bab sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yuhuuuu akhirnya setelah melawan rasa malas
mengetik, jadi juga satu bab.. heheee

Kalau kalian perhatiin pasti ini cerita acak acakan banget yaaa.. plotnya juga agak weird gitu.

Tapi santai, aku itu tipe yang nulis aja dulu sampai Nemu ending. Masalah alurnya nanti di beresin pas udah ending.

Jadi, tenang aja. Aku bakalan tanggung jawab kok
sama anak yang udah aku lahirin ini.

Gak bakalan berhenti di tengah jalan juga.
Ya, pokoknya tenang aja yaaa..

Ikuti terus alurnya..

Happy reading 😙🔥

🥀🥀🥀

Indira merasa sangat mengenal tempat ini. Senyumnya mengembang dan berlari ke arah rel kereta yang sudah sangat berkarat bahkan sudah hilang sebagian kerangkanya.

Tangannya terbuka lebar, membentang. Matanya tertutup, membiarkan jiwanya merasakan semilir angin yang menerpa wajahnya. Indira merasa jiwa Nadir yang hidup di dalam dirinya sangatlah bahagia.

"Biasanya Milan kalau ke sini suka bawa ini," ujar Anan membuat Indira membuka matanya.

"Tapi, aku gak bawa susu Milo," cicit Indira usai menerima bunga mawar merah.

"Santai, gue punya banyak kok di rumah," kelakar Anan.

Indira tertawa lirih. Kakinya berjalan pelan diikuti oleh lelaki pecinta Milo itu. "Kamu tau tempat ini dari siapa?" tanyanya.

Anan yang ikut berjalan di samping Indira pun menjawab, "Dari Milan."

Langkah Indira terus berlanjut. Baik Anan ataupun Indira tak bersuara lagi, membiarkan suara kendaraan yang terdengar kecil itu mengambil alih suasana.

"Ra, Jakarta gimana?" tanya Anan memecah suasana.

"Ya gitu," jawab Indira sekenanya.

Anan terkekeh mendengar jawabannya. "Gitu gimana?"

"Ya gitu. Pokoknya beda banget sama Bandung," sahut Indira agak memperjelas.

"Bedanya gimana? Perasaan Jakarta sama Bandung gak beda jauh," kritik Anan.

"Beda! Jakarta setiap hari macet, banyak polusi," keluhnya.

"Bandung juga setiap hari macet, banyak polusi juga," balas Anan yang memancing kekesalan Indira.

"Ya, pokoknya Jakarta sama Bandung beda jauh!" kukuh Indira yang tak mau kalah.

"Iya, coba jelasin bedanya apa?"

"Jakarta gak asik," tandas Indira sembari memutar bunga mawar di tangannya.

"Emang Bandung asik?"

Indira mengangguk mantap. "Karena, di Bandung ada Milan, kalau di Jakarta mana ada," jawabnya, lalu melirik Anan sekilas.

"Nadir bahagia banget ya ketemu Milan lagi?" Anan menghentikan langkahnya dan mendudukkan dirinya di atas tanah.

"Bahagia banget. Soalnya masih banyak hal yang belum diwujudkan sama-sama." Indira ikut mendudukkan tubuhnya di samping Anan.

Keduanya menatap jalan besar yang ada di bawah sana. Anan merangkum kakinya dengan kedua tangan, sedangkan Indira meluruskan kakinya.

"Nan, boleh pinjem bahu kamu?" tanya Indira ragu.

Tanpa pikir panjang Anan membalas, "Karena, hari ini gue mau jadi Milan, jadi boleh aja."

Indira menyimpan kepalanya di bahu Anan seraya tersenyum kecut. "Kalau sebagai Anan mah gak boleh ya? Soalnya udah ada Natya," kata Indira yang hanya di balas lelehan oleh lelaki di sampingnya ini.

"Ra, Lo lebih seneng hidup sebagai Nadir atau Indira?" tanya Anan setelah beberapa saat saling diam.

"Tergantung," jawab Indira singkat.

"Tergantung apanya?" bingung Anan.

"Tergantung bagaimana akhirnya. Kalau akhir hidup aku lebih tragis dari Nadir, mungkin aku lebih suka hidup sebagai seorang Nadir. Karena, setidaknya Nadir punya Milan, dia gak kesepian," ungkap Indira yang menatap kosong pemandangan di depannya.

Indira menghela napas berat. "Kadang aku gak tau, kalau aku ini Nadir atau Indira."

"Sama kayak gue, Ra. Gue juga bingung. Setiap kali gue liat Lo, gue merasa hidup sebagai Milan. Tapi, setiap kali gue liat Natya, gue merasa hidup sebagai Anan."

"Terus kamu lebih seneng jadi siapa?"

"Gue lebih seneng jadi Anan. Gue gak mau sia-siain Natya. Karena, bagaimanapun juga Milan itu cuma memori masa lalu."

Dari penjelasan Anan, Indira menangkap jika lelaki yang di dalamnya hidup sosok Milan itu tak ingin melanjutkan kisahnya di masa lalu. Hatinya sedikit mencelos, ia terluka oleh harapan tingginya untuk bisa melanjutkan kisahnya.

Pandangan Indira mulai kabur. Isi kepalanya diambil alih oleh kenangan masa lalu yang kembali terputar tanpa bisa dihentikan.

"Milan, nanti di kehidupan selanjutnya, aku gak mau jatuh cinta lagi selain sama kamu." Nadir mendudukkan dirinya di atas rel kereta berkarat.

Milan tak ikut duduk, tapi ia ikut menatap jalanan seperti yang dilakukan Nadir. "Dan hati aku gak akan pernah terisi kecuali itu kamu."

Nadir mengulum senyumnya. Ia menarik tangan Milan untuk ikut duduk. Setelah kekasihnya mengambil lahan kosong tepat di sampingnya, Nadir menyimpan kepalanya di atas bahu Milan.

"Kadang aku penasaran, apa di kehidupan selanjutnya kisah kita gak bakalan serumit ini?"

"Gak mungkin serumit ini, Nad. Soalnya, untuk di kehidupan selanjutnya aku berharap terlahir satu kepercayaan sama kamu."

"Kalau nanti sudah satu kepercayaan, tapi ternyata beda perasaan gimana?"

"Balik lagi ke perkataan aku yang pertama."

"Ra? ... Kenapa, Ra?"

Indira tersentak saat tubuhnya diguncang oleh Anan cukup keras. Ia menghapus air matanya dan berkata, "Maaf-maaf."

"Bayangan itu datang lagi, ya?" tanya Anan dengan tatapan sendu.

Indira mengangguk. "Biasa, Nadir cuma ingetin kalau Milan pernah janji sesuatu."

"Janji apa?"

"Kalau di kehidupan selanjutnya, hati Milan gak akan pernah terisi sama orang lain kecuali Nadir."

Anan tertegun. Indira seperti memberi sinyal jika dirinya sebagai Milan sudah mengingkari janji. "Ra, pulang yuk! Mendung nih," ajak Anan mengalihkan pembicaraan.

Kepala Indira mendongak sedikit. Memang langit berubah menjadi abu dan cahaya matahari mulai meredup. "Ayo!" Indira berdiri dan berlari meninggalkan tempatnya.

"Ra, tunggu!" teriak Anan.

Indira mengerem gerakan kakinya. Ia menoleh, melihat Anan yang sedikit berlari mengejarnya. "Kenapa?" tanyanya saat Anan berhenti di hadapannya.

"Ganti ya jepitnya, soalnya yang itu udah berkarat," ujar Anan seraya menyodorkan sepasang jepit berbentuk bintang yang masih di dalam plastik.

Tanpa Anan ketahui, perempuan di hadapannya itu sedang menahan napas. Antara kaget dan malu, entah mana yang dirasanya. Indira masih terlihat bingung. Bagaimana bisa lelaki itu tau jika jepitnya sudah berkarat?

"Ini gue beli tadi di anak pinggir jalan sebelum naik ke sini," kata Anan seolah menjawab sebagian kebingungan Indira. Setelah itu, Anan pergi usai Indira menerima jepit darinya. Membiarkan Indira dalam kebingungan.

"Anan ... Ini gak baik buat aku," lirih Indira memegang dada kirinya yang berdetak kencang.

🥀🥀🥀

Apa kabar vren?

Lama tak jumpa ya? Xixixixi

Masih mau nunggu kelanjutannya gak nih?

Harus mau yaa soalnya aku maksa nih.

Jangan lupa jaga kesehatan yaa

Jangan lupa share cerita ini ke temen temen kalian.

Biar orang lain juga pada kenal sama Milan yang
uwu uwu ituuu hahaaaahahaa

See you guys..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro