uang pada pria itu dan mengucapkan terima kasih, lalu pria itu turun dari beranda dan menuju ke mobil boks yang kulihat sudah diisi pria lain di belakang kemudinya. Aku naik ke beranda.

"Siapa dia?" tanyaku.

"Ayo masuk!" ajaknya yang kemudian membalikkan tubuh dan melangkah menuju ke dalam rumah.

Tanpa Ibu menjawab pertanyaanku tadi, aku sudah tahu jika pria tadi adalah petugas pengiriman. Yang membawakan piano hitam ini. Aku segera menyentuh piano ini, masih sangat mengkilap.

"Terima kasih," kataku ke Ibu.

Dia hanya mengangguk. "Malam ini sepertinya Ibu akan pergi, mungkin besok malam baru pulang. Kamu jaga rumah, ya."

"Mau ke mana?" tanyaku.

"Ada urusan," kata dia yang tidak ingin memberitahukannya.

Aku kembali menoleh ke arah piano, duduk di depannya—sudah disediakan kursi. Mencoba menekan tuts satu per satu. Bunyinya cukup keras, dari lantai dua pun pasti kedengaran. Aku menyuka ini.

"Rajo! Ibu pergi dulu ya," kata Ibu ke Rajo yang sedang bermain Nintendo.

"Bawa oleh-oleh kalau pulang," sahut Rajo yang hanya menoleh tak lebih dari dua detik.

Ibu tersenyum padaku dan kemudian keluar rumah. Ini bukan kali pertama dia menginap di tempat lain. Jadi, aku tidak terlalu mempersalahkan.


Aku membaca buku merah ini di kamar. Aku masih heran kenapa di perpustakaan ada buku semacam ini. Namun, kurasa itu bukanlah hal yang harus kupikirkan. Aku fokus pada isinya, mengetahui jika pemujaan iblis memiliki kegiatan-kegiatan menakutkan membuatku merasa bahwa orang-orang yang masuk ke dalam sekte itu adalah orang-orang gila. Bagaimana bisa mereka memakan bayi hasil aborsi, melakukan seks bebas bersama, dan meminum darah?

Mereka juga punya lambang-lambang aneh, seperti angka 666, lambang bintang bersudut lima dalam lingkaran, bintang segi enam atau heksagram, dan paling membuatku mengerutkan kening adalah lambang salib yang terbalik. Lalu, aku diam saat melihat gambar patung yang disebut Baphomet, sosok manusia berkepala kambing dengan satu tangan diangkat ini sangat familiar di kepalaku. Itu patung yang sering kulihat dalam mimpiku. Patung iblis!

Membuka halamann demi halaman tentang munculnya sekte-sekte pemujaan iblis, aku dibuat merinding. Secara diam-diam mereka ada di sekitar kita, tetapi karena berbaur dengan masyarakat maka orang biasa tidak bisa membedakan mereka. Penyihir, orang-orang yang menjaankan pesugihan, dan orang-orang yang menginginkan kekuatan dari iblis berkumpul dalam sekte-sekte ini.

Namun, tentu saja tidak ada yang gratis. Selain mereka harus memuja para iblis, mereka juga harus menumbalkan sesuatu kepada iblis. Ada yang menumbalkan tubuhnya, ada pula yang menumbalkan orang lain untuk persembahan iblis. Penulis buku ini berteori jika sekte-sekte yang hidup di negara ini bergabung untuk suatu agenda besar. Namun, tidak ada yang tahu agenda apa yang sedang direncanakan mereka.

Menutup buku ini, aku termenung memikirkan tentang iblis yang sering kulihat dalam mimpi. Bagaimana bisa ada patung Baphomet dalam mimpiku? Padahal, aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Lalu, adakah hubungan antara kutukan yang aku dapatkan dengan itu semua? Apakah aku sebenarnya sedang ditumbalkan oleh seseorang—penganut sekte sesat penyembah iblis?

Namun, sosok hantu dengan rambut yang dapat melilitku itu tidak seperti iblis di dalam buku atau yang ada di mimpiku. Walau aku tak melihat wajahnya, aku bisa menyimpulkan dia itu perempuan—dari pakaian hitamnya. Mungkinkah dia itu penyihir? Aku membuka buku yang masih di tanganku ini lagi, mengecek bagian yang membahas tentang penyihir.

Sosok penyihir memiliki ilmu hitam yang didapatkan dari iblis. Jika penyihir mati, kekuatannya akan membuat jiwanya tetap hidup hingga tenggat waktu yang telah ditentukan oleh sang iblis pemberi kekuatan. Membaca bagian ini, tiba-tiba aku menjadi sangat yakin jika sosok yang kutemui malam Jumat itu adalah sosok penyihir yang raganya sudah mati, tetapi jiwa dan kekuatannya masih terus hidup.

Kubuka halaman lain.

Namun, jiwa-jiwa penyihir tetap membutuhkan orang lain agar mampu terus hidup dan menampakkan diri. Mereka membutuhkan kekuatan yang berasal dari persembahan.

Persembahan. Di sini aku cukup bingung. Jika aku ditumbalkan, maka aku adalah persembahan, kan? Aku tiba-tiba merinding. Motif-motif yang kuutarakan pada Darma bisa jadi tidak ada hubungannya. Maksudku, tujuan pelaku bukan untuk membuatku mati. Namun, mereka punya tujuan lain. Hanya saja, aku yang dikorbankan untuk tujuan itu.

Aku menaruh buku itu ke loker nakas, mencoba untuk tidak memikirkan teori-teoriku. Karena aku sama sekali tidak punya bukti. Aku harus mengikuti penyelidikan Darma. Jadi, selama itu aku harus tenang dan siap menghadapi apa pun.

Aku turun dari ranjang, mengecek di bawah ranjang, tidak ada siapa pun. Lalu, aku keluar kamar. Aku ingin menggosok gigi sebelum tidur. Sebenarnya, sejak kemunculan sosok itu, aku selalu waspada, tetapi dia justru tidak muncul lagi. Di ruang tengah, kudengar suara televisi dan suara teriakan kecil. Rajo pasti sedang memainkan Nintendonya.

"Aku menang lagi. Kamu bisa main tidak?"

Rajo bicara sendiri lagi. Aku mengendap-endap di lorong untuk segera mengintip apa yang sedang terjadi di ruang tengah.

"Mau coba permainan lain?"

Siapa dia? Rajo bicara dengan siapa?

"Star Fox, Zelda, Super Mario, Kirby, ayo mau yang mana?"

Aku mencoba berjalan perlahan agar tak terdengar suara decitan di lantai kayu ini. Rajo pasti akan segera berhenti bicara jika menyadari bahwa ada aku di dekatnya. Adikku itu merahasiakan sesuatu.

"Jangan kalah lagi, ya!" kata Rajo yang sepertinya sudah mendapatkan permainan yang diinginkan temannya itu.

Dengan degub jantung yang semakin keras, aku sampai di ruang tengah. Mataku terbelalak saat melihat joystick di samping Rajo melayang rendah.

"Rajo!" panggilku.

Joystick itu jatuh dan decitan lantai terdengar. Decitan yang menuju ke lorong menuju dapur. Aku mengatur napas. Aku masih mencoba mencerna apa yang baru saja kulihat. Sosok makhluk tak kasat mata tengah berkeliaran di rumah ini. Teman Rajo. Adikku punya teman yang tak bisa kulihat wujudnya.

Rajo menoleh padaku, memandangku dengan kaget. Aku berjalan ke arahnya. Dia menggeleng-geleng seperti tengah menjelaskan bahwa apa yang kulihat tak seperti apa yang sebenarnya terjadi.

"Siapa dia?" bisikku.

Rajo masih menggeleng.

Aku menoleh ke almari jam yang menunjukkan pukul sebelas lebih, tepatnya sebelas lebih sebelas. Lalu, aku kembali menoleh ke Rajo. Dia tidak ada. Aku langsung memundurkan tubuhku. Apa yang ada di depanku hanyalah konsol Nintendo dan dua joystick yang tergeletak dengan televisi yang mati.

Dengan perasaan yang masih tak menentu, aku menoleh ke arah lorong gelap yang menuju dapur. Aku ingin mengecek Rajo di kamarnya. Aku pun berjalan ke sana, membuka pintu kamar dan melihat Rajo sedang terbaring. Aku mendekat, menyelimutinya.

Kuperhatikan ruangannya. Melihat kertas-kertas di meja, aku mengambilnya. Gambar-gambar aneh. Gambar dua anak kecil, gambar payung, gambar boneka. Apa maksud gambar-gambar ini? Aku kembali menaruhnya ke tempat semula.

Aku mengatur napasku, mencoba untuk tetap tenang dengan apa yang sudah kulihat. Kembali ke kamarku, aku pun mencoba tertidur. Namun, rasanya sangat sulit saat mengingat sosok Rajo lain dalam bayanganku. Ini bukan paranoid. Aku yakin sosok itu nyata. Hantu, iblis, setan, jin atau apa pun itu telah mengubah wujudnya menjadi Rajo untuk menakut-nanakutiku. Atau bukan hanya sekedar itu, dia menginginkan sesuatu dariku.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Pendapat kalian tentang Rajo?

3.  Bagaimana pendapat kalian tentang penggunaan latar 90an di cerita ini?

Siapa yang pengin lanjut? Comment: Cihuy!

Hadiah permainan di Bagian 28: Mendapatkan kejutan dari para penghuni kuburan di tengah malam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro