Sari Life dan Lemak Membandel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sari Life dan Lemak Membandel
By Icha_rizfia

Lahir dari keluarga pas-pasan, membuatku hidup dengan gelimang tawa dan derita dengan kadar cukup saja. Kalau mau makan enak, pas ada uang. Kalau lagi butuh beli baju, pas buat nawar. Apalagi kalau lagi tanggal tua, juga pas buat makan sebungkus nasi buat satu rumah.

Dari orok, Dokter memvonis diriku prematur. Belum waktunya lahir, sudah kebelet lihat dunia. Kayaknya aku pengen cepet-cepet lihat keuwuan Park Seo Joon yang lagi belajar jalan pas aku lagi nangis kejer ditarik Bu Dokter keluar.

Berat cuma sekilo setengah, ternyata aku bisa hidup sampek ngalamin menstruasi dan ngerasain dicium sama cowok. Iya, dicium cowok. Asli cowok, tapi dalam wujud kucing.

"Nyak, makan nggak? Kita mau keluar nih!"

Suara Mini tapi punya badan sepanjang galah bikin jiwa magerku meronta. Nasib anak kos, kalau malem cari makan suka gerombolan. Laper sih, tapi aku ini lagi ikut program diet dengan masa bakti sepuluh kali minum. Malem makan, duh ... pantangan banget. Tapi godaan berat. Mana aku lapernya udah kayak kesurupan aja. Pengen segala-segala aku caplok.

"Enggak deh. Masih kenyang."

Mini agaknya herman banget sama jawabanku. Yah, secara. Jam tujuh gini aku bilang kenyang itu hal yang masih langka.

"Oh oke deh. Aku jalan dulu. Ada nitip sesuatu nggak?" tawarnya.

Aku cuma menggeleng, meski dalam hati pengen teriak nyebutin pisang molen, tahu tek, krupuk seblak, ceker mercon, tahu isi, tempe mendoan. Hingga segala jajajan di depan toko aku absenin.

***

Semua bermula, gara-gara diriku naksir cowok. Iya, cowok. Bukan jenis kucing melainkan manusia. Tapi, doi kayak nggak tersentuh kenikmatan dunia. Bahwa di bumi yang dalam peta digambar bulat ini ada makhluk manis nan bulat menggemaskan. Gimana nggak bulat, aku punya tinggi satu meter setengah dan berat hampir sembilan puluh. Digelindingin juga bisa kayaknya diriku ini. Buat main bekel, voli, basket juga oke. Asal jangan buat main hati aja. Sungguh aku nggak sanggup membayang apa yang kurasa dan kumenangis....

Semua bermula, gara-gara diriku naksir cowok. Iya, cowok. Bukan jenis kucing melainkan manusia. Tapi, doi kayak nggak tersentuh kenikmatan dunia. Bahwa di bumi yang dalam peta digambar bulat ini ada makhluk manis nan bulat menggemaskan. Gimana nggak bulat, aku punya tinggi satu meter setengah dan berat hampir sembilan puluh. Digelindingin juga bisa kayaknya diriku ini. Buat main bekel, voli, basket juga oke. Asal jangan buat main hati aja. Sungguh aku nggak sanggup membayang apa yang kurasa dan kumenangis....

Cowok itu punya wajah dingin tapi bukan titisan vampir. Mahal senyum, makanya nggak mudah tebar pesona, suka nganterin emaknya minum di club diet deket kosnya. Maka dari itu, pas trainer minuman diet ngajakin aku buat gabung untuk ke sekian kali, barulah hidayah itu datang. Dengan iming-iming potongan harga dan jaminan kurus dari berbagai foto before after yang disodorkan, aku pun menyetujui.

Dalam diet yang dirancang untuk minum nutrisi macam jus tapi serbuk serta minum teh segelas ukuran dugong, bikin aku di hari pertama hampir pingsan karena mual. Sadar diri kalau pingsan di sembarang tempat bikin orang yang bantuin malah ikut pingsan juga, makanya di hari pertama ia tidur saja di kos sejak pagi. Untungnya ia kerja dapat jatah masuk siang hingga malam.

Betapa tersiksanya bahkan baru hari pertama. Jam tujuh pagi ia datang ke club. Disodori minum pembersih usus, lanjut minum nutrisi yang pagi itu dapat rasa vanila. Lumayan enak sih. Setelahnya baru minum segelas teh peluntur lemak membandel tapi bukan sodaranya Sanlek.

Sambil melancarkan aksi pedekate. Nggak lewat anaknya, aku dekati emaknya dulu.

"Tante udah lama minum?" tanyaku coba mepet-mepet ke calon mertua. Siapa tahu habis sering ketemu di sini kita timbul cinlok. Bahwa diriku ini pantas dijadikan calon menantu idaman.

"Sudah seminggu. Kalau Adek?" tanyanya balik.

"Bari hari pertama, Tante. Masih belum biasa." Sambil kulirik arah luar, mengintip calon masa depanku yang duduk di luar nungguin.

"Oh. Yang semangat ya, Dek."

Aku mengangguk. "Ibu juga. Ngomong-ngomong Ibu rumahhya mana?"

Yah, siapa tahu kan aku bisa main ke rumah calon mertua. Syukur-syukur bisa deket sama anaknya dan sering diajak main ke rumah. Waduh, jiwa haluku sudah meronta kayak pipis mau keluar. Bener-bener nggak bisa direm, malah makin bayangin ke mana-mana.

"Deket dari sini. Lampu merah deket pasar, nanti belok kiri. Lurus terus sampai ketemu salon. Rumah Ibu depan salon itu. Mampir ya, kalau lewat situ."

Aku menganggukkan kepala. Tuan rumah sudah kasih sinyal, tinggal yang tuan perampas hatinya yang harus aku dekati.

"Ke sini sama siapa, Tan?"

Lagi, aku lirik ke luar. Pada cowok tanpa suara yang main ponsel di luar.

"Anak Ibu. Tu, di luar. Namanya Deni. Mumpung pagi begini Ibu dianter dia, sebelum dia buka tokonya."

Waduh, dia punya toko. Bakal terjamin dong masa depanku. Nggak perlu jadi pesuruh. Enak jadi bos, biar toko kecil sekalipun. Berangkat dan pulang sesuka hati. Mau tidur jam berapa pun nggak dimarahi. Sambil nyemil juga nggak masalah. Bukannya disuruh tapi malah menyuruh. Nggak seperti aku yang kerja dj toko baju. Udah ngikutin pembeli nyoba baju A, B, C tapi ujung-ujungnya nggak jadi beli satu biji pun. Pelit, apa emang nggak punya duit tapi berlagak pilih baju biar dikira gaya?

"Oh, punya toko sendiri ya, Tan. Jual apa?" Kepo dong, sama kerjaan calon pasangan hidup.

Seengggaknya aku bisa mempersiapkan bisa bantu apa di tokonya nanti. Jadi tukang bukain pintu, nata barang dagangan, bikinin kopi yang punya, atau melayani si pemilik toko sampai puas. Ah, kenapa pikiranku agak luknut begini sih.

"Toko bangunan."

Ah, sepertinya jenis toko yang punya banyak karyawan cowok juga. Jadi aku akan aman dari pesaing berupa ciwi emes seperti dalam sinetron yang aku tonton. Bos terjeabk cinta dengan karyawan cantiknya sendiri.

"Ibu duluan, Dek. Ngomong-ngomong nama Adek siapa? Dari tadi ngobrol belum kenalan. Kalau ketemu lagi biar bisa enak manggilnya."

Aku jabat tangan calon mertua dengan senyuman. "Nia, Tan. Panggil saja Nia." Meski orang-orang manggil namaku pakek nama Enyak. Katanya aku mirip emak-emak. Sebodo amat lah, asal di depan calon mertua aku dipanggil Adek. Entah nanti di depang Ayang Deni. Aku dipanggil, Sayang, Beb, Cinta, Love, atau mungkin ... Beibeh look at me. I want in you. Halah, pikiranku kok jalan ke mana-mana.

Jadi begitu awal aku ikut program diet ini. Aku juga ingin tampil cantik singset biar Deni mau lirik-lirik aku yang akrab sama emaknya. Jadwal makan ketat pun aku jalani. Biasanya pagi sarapan nasi uduk, sekarang aku harus datang ke club untuk minum nutrisi serta teh. Perut kembung suka kencing. Belum lagi harus banyak minum sampek tiap kerja bawa ganti celana dalam lebih karena basah terus sering bolak-balik ke kamar mandi. Siang ia makan tanpa beli di warung deket toko tempatku kerja. Melainkan bawa bekal; nasi, rebusan wortel dan buncis serta lauk telur rebus. Malamnya, makan pepaya sama bengkuang. Minum banyak sebelum tidur.

Kehidupan yang lelah, tapi semuanya demi Ayang Deni. Semoga segala kerja kerasnya ini ada hasilnya

________________

Apakah aku berhasil mendapatkan Deni? Dan bagaimana hasil BB ku yang hampir sembilan puluh kilogram ikut program ini? Silakan next bagian berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro