bab tujuh belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I love you."

Satu detik setelah Indira menyelesaikan ucapannya, terdengar suara pintu dibuka dengan keras. Keduanya menoleh, kemudian Anan mendorong tubuh Indira menjauh.

Natya yang menyaksikan itu hanya berdiri mematung di hadapan keduanya. Ia tersenyum getir seraya memainkan jemarinya. "Nan...." Natya tak bisa berkata-kata.

Anan menggeleng kuat. Berharap Natya tak salah mengambil kesimpulan. "Gak, Nat! Lo jangan salah paham dulu, ya."

Tak mau mendengar ucapan Anan selanjutnya, Natya membalikkan badannya dan bergegas meninggalkan UKS. Dadanya sudah terasa sangat penuh. Ketakutannya selama ini benar-benar terjadi.

Anan ikut keluar UKS, mengikuti jejak Natya. "Natya ... Natya ...." Anan terus memanggil-manggil perempuan yang tengah berjalan cepat di depannya.

Natya tak mau berbalik, seolah indera pendengarannya tak berfungsi. Ia tetap bertahan dengan langkah kakinya yang bergerak cepat.

Setelah beberapa saat mengejar, akhirnya Anan mampu meraih tangan Natya. Ia menariknya berbalik hingga berhadapan. "Nat, dengerin dulu," mohonnya.

Dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca, Natya menelan salivanya susah payah. "Silakan, Nan! Silakan kamu buat pembelaan sebaik mungkin," balasnya lirih namun penuh penekanan.

"Aku gak mau buat pembelaan, aku cuma mau jelasin kalau kamu cuma salah paham."

"Kamu tau, Nan, kalau salah paham itu cuma tameng buat pembelaan." Natya menjeda ucapannya. "YANG ARTINYA, KAMU ITU MAU BUAT PEMBELAAN!" teriaknya tanpa peduli dengan orang-orang yang menatapnya.

"Gak, Nat! Aku sama Indira gak ada apa-apa. Tadi dia lagi sedih terus minta pelukan. Lagian kita cuma te—"

"Cuma temen?" serobot Natya. "Kamu pikir kita dulunya keluarga, bukan temen?"

"Inget, Nan, kita juga dulunya temen. Jadi, gak ada kemungkinan kalau ka—"

"NATYA GUE GAK SUKA YA KALAU LO NUDUH-NUDUH GUE KAYAK GINI!" murka Anan tanpa menunggu Natya menyelesaikan ucapannya.

Natya tertegun saat Anan berteriak seperti itu. Baru kali ini lelaki yang menyandang status pacarnya selama tiga tahun terakhir berani berbicara sekasar itu.

"Aku gak nuduh, Nan! Kamu sering jalan bareng Indira di belakang aku, apa itu gak cukup jadi bukti kalau kamu sama dia lebih dari temen?"

"Gue udah jelasin kalau antara gue dengan Indira itu gak ada apa-apa, tapi kenapa Lo keras banget sih? Padahal Lo tau kalau yang terlihat belum tentu itu kebenaran. Di mana otak Lo, Nat?!" Dada Anan kini sudah naik turun, akibat emosi yang membuncah.

Kaki Natya mundur satu langkah dari tempatnya. Ia benar-benar kaget dengan sifat Anan yang ini. Seperti Natya tak mengenal Anan. "Aku gak suka kamu yang ini, Nan," cicitnya.

Anan menyadari jika perkataannya berlebihan. Ia mengacak rambutnya frustrasi. "Sorry, Nat. Emosi aku lagi gak stabil akhir-akhir ini." Suara Anan kini melembut.

"Kamu banyak berubah, Nan."

"Sorry, Nat."

"Kita bersama itu bukan sehari dua hari, Nan. Tapi, kenapa akhir-akhir ini aku ngerasa kalau aku gak kenal kamu, Nan?"

"Gak ada yang berubah, Nat. Aku masih sama kayak Anan yang kamu temuin di MOS tiga tahun lalu."

Natya menggeleng. "Kamu beda, Nan. Mungkin karena kamu berhasil nemuin apa yang dicari dari dulu kali, ya?"

"Maksud kamu tentang Nadir?"

"Kamu pasti lagi bingung kan kalau perasaan kamu itu buat aku atau buat Indira?"

"Nat, perasaan aku cuma buat kamu. Gak pernah ada perasaan buat Indira ataupun Nadir."

"Kamu lagi bingung, Nan. Jadi—" Natya menggantung kalimatnya.

Anan menggeleng kuat seolah tau apa yang akan diucapkan Natya selanjutnya.

"Sekarang kita istirahat dulu ya."

"Udah lama banget aku mau bilang ini. Aku gak mau berhubungan sama orang yang belum selesai dengan masa lalunya."

Natya pergi usai menyelesaikan kalimatnya. Sedangkan Anan masih terpaku di tempatnya. Kepalanya masih berusaha mencerna kalimat yang diucapkan Natya.

"Istirahat?" lirihnya dengan tatapan kosong.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro