bab satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebentar vren. Berhenti dulu.

Aku mau kasih tau kalau nanti ada kata asing yang harus di italic, itu sebenernya udah aku italic ya..

Tapi gak tau kenapa di wattpad aku gak keliatan italic-nya, tapi kalau di PC keliatan kok.

Berhubung cerita aku yang ini bakalan banyak flashback, untuk memudahkan kalian supaya gak bingung antara flashback atau enggak, aku bakalan kasih tanda '—' di mana itu merupakan awal flashback ataupun akhir flashback yaaa.

Happy reading guys..

Bacanya pelan-pelan biar gak cepet selesai hhh

🥀🥀🥀

Setelah bertahun-tahun Indira hidup di kota Jakarta yang terasa menyesakkan, akhirnya ia beralih ke kota yang lebih ramah meski sama saja ramainya. Tapi, setidaknya di Bandung ini paru-parunya bisa menghirup oksigen yang lebih bersih dan terasa segar.

Grab-car yang Indira tumpangi melaju dengan kecepatan normal dan sesekali berhenti saat lampu lalulintas berubah merah. Jendela mobil sengaja Indira buka setengahnya, supaya ia bisa menikmati udara pagi Kota Kembang ini.

Indira menembakkan kamera ponselnya ke arah pohon-pohon yang berlalu, kemudian ia membuat story Instagram dengan sedikit quotes di fotonya. Itulah kebiasaan Indira untuk mengabadikan sesuatu yang tidak ingin ia lupakan.

Airpods putih menyumpal telinga Indira, lagu Sweet milik Cigarettes After S*x memenuhi indera pendengarannya, tanpa suara sedikitpun mulutnya bergerak menyanyikan lirik yang tengah diputar. Matanya betah menatap pohon yang terus berlalu dengan cepat.

"Ke sekolah SMA Taruna Nusantara, ya, Neng?" tanya sopir grab-car yang terlihat masih muda—mungkin berusia kepala dua.

Kepala Indira bergerak menatap lurus. "Iya," jawabannya singkat, kemudian mobil putih itu berhenti tepat di depan gapura sekolah.

Indira merogoh sejumlah uang dan menyodorkannya. "Jangan lupa bintang limanya, Neng," ujar sopir itu terdengar menginterupsi.

"Iya, Pak." Indira bergegas turun usai memberi penilaian di aplikasi.

Tangannya melepas kedua airpods dan memasukkan kembali pada case-nya. Indira mengedarkan pandangannya, sebelum akhirnya irisnya berhenti di gapura yang bertuliskan SMA Taruna Nusantara.

Helaan napas lolos dari mulutnya. Indira memaksakan kakinya untuk berjalan memasuki area sekolah. Kepalanya sibuk memikirkan bagaimana caranya ia bersosialisasi, sejujurnya Indira tidak menyukai hal-hal baru.

Langkah kakinya menderap di koridor sekolah, bola matanya sibuk mencari tulisan XII IPA-2. Setiap orang yang berpapasan dengannya pasti melempar tatapan bingung. Karena, wajahnya pasti terlihat asing di mata mereka. Meski merasa tak nyaman, Indira tak acuh saja, ia tetap fokus mencari kelas yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu di tahun terakhir putih abu-abunya.

Indira mendengus kesal kala manik cokelatnya menangkap sebuah papan informasi yang tadi sudah ia lewati. "Siapa sih yang bikin sekolah ini? Kenapai design-nya bikin pusing!?" gerutunya, kemudian melirik arloji putih yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata masih ada tiga puluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi.

Papan informasi terlihat penuh, Indira penasaran dan memutuskan untuk melihat-lihat dulu. Ada beberapa karya puisi bagus dengan diksi yang indah, hal itu mengundang senyumnya. Tatapannya bergerak ke atas dan terpaku pada sebuah foto lelaki tengah memegang piala.

Seketika paru-parunya kesulitan menerima asupan oksigen, dadanya naik turun dengan cepat. Bayangan sepasang manusia itu kembali lagi, membuat Indira merasa sangat sesak. Tapi, ia tak tau sesak atas apa. Karena, dalam bayangannya hanya ada dua sejoli yang tengah berlarian di lapangan yang kemarin ia datangi.

"Lan, cepetan! Kalau kamu bisa rebut pesawat ini, aku bakalan kasih kamu tiga tiket permintaan. Kamu boleh minta apapun sesuka kamu," kata si perempuan sembari membawa lari pesawat kayu yang ada di tangannya.

"Gak usah banyak bicara, Nad. Fokus aja siapin diri kamu buat menuhin tiga tiket permintaan itu," balas si lelaki yang terus berusaha mengejar.

Keduanya berlarian dengan tawa yang terdengar nyaring. Raut bahagia tercetak jelas dari wajah masing-masing.

Suara tawa dua orang itu semakin membuatnya kesesakan, bahkan kini pelupuk mata Indira sudah penuh dengan air, hanya dengan satu kedipan saja bisa tumpah.

"Eh, Lo kenapa?"

Suara bariton dari arah samping berhasil menyadarkan Indira dan melenyapkan bayangan itu. Tangannya menghapus jejak air mata yang terlanjur jatuh, kemudian ia tersenyum simpul. "Gak papa. Permisi," balasnya dan pergi begitu saja.

Lelaki yang ditinggal pergi mengerutkan keningnya, heran, tetapi ia hanya mengendikkan bahu dan kembali ke tujuan awalnya— menempelkan brosur sekolah di papan informasi.

🥀🥀🥀

Indira berhasil menemukan kelasnya sebelum bel berbunyi. Sekarang ia tengah duduk sendirian di kursi pojok kiri paling belakang, jauh dari pintu. Indira bukan tipe orang yang mudah akrab, sedari tadi belum ada yang mengajaknya bicara.

Indira memasangkan airpods-nya untuk membuat dunianya sendiri, karena suasana kelas terlalu bising. Ia bersenandung kecil mengikuti irama lagu. Tatapannya lurus dengan raut wajah datar. Indira menjadi pusat perhatian, beberapa suara bisa Indira dengar tapi ia abai. Indira fokus dengan dunianya yang hanya ada dirinya dan alunan musik.

"Wih, murid baru tuh. Harus ospek dulu nih," celetuk seorang lelaki yang menjinjing tas.

Dari ujung matanya, Indira menangkap empat orang yang baru saja masuk, satu di antara mereka adalah perempuan. Hatinya tertegun saat netranya bertabrakan dengan seorang lelaki jangkung yang berjalan paling belakang. Indira langsung saja memutuskan kontak mata itu dengan paksa.

Lelaki yang tadi bersuara melempar tasnya ke meja miliknya dan berjalan mendekati Indira. "Anan! Ikutan gak?"

"Gue udah ada bini," tukas lelaki yang dipanggil Anan itu.

"Kalau Lo gak mau, ya udah gue aja yang ikut," sahut lelaki ber-headband yang duduk bersama Anan.

Dua orang lelaki itu menyeret kursi yang paling terjangkau untuk duduk berdekatan dengan Indira. Keduanya menatap Indira dengan senyuman tengil. Indira menatapnya bergilir dan tersenyum kaku.

"Pindahan dari mana, Neng?" tanya lelaki berkulit putih, Sultan.

Indira melepas airpods-nya dan menjawab, "Jakarta."

Sultan berdehem pendek. "Wih, anak kota nih!" serunya.

"Neng, nama gue Sultan, cowok paling kayak di SMA TaNus. Kalau Lo mau apa-apa tinggal bilang aja, syaratnya gampang, jadi pacar gue," goda Sultan.

Indira menampilkan senyum kaku lagi. Ia tak tau harus bereaksi seperti apa.

Lelaki ber-headband menahan tawa saat melihat aksi sahabatnya tak berbuah. "Harta Lo boleh lebih, tapi kalau wajah pas-pasan tetep aja Lo gak bakalan laku, ngab!" cerca teman sebangku Anan, Kavin.

"Giliran gue nih, liatin." Kavin berdehem sebelum memulai aksi. "Neng, pantes aja tadi malem bintang yang paling terang gak keliatan, ternyata ada di mata lo," bual Kavin dengan mengedipkan sebelah matanya.

Dahi Indira mengerut tipis. Satu hal yang ia pikirkan tentang dua manusia di hadapannya ini; aneh.

"SREPET TERUS!" teriak seorang perempuan yang tadi datang bersama mereka.

"Kavin pengen poligami, Rin!" provokasi Anan membuat mata Kavin membulat sempurna.

Kali ini bagian Sultan yang tertawa. Kavin memang selalu ceroboh, ia melupakan keberadaan pacarnya yang mengerikan di matanya. "Mampus, Vin! Mak lampir ngamuk!" bisik Sultan

Kavin menelan ludahnya susah payah, ia tak berani berbalik, nyalinya belum terkumpul untuk melihat wajah murka pacarnya.

"Serin, Kavin betah banget di sini, kagak mau pergi." Sultan ikut memprovokasi. Anan mengacungkan jempol kanannya, begitu juga dengan Sultan.

"MAU JADI BERAPA BAGIAN, VIN?" teriak Serin yang membuat Kavin kabur dan mengemis maaf.

Sultan dan Anan tertawa puas melihat air muka Kavin yang ketakutan. Indira ikut tertawa lirih, ia baru melihat seorang lelaki yang sangat takut kepada pacarnya.

"Eh, nama Lo siapa?" tanya Sultan berbalik menghadap Indira.

"Indira."

"Neng—" Sultan tidak melanjutkan pembicaraannya. Karena, guru pelajaran pertama sudah datang, padahal ia belum selesai menggoda Indira.

Sultan mendengkus sebal dan mengembalikan kursinya ke tempat semula. "Nanti lagi ya, Neng," ucapnya, kemudian pergi ke tempat duduknya.

Indira membuang napas lega. Akhirnya dua lelaki aneh itu pergi. Matanya melirik Anan, tapi sialnya ternyata Anan juga melihat ke arahnya membuat tatapan mereka bertemu.

Kedua sudut bibir Anan naik. "Salam kenal, Anan," katanya tanpa suara, namun bisa Indira pahami dari gerak bibirnya.

Mata Indira mengerjap beberapa kali, ia membuang pandangan dengan mengulum senyuman. Indira merasa pernah merasakan perasaan bahagia ini. Tapi, kapan?

🥀🥀🥀

Hai hai haiiii

Masih dengan Teh Asa di sini..

Apa kabs vrennnnn
Corona makin ganjen aja ya
Maunya nempel-nempel.

Udah pada sekolah offline atau masih online nih?
Daerah aku udah mulai offline, tapi ya gitulah banyak aturannya.

Gimana untuk bab satunya?

Yok, sampaikan suara hati kalian di sini.
Jangan cuma suara hati istri aja asksksksk

Untuk jadwal update, aku bakalan update setiap hari yaaa.. semoga aja gak ada penyakit writer block.

Masalah jam berapanya aku kurang yakin.
Masukin aja cerita ini ke perpustakaan kalian biar dapat notif dan gak ketinggalan.

Huh, sudahlah sampai sini saja.
Kalian semua stay healthy yaaa..
Jangan lupa pakai masker dan rajin cuci tangan!

See you guys❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro