Jin Robek

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Judul: Jin Robek.

Karya : Zeanisa_


Bab 1


Tak kenal maka tak sayang. Jadi, mari kita kenalan dulu. Namaku Ze. Z-E. Cuman dua huruf satu kata, enggak ada tambahan apa-apa lagi. Entah Mama sama Papa kekurangan huruf atau cuman kenal dua huruf itu saja, aku enggak tahu. Intinya, namaku cuman Ze.

Punya suami namanya Al. A-L. Gitu doang. Enggak ada sambungan kayak tali jemuran. Tapi, asal kalian tahu, Al ini walaupun namanya miskin huruf sama kayak Ze, dia itu kaya raya! Punya usaha sana sini. Duit udah kayak rumput tetangga. Tinggal cabut  langsung bisa belanja.

Enak, 'kan? Jelas! Hidup enak, mati pun enak. Itu adalah keinginanku. Tapi, sayang beribu sayang. Semua itu enggak bisa tercapai karena mertuaku yang syalala beibeh!

Tahu? Kenapa aku ngasih gelar mertua syalala beibeh? Itu karena beliau suka bergaya macam playboy cap kaleng rengginang! Dan parahnya lagi, mertua gokilku ini sering ribut sama Al karena perihal celana jin yang katanya keren padahal enggak sama sekali.

Ya salam. Hayati enggak kuat. Niatnya mau hidup enak, eh, malah bablas. Terjun bebas sampai lupa napas.

"Ze!" teriak Papa mertua dari kamarnya, membuat niatku yang ingin pergi ke dapur demi menenangkan para cacing di perut curi semua nutrisi urung seketika.

Biasanya, nih, biasanya kalau Papa manggil sambil teriak gitu pasti enggak nemu celana jin yang sengaja aku robekin. Bukan karena aku jahat, tapi karena Papa yang minta. Katanya biar kayak artis papan triplek.

"Kenapa, Pa?" Aku bertanya setelah membuka pintu kamar beliau. Coba tebak, apa yang mata cantikku lihat? PAKAIAN BERSERAKAN DI MANA-MANA!

Alamat beres-beres lagi.

"Ya, ampun, Pa! Ini kenapa berantakan banget? Papa mau cari apa, sih?"

"Papa lagi belajar akting berantakin rumah, Ze." Aku melotot, etdah! Si Papa. Ngapain juga belajar akting berantakin rumah? Memangnya beliau mau jadi bintang di sinetron ku menangis?

"Serius, Pa?" Dan bodohnya, aku malah bertanya pada Papa. Ya, harapannya, sih, biar papa jujur. Bukan halusinasi macam ini.

"Celana papa yang robek-robek hilang satu, Ze. Pusing papa nyari. Padahal papa ingat, celananya papa gantung di belakang pintu kamar. Tapi sekarang malah hilang. Kamu cuci, yah?"

Aku bergeming. Sebentar, sepertinya ... aku pernah melihat celana jin robek-robek di dapur beberapa jam lalu. Celana jin warna merah yang nyaris berubah warna jadi cokelat. Mungkin, itu ulah Al. Biasanya dia pagi-pagi suka bikin kopi susu. Karena takut kena marah, jadilah dia bersihin dengan celana malang itu.

"Warnanya apa, Pa?"

"Merah, Ze." Papa masih saja celingak-celinguk mencari celana jin merah yang ia maksud.

Tapi tunggu! Apa tadi Papa bilang? Celana jin warna merah? Ya Tuhan! Ternyata celana jin merah yang di dapur tadi punya Papa? Aduh! Bagaimana ini?

"Anu, Pa. Ze gak lihat. Ze juga gak cuci. Mungkin sudah Papa sumbangkan? Atau Papa bikin jus?" Pokoknya, papa enggak boleh tahu kalau celana jin yang hilang itu dijadiin pel sama Al. Bisa perang mereka berdua nanti.

"Ngaco kamu! Mana mungkin celana jin kesayangan papa disumbangkan apalagi dijadiin jus. Memangnya papa Sule? Yang buat jus dari kolor sendiri?"

Ya, mana Ze tahu, Papa! Hais, bagaimana ini. Kayaknya, aku harus segera mengambil tindakan. Atau menelepon pemadam yang siap menolong siang malam.

"Ya, udah, Pa. Ze ke dapur dulu. Mau makan. Papa lanjut aja acara ngambur-ngamburin kamarnya, nanti Ze biarin." Segera saja aku berlari ke dapur supaya enggak ditanyain Papa ini itu lagi. Ribet urusannya kalau Papa udah kepo.


***


Itu dia!

Aku terbelalak—kaget ceritanya—ketika menemukan celana jin yang tampak mengenaskan tergeletak di samping kompor. Dengan cepat aku mengambil celana itu sebelum papa melihatnya.

"Ini kalau dicuci bisa hilang gak, yah, nodanya?" Duh, kepalaku mendadak gatal ketika melihat betapa kotornya celana jin Papa.

Ternyata oh ternyata, bukan cuman tumpahan kopi yang ada di celana itu, tapi minyak bekas juga sepertinya tumpah. Ck, Al ini kalau buat sesuatu di dapur pasti gini. Ada saja yang tumpah dan celana papa yang menjadi korban.

"Celana, kamu maunya aku apain? Mau dikubur hidup-hidup, dicuci, atau dibuat jus jin?" Kalau dipikir-pikir, ide membuat celana jin merah Papa jadi jus enggak terlalu buruk. Baiklah, Ze, kami harus membersihkan celana ini dulu, baru dijus, dikasih es batu, dan susu. Pasti enak.

Ah, ideku memang selalu brilian!

Al, suamiku ... kali ini Ze akan menyelamatkanmu dari amukan Papa.

Tapi, sebelum aku melakukan tugas mulia yang berasal dari hati terdalam, aku harus mengasih makan para cacing yang sudah kelaparan. Kalau enggak, usus dua belas jariku yang akan jadi korban.

Mengembuskan napas panjang, aku berjalan ke kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari dapur. Ya, sekitar lima langkah. Merendam cucian dengan diterjen mahal agar minyak dan noda membandel cepat hilang.

Kutuangkan banyak-banyak di tempat-tempat tertentu. Habis? Beli lagi. Kan menantu sultan. Kalau beli sabun mahal enggak akan habis uang mereka. Ditambah Al yang suka ngasih uang cuma-cuma. Sungguh, nikmat mana yang ingin aku dustakan?

"Celana, kamu di sini dulu, yah, Sayang. Aku mau makan dulu. Kalau enggak, usus dua belas jariku bakal berkurang jadi usus sebelas jari."

Usai berpamitan pada celana jin yang katanya kesayangan Papa—padahal semua celana jin robek-robek punya Papa adalah kesayangannya—aku segera pergi dari kamar mandi menuju dapur.

"Sayang, aku lapar!" Al, suami tercinta keluar dari tempat persembunyiannya, kamar.

"Uhh, bayi gedenya Ze lapar, yah? Hayuk makan bareng-bareng. Ze juga udah lapar." Aku berjalan menghampiri Al yang menguap. Kayaknya suami Ze ini baru bangun tidur. Enak banget, yah? Istri pusing mikirin cara biar dia selamat dari amukan Papa, eh, dianya malah berjelajah di dunia mimpi entah bermain apa saja.

"Masak apa, Sayang?" Al bertanya ketika aku merapikan rambutnya yang berantakan macam habis diterjang angin topan.

"Masak tumis kangkung pedas sama ikan nila goreng, dan sambel terasi level seratus yang enggak pernah ketinggalan untuk suami sultan tercinta." Sebenarnya, aku ini sudah cocok, bukan, tapi sangat cocok menjadi artis di channel ikan terbang. “Sebentar, yah, aku siapin.” Selanjutnya, aku berjalan ke dapur, menyiapkan makanan untuk kami berdua.

"Oh, iya, Al. Kamu tadi pagi bikin apa?" Aku bertanya sembari meletakkan piring yang sudah diisi dengan nasi.

"Kopi sama dadar telur, Sayang. Laper banget perutku." Sudah kuduga, 'kan? Al ini pasti membuat sesuatu, makanya celana Papa jadi korban.

"Kopi sama apa yang tumpah?"

Al nyegir, lantas ia berkata, "Minyak yang ada di kaleng, Sayang. Serius aku enggak sengaja."

"Tapi dapur Ze udah bersih. Kamu bersihin pake apa, Sayang?"

"Celana jin merah yang ada di bak sampah dapur."

Eh? Bak sampah dapur? Bukannya Papa mertua tadi bilang kalau celananya digantung di belakang pintu kamarnya? Tapi ... kenapa Al malah bilang kalau celana jin merah sobek itu ada di bak sampah dapur?

Jadi ... sebenarnya, siapa yang salah? Al, atau orang yang membuang celana jin kesayangan Papa?



Bersambung ....



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro