bab tiga belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nahkan...

Semangat scroll guys🔥

🥀🥀🥀

Melihat kondisi kantin yang benar-benar tak ramah, membuat gadis berjepit biru itu memilih meninggalkan kantin. Dengan berbekal susu Milo dan sebungkus roti cokelat kesukaannya, Indira berjalan santai menuju tangga yang bisa membawanya ke rooftop sekolah.

Saat pertama kali pintu dibuka Indira langsung mendapati seorang lelaki yang tengah menarik-ulur sesuatu. Indira berjalan ke arah kursi kayu yang tampak sudah agak reyot yang tak jauh dari pintu.

"Di situ panas, nih di sebelah gue teduh," celetuk lelaki itu yang dikira Indira tak menyadari kehadirannya.

Indira menatap lahan kosong di samping lelaki itu. Memang teduh, karena adanya bayangan dinding tinggi. Akhirnya Indira memutuskan untuk menerima usulan lelaki itu. Ia menggusur kursi tua itu ke tempat teduh yang di maksud tadi.

Setelah berada di bawah bayangan dinding, Indira membuka roti yang sedari tadi ia pegang. Namun, gerakannya terhenti, ia menaikkan pandangannya ke lelaki yang sedang asyik bermain layangan.

"Kamu mau roti?" tawar Indira seraya menyodorkan sebungkus roti yang sudah terbuka setengahnya.

Lelaki yang ditawari hanya meliriknya dari ujung mata. "Nama gue Bima," jawabnya ngawur.

Indira menatap heran lelaki yang katanya bernama Bima. "Gak nyambung banget jawabannya," protesnya.

Bima berdecak keras. "Kalau gue jawabnya ngawur, itu berarti penolakan."

"Aneh," cibir Indira yang kemudian memasukkan rotinya ke dalam mulut.

"Lo itu murid pindahan dari Jakarta itu kan?" tanya Bima membuka topik baru.

Indira menelan dahulu roti yang ada di dalam mulutnya, lalu menjawab, "Iya."

"Gimana Jakarta?"

Bukannya menjawab, Indira malah tergelak mendengar pertanyaan Bima. "Kenapa sih pada nanya Jakarta itu gimana? Padahal sama kayak Bandung, sama-sama di atas tanah di bawah langit."

"Emang sebelumnya ada yang nanya kayak gitu?"

Indira mengangguk mantap. "Ada!"

"Kamu orang kedua yang nanya itu," lanjutnya.

"Yang ke satu siapa?" tanya Bima penasaran.

"Anan."

Kepala Bima mengangguk-angguk tanpa memperpanjang pembicaraan. Indira pun tak menghidupkan topik baru. Keduanya sibuk asing-masing; Indira menghabiskan rotinya dan Bima bermain layangan.

Usai rotinya habis, Indira mendongak menatap langit biru dan menitikberatkan pandangannya ke arah layangan putih yang terbang jauh di atas sana.

"Yang bener, Nad. Kalau gak bisa main biar aku aja," protes Milan yang mulai dongkol sendiri. Karena, Nadir---pacarnya itu sangat susah sekali diberi tau.

Nadir yang masih kukuh ingin menerbangkan layangannya itu berteriak, "Baru juga dua kali uji coba, Lan. Sabar dong!"

Milan menghela napas panjang. "Dua puluh kali, Nad, bukan dua kali," katanya mengoreksi.

Tangannya menerbangkan layangan sesuai interupsi Nadir. Teriakan heboh keluar dari mulut Nadir yang sedang berlari, berusaha menerbangkan layangan.

Sekuat apapun usahanya, tetap saja layangan itu kembali tergeletak ke tanah. Milan benar-benar jengah.  Ia mendudukkan dirinya di atas rumput. Padahal Nadir yang banyak bergerak, tapi entah kenapa Milan yang merasa sangat lelah.

Nadir yang berlari mengitari lapangan akhirnya berhenti di dekat Milan. Ia ikut mendudukkan tubuhnya dan menyimpan layangan yang tak kunjung terbang itu.

Milan merebahkan tubuhnya, begitu pula dengan Nadir. Keduanya menatap langit siang yang dihiasi oleh layang-layang yang terbang tinggi.

"Lan, kayaknya seru kalau jadi layangan. Bisa terbang tinggi, liat semesta dari atas," ucap Nadir sambil tersenyum lebar seolah membayangkan dirinya berada di atas sana.

"Gak seru!" tandas Milan.

"Kenapa?"

"Soalnya harus liat manusia-manusia yang penuh beban."

"Terus lebih seru jadi apa dong?"

"Jadi diri kamu sendiri. Karena, gak banyak orang yang bisa jadi diri sendiri."

Indira kembali ke dunianya. Bibirnya tersenyum simpul, namun matanya bergelimang air mata. Kini ia mengerti kenapa Nadir begitu menyukai sosok Milan. Karena, lelaki itu benar-benar luar biasa. Setiap perkataannya mampu membolak-balik pikiran dan perasaan.

Mata Indira menatap Bima. Mata lelaki itu sedikit menyipit akibat sinar matahari yang menyilaukan mata. "Bim, boleh gak kita suka sama pacar orang?" tanyanya.

Bima menatap Indira aneh. "Boleh-boleh aja, soalnya yang gak boleh itu ngerebut pacar orang."

Indira tergelak pendek mendengarnya.

"Btw, Lo cantik pake jepit itu," lanjut Bima yang membuat Indira menyentuh jepit biru pemberian Anan.

"Lagi, kamu jadi orang kedua yang bilang gitu," balas Indira.

"Yang pertama Anan lagi?" tebak Bima yang sedang menurunkan layangannya.

"Iya. Kayaknya kamu bakal jadi langganan nomor dua deh."

"Biasalah."

🥀🥀🥀

Huftt....

Suka gak sama Bima?

Kalau gak suka, bakalan aku matiin dia.

Hahaaa canda doang vren..

Pokoknya kalian jangan benci dia.

Cukup kasihani yaaa, karena percayalah dia sebenernya perlu dikasihani. Wkwkwk

Yeayyyy semangattttt maraton 😙💔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro