Usaha Tiada Batas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Usaha Tiada Batas
By Icha_rizfia


Hari kedua, aku bertemu lagi dengan Tante Dewi. Dia calon ibu mertua yang aku ceritain kemarin. Penimbangan pertama, beratku langsung turun sembilan ons. Menakjubkan, padahal dalam semalam saja membuatku ingin pingsan. Kaki lemas karena sering bolak-balik ke kamar mandi. Iya kalau lemas karena diajak ena-ena dan bikin aku keluar berkali-kali. Pasti bakal ketagihan. Lah ini, celana dalem sampek aku lepas karena capek naik-turunkan. Mau pipis tinggal angkat daster dan jongkok. Mengalirlah segala keresahan lemak yang didesak oleh teh peluntur.

Aku girang, Tante Dewi dan mbak-mbak pelatih kasih aku ucapan selamat. Tante Dewi meluk aku, sampai dilirik Deni di luar sana. Betapa aku senang, sampai semangatku buat turun semakin menggelora. Dengan begini saja, Deni yang duduk di luar sana sudah mau melirikku. Ia harus membuat perhatian Deni terus tersedot ke arahku. Emaknya saja sudah akrab, tinggal ngakrabin diri sama anaknya.

Pulang dari club aku masih diliputi perasaan bahagia. Apalagi Tante Dewi ngenalin aku langsung sama Deni pas kita mau pisahan pulang ke rumah masing-masing. Jadi, Deni natap aku dan aku jabat tangan dia. Aku sebutin namaku biar dikenang dan terpatri dalam otak serta jiwa raganya. Bahwa ada cewek manis manjalita bernama Nia yang punya kemauan serta tekad kuat menjadi pasangan yang pantes bersanding di sampingnya. Ah, uwu sekali ternyata.

Di tempat kerja aku pun senyum-senyum nggak jelas, sampai dikira gila. Pulang ke kos malam hari, senyumanku tak surut. Bengkoang yang aku pikir rasanya aneh dan aku memang kurang suka, malam ini aku makan sambil kukecupi macam punya kekasih saja. Ah, ia harus kuat menghadapi segala penyiksaan ini agar bisa lekas meraih hati Deni yang dingin-dingin empuk. Dingin di luar, siapa tahu panas menggelora di dalam. Membuatku meleleh dalam dekap gairah.

"Nyak, kamu baru berapa hari keluar-masuk tempet itu kok jadi kesambet gini sih. Hati-hati deh, siapa tahu tempet itu banyak setannya."

Mini si galah khawatir. Tapi, aku nenangin dia kalau semuanya aman. Mini berlalu sambil bawa nasi bungkus buat dimakan di kamar. Kadang aku iri sama Mini. Dia mau makan sebanyak apa pun, di jam berapa pun, lemak-lemak enggan singgah dan nginep di tubuhnya. Nggak kayak lemak di tubuhku yang bandelnya kayak anak sekolah suka bolos manjat pager belakang. Makan dikit aja lemaknya nginep lama di tubuh. Buat ngusir, pakek duit ratusan ribu dulu.

***

Hari kedua aku turun tujuh ons, tapi sayang Tante Dewi datangnya agak siang. Pas aku mau pulang, Tante Dewi baru datang. Kali ini bukan Deni yang nganter. Kata Tante Dewi, Deni lagi nggak enak badan karena beberapa hari lembur dan kurang istirahat. Barang sedang datang, dan kapan hari ia ikut mengantar barang juga ke proyek pembangunan perumahan.

Aku kaget dan syok. Nggak menyangka calon masa depanku ternyata sakit. Maka setelah pulang kerja nanti, aku bakal jenguk dia. Baiklah, ia akan belanja dulu buat buah tangan ke Ayang bebeb. Eh, masih calon.

Sore pulang kerja di hari ketiga diet, aku nekat ke rumah Tante Dewi. Berbekal ingatan yang emang nggak tajem macem pisau Ncep Juna pas ngiris daging kerbau, tapi pas pembagian otak dulu aku hadir tepat waktu kok. Jadi ya, masih oke juga buat inget-inget rumah Tante Dewi dari hasil obrolan kita beberapa hari lalu. Ngomong-ngomong hari ini aku cuma turin dua ons saja. Jauh dari dua hari lalu. Mungkin karena penyemangatku nggak ada. Semoga habis ketemu calon mertua dan calon bapaknya anak-anak nanti bakal kembali motivasi dan semangatku.

Tiba di rumah hasil tanya kanan-kiri, sampai juga di rumah Tante Dewi. Rumahnya gede, punya gerbang warna biru tua. Tapi sayang, gelap gulita. Samping rumah ada toko bangunan yang aku prediksi toko buat nafkahin aku nanti di masa depan. Alias punya Ayang Deni. Tapi, gelap juga. Padahal baru azan magrib. Masa udah tutup aja rumah dan toko.
Daripada macam orang linglung, berdiri bengong depan rumah ... aku pun tanya ke rumah samping. Ada warung nasi. Pas tanya, ternyata satu rumah lagi keluar. Dari sejak pagi sudah tutup katanya.

Dengan tangan nenteng susu coklat kaleng dan roti tawar, aku pun balik pulang sambil mewek tipis-tipis. Harapan jenguk nggak tercapai. Balik kos, aku kesel. Pas Mini nawarin beli nasi goreng, aku iyai aja. Eh, besok hari ke empat naik satu ons. Nggak banyak sih, karena aku imbangin minum teh peluntur lemah dari semalam mau tidur habis seliter setengah.

***

Hari ke lima aku nggak ketemu Tante Dewi. Dateng ke club nggak bisa ceria. Satu-satunya member yang akrab dan deket cuma Tante Dewi seorang. Jadi, habis minum nutrisi aku langsung pulang. Bahkan sampek hari dietku ke delapan, Tante Dewi belum juga nongol. Sumpah, aku rindu anaknya Tante Dewi yang udah ngerampok jiwa raga dan ketenangan batinku ini. Mana beratnya cuma turun satu ons saja tiap hari. Nggak ada perubahan yang menonjol kayak foto yang dilihatin sama pelatih kapan lalu. Badanku masih segini-segini aja. Ceramah dari Mbak pelatih bukannya bikin aku semangat tapi malah down. Laporan kemarin makan apa, kalau nggak sesuai aturan aku dimarahi. Jadi kayak aku anak kecil yang diinterogasi habis copet permen di toko mana. Seram gila bin stres.

"Ngapa sih? Burem terus dari semingguan ini."

Mini bergalah nyamperin. Aku yang lagi baring-baring sambil main hape jadi pengen curhat.

"Aku lagi diet, Mi. Tapi ... malah stres. Nggak boleh ini dan itu. Padahal cuma dikit doang. Aku dah mulai kontrol makanan. Ambil dikit, makan dikit, di jam yang dianjurkan. Tapi turunnya nggak banyak. Naik dikit apa turunnya dikit juga diomelin. Disidang kemarin makan apa, lupa minum pasti. Kesel kan?"

Mimi hanya manggut-manggut macam tempelan emoticon di motor punyaku.

"Namanya diet ya, Nyak. Harus Happy Asmara. Nggak boleh stres. Kalau kamu stres, ya bakalan bikin hormon berulah. Kamu juga tersiksa gini karena tekanan. Kenapa nggak atur pola makan sendiri aja. Jadi kamu sendiri yang atur, tanpa bingung diomelin sama mbak-mbak."

Ya ... bener juga sih. Tinggal dua hari lagi, habis itu aku mau diet pola makan sendiri aja. Tapi sebelum itu, aku mau jenguk Tante Dewi aja. Udah lama nggak dateng, jangan-jangan ada sesuatu. Besok pagi aku rencana mengunjungi Tante Dewi sama Ayang Deni. Mumpung Minggu dan aku libur.

Pakai motor dan bawa parcel buah yang nggak besar banget karena kebentur dana, aku datang. Tapi, rumah Tante Dewi kelihatan lagi rame. Ada acara sepertinya. Orang-orang ramai berdatangan. Penerima tamu menyalami sambil berdandan juga. Ah, acara pernikahan sepertinya. Mungkin kakaknya Ayang Beb nikah. Tante Dewi jadi repot, makanya nggak pernah dateng ke club lagi. Pas deket pintu masuk, aku lirik foto ukuran 12R salon yang menampilkan wajah pengantin. Mataku membelalak, parcel di tangan jatuh. Wajah di foto tersebut adalah Ayang Beb. Deni dan Rinai. Menikah hari ini. Calon Ayang bebebku nikah hari ini? Motivasiku datang ke club buat diet seketika hilang.

Pulang ke rumah aku mewek sepanjang jalan. Untung pakek helm, jadi nggak kelihatan orang. Nyampek kos, Mimi yang menyambutku. Capek nangis, aku bikin Indomi dua bungkus campur cabe ulek, taburan bon cabe level 30 ples telor dua biji. Aku makan sambil nangis ingusan. Melepaskan gundah gulana dan kekecewaan. Sebodo amat besok beratku naik dan diomelin Mbak pelatih. Karena hidup, tak selamanya mulus. Layaknya program diet, ada kalanya ada terjalan di tengah jalan.

Ah, minya pedes mantap. Air mataku jadi meleleh sempurna.

________END_______

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro