2 | First Smile After Tears

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Setidaknya, kalau mengunjungi makam. Bawalah bunga.”

Keira meletakkan sebuket melati putih di depan batu nisan Shinichiro Sano. Ia memasukkan tangan ke saku jaket, mengamati saudara sepupunya yang berjongkok dengan tatapan serius.

Gadis itu tidak bisa menghubungi Baji belakangan ini, tetapi tiba-tiba laki-laki itu menghubunginya duluan siang tadi, sepulang sekolah.

"OI! JEMPUT CHIFUYU!"

Keira sampai menjauhkan ponsel lipatnya dari telinga. Bukan halo, bukan hai, atau sekadar bertanya kabar setelah menghilang berhari-hari. Remaja berambut hitam mengilap itu jelas-jelas berteriak seolah adik perempuannya ini tuli.

"Apa yang terjadi?"

"Aku tidak bisa beritahu! Kau harus menjemput Chifuyu!"

Keira menarik napas. Tidak habis pikir dengan apa yang mungkin terjadi. Chifuyu dan Baji sudah seperti sepasang sandal, tetapi belakangan si Pirang yang jadi teman sekelasnya itu berkata bahwa ia dan Baji sedang menarik jarak dan melakukan 'investigasi' terpisah atau apa pun itu.

"Di mana?"

"Markas Valhalla. Chifuyu pingsan, mereka membawa tubuhnya ke luar lewat pintu belakangan—"

"Tunggu-tunggu, Chifuyu pingsan?" Itu adalah satu hal yang sulit Keira percaya, ia mengernyit. Agak sulit mempercayai bahwa Wakil Kapten Divisi Pertama Touman itu bisa hilang kesadaran. "Kenapa bukan kau saja?"

"Aku tidak bisa. Dengar, Kei! Aku tidak bisa lama-lama menghubungimu, mereka bisa curiga. Jemput Chifuyu, area Dingdong. Cari bangunan dengan simbol tubuh malaikat tanpa kepala dan memutar ke bagian belakang. Jangan katakan kalau aku yang menyuruhmu! Jangan buat konfrontasi dengan anggota Valhalla!"

Telepon ditutup. Tanpa kesempatan mengelak atau mengajukan pertanyaan, Keira akhirnya melangkah menuju tempat yang dimaksud. Ia berhasil membawa Chifuyu di punggungnya dan menghindari orang-orang berjaket putih, lantas membawa wakil kapten itu ke klinik terdekat. Meskipun Keira bertanya-tanya perihal Baji dan apa yang sedang dilakukannya, Chifuyu tidak banyak menjelaskan. Ia hanya berkata, "Percayakan saja pada kami."

Kalau ada hal yang sampai disembunyikan sedemikian rupa, gadis itu meyakini bahwa ini ada hubungannya dengan Touman. Jadi dia tidak menyelidiki lebih banyak dan hanya mengangguk. Diam-diam mengasihani memar dan luka di wajah Chifuyu.

"Omong-omong, kau tahu dari mana kalau aku pingsan?"

"Kebetulan lewat."

Baji Keisuke menggosok kedua tangan dan berdiri. Matanya masih melekat di batu nisan si Sulung Sano. Satu hal yang membuat Keira makin heran dengan saudaranya adalah fakta bahwa ia menggunakan jaket Valhalla, bukan Tokyo Manji.

"Apa-apaan jaketmu itu?"

"Bukan urusanmu," pungkas Keisuke, ia melirik Keira tajam. Membuat gadis itu menaikkan alis kanan.

Kenapa Keisuke pindah geng?

Namun, perihal apa pun di dalam Tokyo Manji bukanlah urusannya. Sebagai sepupu Kapten Divisi Pertama, informasi internal mengenai Touman sangatlah terbatas dan ia memahami itu. Toh, belakangan urusan geng motor menjadi agak liar. Apalagi setelah Keisuke bercerita mengenai tawuran 8/3 melawan Mobieus yang mengirim Draken ke meja operasi. Mungkin tidak pernah terlibat secara mendalam bukanlah keputusan buruk.

"Aku mengkhawatirkanmu, Keisuke." Keira mengikuti langkah-langkah panjang saudaranya dari belakang, menyusuri jalan setapak gelap pemakaman. "Kau sudah berhari-hari tidak pulang, tidak sekolah, dan tidak bisa dihubungi. Apa-apaan!"

"Aku baik-baik saja."

Keira tahu itu bohong, dari suara Keisuke, ia tahu. Namun, gadis itu tidak membalas dan hanya membuang napas panjang. Bukan kali pertama, Keisuke bersikap seperti ini. Sudah terlalu sering, sampai ke tahap ibunya pun tidak perlu bantuan polisi untuk menemukan Keisuke dan yakin bahwa putra semata wayangnya akan baik-baik saja. Entah itu berarti bagus atau buruk.

"Aku punya firasat buruk." Keira menangkap lengan Keisuke saat kakinya tergelincir batu.

Laki-laki berjaket putih itu menangkap tubuh Keira, gesit dan membantunya berdiri. "Jalan pakai mata, kaki, dan otakmu," katanya dingin.

"Besok kau ada tawuran, 'kan?" Mengabaikan ucapan sarkastik itu, Keira berusaha menyamakan langkah dengan Keisuke. "Di mana?"

"Siapa yang memberitahumu? Chifuyu?"

"Hei, kau menyembunyikan banyak hal dariku. Apa aku tidak boleh menyimpan rahasia juga?"

"Benar Chifuyu, ya?"

"Mikey."

Satu nama itu menghentikan langkah Keisuke secara instan. Laki-laki bermata cokelat itu menatap netra saudarinya. "Kenapa dia memberitahumu?" Keningnya berkerut dalam. Baik suara maupun ekspresi, kentara menandakan ketidaksukaan.

Apa yang terjadi di antara mereka?

Mikey hanya memberitahu bahwa mereka ada tawuran besok, tidak ada penjelasan apa pun bahwa ternyata kedua sahabat kecil ini berada di sisi yang berseberangan.

"Karena aku bertanya." Keira yang berjalan di depan Keisuke berbalik, menatap mata laki-laki itu intens. "Karena aku cerita padanya, bahwa kau menghilang dan ibumu, berbicara sendiri di dapur. Berharap anaknya bisa hadir tanggal 3 November nanti."

Ekspresi Keisuke melunak. Ia memejamkan mata dengan raut bersalah yang tak luput dari perhatian gadis di depannya. Namun, sekejap setelah membuka mata, ekspresi itu menghilang. Digantikan raut tegas dan dingin yang menyembunyikan banyak rahasia. Selalu begitu, Keisuke kentara sekali menyimpan hal berat seorang diri dan tidak ada yang bisa membuat laki-laki itu bercerita.

"Tora-kun, sudah keluar dari penjara, kan? Aku ingin bertemu dengannya."

"Jangan sekarang."

Mereka jalan beriringan dalam hening. Tiba-tiba tangan Keisuke terangkat, ia menarik kunciran hitam dari simpul ikatan rambut Keira.

"Pinjam ikat rambut," katanya. "Punyaku hilang." Ia mengantongi benda kecil itu, mengabaikan gerutuan Keira.

"Aku lapar."

"Aku tidak." Membiarkan Keisuke yang lapar keliaran malam-malam sendirian, tidak seperti keputusan bijaksana. Jadi Keira buru-buru menambahkan, "Cuma kalau kau mau makan, ya, ayo." Lebih baik ia menemani, daripada laki-laki di sebelahnya tiba-tiba membakar mobil.

Senyum kecil muncul di wajah Keisuke, taringnya mencuat dari sudut bibir.

"Kau mau hadiah apa untuk ulang tahun?"

Senyumnya lenyap. "Kau tidak tahu, bagaimana caranya membangun mood, ya?" Keisuke menatap Keira dengan ekspresi tidak percaya. "Bisa-bisanya kau bertanya begitu."

Keira menggedikkan bahu, acuh tak acuh. "Aku ingin memastikan kau pulang untuk klaim hadiahnya. Nanti sudah dibeli, tahu-tahu tidak pulang."

"Aku akan pulang dan kau harus mentraktirku parfait cokelat." Laki-laki itu diam sebentar, lantas kembali tersenyum lebar.

"Omong-omong, aku mau kacamata baru. Punyaku yang lama lensanya sudah longgar. Temani aku beli di Shibuya, ya?" Keisuke menatap saudarinya penuh minat. Seringai menghiasi wajah tampannya.

Keira balas tersenyum. "Actually, I kinda miss you. Just a little bit." Ia membentuk celah kecil dari jempol dan telunjuknya.

Keisuke mendengkus.

"Same."

Pasca kematian Baji Keisuke, menemukan Hanazawa Keira semudah membalik telapak tangan. Pasti di pemakaman. Dia ke sana setiap hari. Kalau ada seseorang yang terluka sedalam Chifuyu Matsuno ataupun Manjirou Sano, maka itu adalah Hanazawa Keira.

Gerimis membasahi bumi, mengisi lubang-lubang aspal dengan genangan air. Roda motor menerabas jalan liar, Mitsuya membawa kendaraannya menuju lingkungan pekuburan yang amat ia kenali. Sudah sebulan berlalu semenjak tragedi Halloween Berdarah, 30 hari sejak kematian Baji, dan masih ada seseorang yang menganggap bahwa kejadian itu baru kemarin.

Ia memarkir motor dan membuka payung transparan yang digantung pada setang. Langkah membawa tubuh rampingnya mendekati sosok menyedihkan yang tengah duduk sambil memeluk lutut, tubuh Keira dibungkus jaket hitam bertudung. Mitsuya duduk di sebelahnya, memastikan diri cukup dekat agar mereka sama-sama dilindungi payung.

"Hari ini, aku tidak mengunjungi Keisuke, kok." Suara Keira serak, setiap tarikan napasnya diiringi bunyi ingus. "Aku ke tempat Shinichiro-san."

Mitsuya memandang langit kelabu, mengingat tanggal berapa sekarang. Setiap genap Keira akan pergi ke makam Keisuke dan pada hari ganjil mengunjungi pusara Shinichiro, bergantian.

Keira meluruskan kaki. "Tiba-tiba aku jadi sering ke sini," katanya. "Awalnya, aku masih sering datang dengan Bibi. Tapi, lama-lama datang sendiri. Bibi pasti lebih terluka dariku dan melihat makam anaknya sendiri ... aku tidak tahu, bagaimana perasaannya."

Laki-laki dengan seragam sekolah itu melirik Keira yang masih berbicara, tanpa niat memotong.

"Mikey, Draken-kun, dan Takemichi, menemaniku dan Bibi sepanjang hari itu, mereka tidak mengungkit apa pun soal Tora-kun." Tangan Keira terkepal, matanya terpejam. Ia menarik napas. "Tapi, mereka menceritakan semuanya padaku. Semuanya. Draken-kun mengajakku mengunjungi Tora-kun di juvie, keesokan harinya bersama Takemichi."

"Bahkan, sampai akhir, Keisuke itu tetap semaunya. Hidup semaunya, mati pun semaunya. Suka-suka dia, bagaimana caranya, dan kapan waktunya. Biar begitu, kenapa dia tetap kelihatan keren, sih." Keira menarik ingus. "Perasaanku sudah tidak enak dari beberapa hari sebelumnya. Dia tiba-tiba bilang, 'motor ini boleh kau pakai, tapi untuk Chifuyu' padahal dia tahu, aku tidak bisa mengendarai motor. Biasanya dia melarangku mengelap motornya. Sehari sebelum, dia bilang, 'jaga ibuku.' Mengesalkan sekali, aku tidak menyadari itu sebagai pertanda."

Hati Mitsuya terasa gatal dan tercubit-cubit mendengar cerita Keira. Ia menghela napas berat dan mengembuskannya pelan sambil merogoh saku celana. Siapa pun yang melihat kejadian Halloween Berdarah dan mengenal Baji Keisuke, tentu tidak akan bisa melupakannya seumur hidup. Dia terlalu luar biasa untuk dilupakan begitu saja, apa yang dilakukannya pada siang hari itu telah mengubah hidup orang lain.

"Kau tahu, aku menggunakan sampo Keisuke dan memang bagus. Rambutku jadi lebih halus dan harum." Tiba-tiba saja Keira berucap, nada suaranya terdengar lebih ringan tanpa kesan terpaksa. Gadis itu menarik dan menciumi rambutnya. "Dia tidak pernah membiarkanku menyentuh rambutnya, bahkan merahasiakan merek samponya. Padahal, aku memanjangkan rambut supaya kami mirip."

Mitsuya sedikit kaget dengan perubahan topik ini, tetapi ia memahami maksud Keira dan mengikuti alur mainnya. Lagipula, tidak biasanya gadis itu membuka percakapan lebih dulu.

"Dia menggunakan tiga botol berbeda aroma dan berbeda merek sekaligus. Tidak heran." Keira mengibas rambut. Ia menarik ingus. "Oh, iya. Hari ini aku pergi memberi makan kucing jalanan. Pernah satu hari, aku jalan ke tempat ini diikuti sekitar ... Uhhh, tujuh atau sepuluh ekor kucing liar dan kami mengelilingi makam Keisuke seperti anak kecil melingkari api unggun. Dia meninggalkan banyak anak angkat."

Mitsuya mengeluarkan sapu tangan warna biru langit. "Aku bisa membantumu memberi makan kucing-kucing itu." Ia menyerahkan kain persegi itu pada Keira yang terus-terusan menarik ingus.

Ragu-ragu Keira menerima uluran sapu tangan tersebut. "Chifuyu sudah membantuku. Anak-anak kucing itu mudah diatur. Omong-omong, kau yakin?" Gadis bermata cokelat terang itu mengangkat benda pemberian Mitsuya. "Aku mungkin tidak mengembalikannya. Maksudku, agak ... jorok ... meskipun sudah dicuci."

"Ambil saja. Memang kubuat untukmu."

"Ohhh, makasih banyak!" Tanpa ragu, Keira langsung membersitkan hidung setelah bergumam, 'permisi'.

"Dulu, waktu masih kecil, Keisuke dan aku main kembang api dan kami membakar sepeda orang. Anak itu juga pernah memasukkan ponsel ke dalam mikrowave sambil bilang, 'apakah ini bisa di-charge?' Lalu saat pertamakali mendapatkan ponsel, dia mengetik semua pesan dalam huruf kapital!"

Mitsuya tertawa kecil. Entah kenapa, ia tidak merasa heran. Remaja berambut ungu pendek itu menatap Keira penuh minat, ikut antusias melihat gemerlap penuh kegembiraan bercampur nostalgia di sepasang mata gadis di sebelahnya.

"Aku menangis saat tahu Keisuke mengulang kelas, kukira dia bodoh. Tapi, tidak kusangka sampai seperti itu. Lalu saat baru pindah dan melihat penampilan barunya, aku nyaris pingsan. Seperti: who the fck are you? Where's my brother?"

Keira tersenyum tipis, pandangannya mengawang-awang. "Kau tahu, Keisuke sering membantu ibunya beres-beres rumah. Terutama, jika ia yang mengacaukannya. Waktu kecil, Keisuke pernah makan plastisin dan krayon, lalu Bibi merasa bingung harus melakukan apa. Kami takut membawanya ke dokter, khwatir jika itu sudah terlambat. Namun, melihat Keisuke baik-baik saja, kurasa dia memang ... tidak apa-apa. Kadang-kadang kupikir, otaknya bermasalah karena salah makan itu."

Mereka berdua tertawa sebentar.

"Aku ingat, dulu kami sama-sama pulang dari SD dan bertemu anjing di jalan. Hewan itu menggonggong keras dan kami balas menggonggong supaya ia tidak mendekat sambil pegangan tangan." Keira menggigit bibir bawah, ia hampir kembali meluncurkan air mata selagi tersenyum. "Aku pernah mencoret tembok ruang tengah dengan spidol: AKU MEMBENCIMU, KEISUKE!!! Bibi memarahi kami dan gara-gara itu, Keisuke menggunting rambutku sewaktu aku tidur. He's an asshole."

Sambil menunggu hujan selesai, Mitsuya mendengarkan kenangan-kenangan yang meluncur dari bibir Keira. Sesekali bersama dengan satu atau dua air mata, tetapi gadis itu kelihatan jauh lebih baik dan senyumnya tidak pernah setulus sore itu.

"Nyalakan mesinnya!"

"Seperti ini? Kok tidak mau nyala?"

"Kau belum memasang kuncinya."

Hujan berhenti sepuluh menit lalu. Demi mempertahankan atmosfer menyenangkan, Mitsuya menawari Keira belajar mengendarai motor. Gadis berkucir kuda ini memang tidak membawa payung selama perjalanan kemari, dia menggunakan helm sebagai pengganti. Helm yang dibeli ketika baru sampai di Tokyo waktu itu.

Mesin motor menderu nyaring setelah Mitsuya memasang kunci.

"Tarik gasnya pelan-pelan saja, tanganmu harus tetap ada di rem." Mitsuya memasang helm.

Tidak akan susah, kan? Pasti semudah mengajari Luna dan Mana naik sepeda.

"Oke!" Keira bergerak seperti per di atas jok motor. Ia mengusap kedua tangannya dan memegang setang hati-hati. "Aku siap!"

Mitsuya mundur selangkah, ia baru saja mengangkat kaki untuk menduduki kursi belakang ketika motornya sudah menerjang maju dan menabrak patung batu. Tubuhnya mematung, kaki di udara.

Keira tidak jatuh, tetapi jelas syok. Ia cepat-cepat menurunkan standar dan memeriksa bagian depan motor. "Mitsuya-san, apa motormu baik-baik saja?" Ekspresinya panik bukan main.

"Apa kau baik-baik saja?" Mitsuya berlari kecil, mendekat. Ia mengecek motornya sebentar, tidak ada masalah. "Kau baik-baik saja?"

Keira menggeleng. "Maaf."

"Tidak masalah."

"Aku tidak minta maaf padamu, Mitsuya-san."

Alis Mitsuya terangkat.

Keira mengatupkan tangan—seperti berdoa—dan berucap keras-keras. "Aku minta maaf pada semua penghuni pemakaman ini! Tolong jangan jatuhi kesialan pada kami!"

Kapten Divisi Dua Touman itu menggeleng dengan senyum kecil. Ia menaiki dan menyalakan motornya. "Ayo, naik! Besok kita pilih tempat latihan yang bukan pemakaman."

"Patung ini gimana?" Keira menatap nanar patung setinggi lutut yang jatuh berantakan di dekat kakinya. Sebenarnya daripada patung, benda itu tadinya lebih mirip tumpukan batu.

"Biarkan saja."

"Tapi—"

"Bukannya kau juga lari, waktu membakar sepeda orang lain." Mitsuya menyeringai dengan gaya mengejek, ia menarik gas, motornya berderu halus. "Lagian, aku bilang tarik gasnya pelan-pelan."

"Aku menariknya pelan-pelan."

"Itu tidak pelan sama sekali." Mitsuya menuding tumpukan batu berantakan. "Itu ngegas."

Keira menggedikkan bahu, ia duduk di bangku belakang dan bergumam maaf yang dibalas Mitsuya dengan suara motor membelah aspal basah.

Mitsuya menunjukkan Keira di mana sekolahnya dan berkeliling sambil menceritakan banyak hal tentang Touman, juga geng yang sudah mereka kalahkan semenjak pertama kali berdiri sampai saat ini, beserta alasan di balik serangan-serangan itu. Keduanya saling bertukar cerita layaknya kawan lama diiringi tawa sesekali.

Semuanya terasa ringan dan menyenangkan, setiap obrolan disambut dengan baik, setiap topik mengalir berganti secara alami. Hanya ada sedikit jeda di tengah-tengah percakapan, jeda untuk menarik napas sambil berpikir: 'wah, kami banyak bicara/aku cerewet sekali.' Jeda tanpa arti karena baik Mitsuya maupun Keira akan langsung berusaha mengembangkan topik percakapan, bahkan tanpa sadar suka bertabrakan saat bicara, yang berujung canggung sendiri dan saling mempersilakan.

Keduanya menepi di supermarket ketika hujan kembali. Mitsuya mendorong pintu, membiarkan Keira masuk sambil cepat-cepat menuju mesin minuman. Laki-laki itu sendiri mendekati konter dan membuat dua ramen, mereka sama-sama duduk di meja bundar dekat pintu masuk. Tubuh keduanya menggigil diterpa suhu AC.

"Terima kasih." Mereka berucap kompak.

Mitsuya mengeluarkan ponsel dan menyalakannya sebentar. Masih ada dua jam sampai waktu menjemput Luna dan Mana. "Habis ini mau ke mana?" Ia bahkan tak sadar sudah bertanya, bukankah baiknya mereka pulang saja karena cuaca sedang tidak bagus? Alih-alih, malah terdengar tidak mau segera usai.

Keira menghabiskan kunyahan baru menjawab, "Bukannya kau harus jemput adikmu?" Ia mengernyit, mengingat-ingat obrolan di motor tadi.

"Masih bisa nanti."

"Kalau gitu, mau ke arcade?"

Mitsuya hanya mengangguk. Mereka menyantap makanan dalam diam dan menyesap segelas teh hangat.

"Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Mitsuya curiga. Ia sudah memperhatikan dari tadi, agaknya Keira terus menatap wajahnya seolah-olah ada yang menempel di sana. "Bekas makanan?" Ia mengelap mulut dan menatap tangan.

Keira tertawa dan menggeleng. "Aku hanya penasaran," ia menunjuk wajah Mitsuya, "alismu unik sekali Mitsuya-san, boleh kupegang? Kenapa lucu sekali? Seperti ada spasinya."

Buru-buru Mitsuya memegang alis, kikuk. Ia rasa wajahnya menghangat. Ada-ada saja, tiba-tiba mengomentari alis seseorang.

"Tidak."

"Ah, pelit!" Keira merengek sambil mendesah kecil. "Boleh, ya?" Ia bertopang dagu.

"Tidak." Mitsuya menutupi alisnya dengan tangan. "Kau, kan, punya."

"Tidak sebagus punyamu. Aku mau alis ungu juga, yang ada spasinya, hehe."

Mitsuya berdecak, wajahnya makin panas. Bisa-bisanya memuji alis! Padahal, aku punya otot—apa enggak kelihatan?—dan ... dan orang-orang bilang tanganku bagus; jariku panjang. Ia tanpa sadar memperhatikan tangannya lalu mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari. Memang bagus.

Mitsuya berdeham. "Besok kamu ada jadwal kerja, 'kan? Hubungi aku kalau sudah pulang." Ia mengangkat gelas kertas dan menghabiskan minuman.

Omake;

K: Ini. Boneka dan mainan arcade untuk adikmu~ anggap saja hadiah ganti buat sapu tangan sama bensin yang udah terbuang (人 •͈ᴗ•͈)
M: Oh, oke (;;;・_・) terima kasih. Ingat, ya. Besok akan kujemput, buat ... latihan motor. Jangan pulang duluan!
K: aye, kapten.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro