bab delapan belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam pelajaran terakhir sudah selesai. Sedari tadi fokus Indira bukan kepada pelajaran Sejarah, melainkan pada sosok laki-laki yang tengah menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan. Indira membereskan seluruh alat tulisnya dengan mata yang terus menatap Anan.

"Woi, Nan, bangun! Mau pulang gak Lo?" Sultan menggoyangkan bahu Anan.

Laki-laki itu tak mendongak, melainkan menjawab pendek, "Duluan aja."

Serin dan Kavin berjalan mendekat, berdiri melingkari meja Anan. Kavin menatap Sultan seolah bertanya 'kenapa?'

Sultan yang mengerti pun hanya menaikkan kedua bahunya.

"Nan, Lo ada masalah?" tanya Serin dengan iba.

Anan tak menyahut, membuat tiga sahabatnya itu saling melempar tatapan bingung.

"Kalian duluan aja, gue masih ngantuk," kata Anan yang tak mengubah posisinya.

"Ya udah, kita duluan ya," ucap Kavin menepuk bahunya, disusul oleh Sultan.

Kepergian teman-teman Anan bersamaan dengan Indira yang baru selesai membereskan barang-barangnya. Indira sengaja memperlambat gerak tangannya, supaya bisa mencuri waktu untuk berbicara dengan Anan.

Indira menggendong ransel putihnya, kemudian berjalan pelan ke arah meja Anan. Beberapa saat ia hanya menatap lelaki itu dengan tangan yang menggenggam tali ransel kuat-kuat.

Saat mulut Indira hendak terbuka untuk berbicara, Anan lebih dulu mendongakkan kepalanya. Wajah kacau lelaki itu membuat Indira mengurungkan niatnya.

"Anan, a—" Tanpa memberi waktu untuk Indira berbicara lebih lanjut, Anan bergegas pergi dengan ransel yang ia kaitkan di bahu kanannya.

Indira tak menyerah begitu saja. Ia mengikuti langkah kaki Anan. Karena, gerakan kaki Anan terlalu cepat, Indira tak bisa mengimbangi langkah laki-laki yang ingin diajaknya bicara.

"ANAN, MAAF!" teriak Indira kala kakinya berhenti, tak sanggup untuk mengejar lagi.

Suara Indira yang menggema di lorong sekolah kosong, ternyata berhasil membuat langkah Anan berhenti. Indira tersenyum lega melihat itu. Ia bergegas mendekat sebelum Anan berubah pikiran.

"Simpen aja maaf Lo. Gue gak butuh!" sarkas Anan tanpa menoleh sedikitpun,  membuat Indira menghentikan langkahnya.

"Aku bener-bener minta maaf, Nan. Aku gak bermaksud buat hancurin hubungan kalian," kata Indira.

Anan tak acuh, enggan melanjutkan pembicaraan. Lelaki dengan tas di bahu kirinya itu memilih pergi, meninggalkan Indira yang hanya menatap kepergiannya tanpa pergerakan apapun.

Saat Indira menatap punggung Anan yang terus menjauh, tiba-tiba bayangan sosok Milan dan Nadir terputar di kepalanya tanpa bisa ia hentikan.

"Milan, apa kamu yakin kalau di kehidupan selanjutnya kita bakalan tetep saling mencintai kayak sekarang ini?" Terselip nada khawatir dalam pertanyaan Nadir.

"Kalau aku sih yakin gak bakalan lupa tentang kita, tapi kamu...?"

Milan yang sedang memakan es serut pun menoleh, lalu memperlihatkan senyuman lebar. "Kenapa tiba-tiba gak yakin?"

Nadir membuang napas panjang sebelum menjawab, "Bukannya gak yakin, tapi--" Perkataannya ia hentikan sebelum selesai.

"Nadir, bagaimanapun kelanjutan cerita kita, aku harap kamu bisa menerima. Sekarang kita kuatkan saja permohonan kita dengan doa, supaya Tuhan mengabulkan apa-apa yang kita harapkan."

Perlahan kesadaran Indira kembali, pipinya sudah basah akibat air mata yang menetes. Kalimat pertama dalam ucapan terakhir Milan terus terulang di kepalanya.

Bagaimanapun kelanjutan cerita kita, aku harap kamu bisa menerima.

Kepala Indira mengangguk paham. Ternyata Milan sudah memperingati Nadir. Jadi, sekarang tugasnya adalah melakukan apa yang Milan suruh; menerima kelanjutan kisahnya.

"Kak Bagas bener, yang perlu aku lakukan itu ikhlas," gumamnya yang masih menatap jejak Anan yang sudah menghilang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro