3 | First Christmas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesaat Mikey berada di udara, lalu terdengar suara benda tumpul menghantam sesuatu dan tubuh Taiju terkapar di lantai. Mikey Tak Terkalahkan, menumbangkan Taiju Shiba sekali serang.

Mitsuya mengembuskan napas panjang, ia bisa merasakan asin darah di mulutnya. "Kau membuatku syok tadi."

Hakkai terkesima. "Dia hanya sekali menendangnya."

"Itu mengagumkan, Mikey-kun!" Chifuyu berseru, sementara Yuzuha tak kalah kaget.

"Buasnya."

Mikey berbalik, berjalan menuju pintu gereja. Ia berhenti dan berucap, "Kuputuskan untuk berkendara bersama kakakku dan Baji di malam Natal." Tangannya merogoh sesuatu di balik jaket dan syal yang ia kenakan, remaja berambut pirang panjang itu menunjukkan sebuah jimat kepada kawan-kawannya—kepada Takemichi.

"Aku mengendarai peninggalan kakakku dan mengenakan peninggalan dari Baji. Ketika aku mengendari motor saat cuaca bersalju, rasanya seperti bersama mereka."

Matanya terpejam, Sano Manjiro terlihat tenang dengan seulas senyum tipis di wajah. Ia menekan jimat itu di dadanya dan mengeratkan kepalan.

"Kakakku, Baji, dan kalian. Kalian semua di sini bersamaku. Itulah yang membuatku kuat."

Sekali lagi, dia menoleh. Rambutnya sedikit berkibar saat ia berbalik.

"Baiklah, semuanya. Mungkin natal sudah berlalu, tapi ayo motoran!" Senyum lebarnya muncul juga.

"KAU PIKIR, KAU MAU KE MANA?" Taiju berteriak, tubuhnya dipapah Inui. "Ini belum selesai Touman!" Suaranya menggelegar di seluruh penjuru gereja yang berantakan; kursi-kursi panjang terlempar dan hancur di sana-sini.

"Koko! Panggil semua tentara kita ke sini! Kita akan adu prajurit terbaik kita melawan mereka! Tidak akan kubiarkan satu pun dari kalian pergi! INI BERAKHIR DI SINI! AKU TIDAK AKAN KALAH DARI SIAPA PUN, BAJINGAN!"

"Taiju ...." Mikey memanggilnya, menatap sosok bertubuh tinggi besar itu dengan raut kasihan. "Black Dragon kuat, tapi mereka tidak bisa membuat era baru."

Taiju mengetatkan rahang, ekspresinya seolah ingin membunuh Manjiro.

"Kau hebat dalam bertarung, tapi tidak punya hati. Kami akan membuat era baru," pungkas pemimpin Touman dengan nada tegas. "Jadi duduk dan lihatlah." Tidak ada penekanan dalam kalimatnya yang setenang air, tetapi Taiju kentara gelisah.

"Hei, Koko! Apa yang kau tunggu? Di mana semua tentaraku? CEPAT!"

Laki-laki berambut hitam di ambang pintu, menatap ke luar pintu gereja dengan ekspresi sulit terbaca. Gabungan antara tidak percaya sekaligus bingung. "Bos ... kita telah kalah."

Taiju makin murka, ia mengempaskan Inui dan langsung berlari setengah merangkak mendekati pintu gereja, hanya untuk menemukan dua sosok tengah berada di atas tangga. Ryuguji 'Draken' Ken duduk di tangga kelima dari atas, wajahnya dihiasi cipratan darah bersama Hanazawa Keira yang mengelap noda merah dari jarinya menggunakan sapu tangan biru.

"Oh, apa semuanya sudah selesai di sana?" Draken menatap Taiju. Ia tersenyum lebar. "Bisa beritahu, Mikey. Kami sudah selesai di sini. Hehe."

Di bawah anak tangga terakhir, ratusan anggota Black Dragon generasi 10 tumbang, bergelimpangan seperti serangga di atas salju.

Mitsuya menggedong Takemichi di punggungnya, laki-laki berambut kuning itu terpejam dengan wajah babak belur hingga sulit dikenali.

"Mikey, Draken," entah tenaga darimana, Mitsuya masih bisa membopong seseorang di atas tubuhnya, "kita mengalahkan Black Dragon. Tapi, MVP malam ini adalah Takemichi."

Dua orang yang dipanggil tersenyum setuju.

"Michi-kun, apa kau baik-baik saja?" Keira mengusap-usap rambut Takemichi, berusaha membuat laki-laki itu bangun. "Apa perlu dibawa ke Dokter? Dia pingsan, nih." Ia menatap Mitsuya khawatir, lalu dua pemimpin teratas Touman bergantian.

"Nanti juga sembuh." Draken menyahut, acuh tak acuh. "Dia sudah sering luka, tidak ada bekasnya, tuh."

"Meh, badan kalian memang terbuat dari tank." Keira menyingkir saat motor Mikey terparkir di dekat kakinya.

"Mitsuya, letakkan Takemichi di belakangku!"

"Kau mau membawanya ke Dokter?"

"Tidak. Akan kubawa dia ke tempat yang lebih ampuh." Mikey tersenyum lebar, ia membantu Mitsuya memperbaiki posisi duduk Takemichi yang pingsan. Tubuh kuat remaja itu bersandar lemah pada punggung Mikey.

"Bisa bawa Mitsuya-san, juga?" Keira menatap laki-laki berambut ungu di depannya. "Lihat! Dia mandi darah! Omong-omong, kancing bajumu, nanti masuk angin."

"Takemichi, kan, punya pacar." Draken menjawab.

"Pacarnya Dokter?"

"Kau, kok, jadi bodoh? Bodohnya Baji pindah padamu, ya? Makanya, jangan tidur di kamarnya."

"Baji-san, tidak bodoh!" Chifuyu sewot. Padahal, mereka sering berbagi satu sel otak.

"Apaan, sih?" Keira mengernyit. "Mitsuya-san, ayo kita temui pacarnya Takemichi! Mana kunci motormu?"

Mitsuya tertawa pelan. Kepalanya sakit mendengar ocehan berisik tiga kawannya. "Hanazawa-san, kenapa kau bisa ada di sini?"

"Orang ini menelepon." Jari Keira menuding Draken di sebelahnya. "Katanya, aku dipanggil Emma. Tapi, aku tidak melihat Emma di sini."

"Aku yang memanggilmu, supaya Mitsuya ada teman pulang." Mikey menyalakan mesin motornya, lampu sen menerangi tumpukan salju di depan roda.

Keira menatap lelaki tinggi di sebelahnya curiga. "Astaga, kau menggunakan nama Emma!"

"Problem?" Remaja bertato naga itu hanya menyeringai dengan alis terangkat.

Keira menggedikkan bahu, ia menatap Mitsuya. "Mana kunci motormu?"

"Bagaimana Ibu dan adik-adikku?" Mistuya mengeluarkan kunci dari saku celana. Melemparkan benda tipis itu ke tangan Keira.

"Aman." Gadis itu menangkap kuncinya, mudah. Ia menatap Mitsuya, hendak mengatakan sesuatu, tetapi diurungkan saat Yuzuha dan Hakkai mendekati presiden klub Ekonomi Rumah Tangga itu.

"Yu-zu-ha-san, benar?" Ragu-ragu Keira bertanya.

Gadis berambut panjang di sebelah Hakkai menoleh, keningnya mengerut samar. Merasa tidak mengenali sosok yang memanggilnya. "Iya?"

Bersyukur karena suara kecil terdengar, Keira melepas jaket yang ia kenakan dan megayunkan benda itu mengelilingi bahu Yuzuha. "Musim dingin dan salju turun, kau malah hanya pakai baju seragam," katanya. "Gunakanlah ini dulu."

"Ka-kau bagimana?" Sebenarnya Yuzuha ingin langsung menolak, tetapi ia merasa sedikit hangat. Ditambah lagi, ia dan Hakkai masih harus berjalan pulang setelah ini.

Keira mengangkat tangan. "Aku pakai baju lengan panjang, kok. Ini lumayan tebal. Santai saja. Lagian, habis ini langsung pulang." Ia melirik remaja berambut biru tua di sebelah Yuzuha. "Adikmu tidak apa-apa?"

Hakkai mengalihkan pandangan, tidak menjawab. Sebenarnya ia yang paling kedinginan karena tidak pakai atasan. Namun, di banding yang lain, tubuhnya paling baik-baik saja.

Yuzuha melempar jaket Keira ke wajah Hakkai. "Ini. Biar dia saja yang pakai. Maaf, merepotkanmu." Gadis itu memberi kode agar Hakkai berterima kasih, tetapi remaja yang selalu kaku di hadapan perempuan itu hanya bergeming.

Keira tertawa geli. "Kau baik, ya, Yuzuha-san."

"Kalau begitu, Mikey dan Takemichi. Keira mengurus Mitsuya, Chifuyu langsung pulang dan obati lukamu, aku akan mengantar Hakkai dan Yuzuha," tutur Draken yang dibalas anggukan seluruh orang di sana. "Kita ketemu di tempat Hina, 'kan?" Draken menatap Mikey, Ketua Touman itu mengangguk dan melajukan motornya.

Setelah sebulan berlatih mengendarai motor bersama Mitsuya, kemampuan Keira sudah membaik. Kendati demikian, pemilik kendaraan yang kini tengah dikemudikan gadis model itu masih agak skeptis.

"Ayo, naik!"

Draken dan yang lainnya sudah pergi sejak tadi. Karena sisa selain mereka berdua berjalan kaki, setidaknya harus cepat-cepat sampai rumah guna menghangatkan diri.

"Sepertinya, biar aku saja yang bawa motornya." Tangan Mitsuya hendak meraih setang, Keira menepisnya.

"Lihat penampilanmu, Kapten!" Mata cokelat Keira bergerak cepat, menatap lawan bicaranya dari atas ke bawah. "Kutebak, kepalamu pasti sakit sekali. Masa aku membiarkan seseorang yang terluka mengendarai motor, bisa-bisa aku disangka sudah menabrak pejalan kaki dan memaksanya mengantarkan diri sendiri ke RS."

Mitsuya mengerang pelan, kepalanya memang berdenyut-denyut tidak karuan dan pandangannya mulai buram sejak Inupi memukulnya dengan pipa. Ia akhirnya mengangguk dan duduk di jok belakang tanpa banyak protes, mempercayakan nyawa pada murid-kelas-motornya.

"Tenang saja, aku akan menjagamu." Keira menarik gas, melempar segenggam salju ke belakang roda dan berkendara cepat, tetapi santai membelah malam natal. "Kita mampir klinik dulu, ya."

Mitsuya tidak menjawab. Ide menuju klinik bukan saran buruk, ia memang harus memantaskan diri sebelum bertemu keluarganya besok pagi.

"Keira, aku bersandar sebentar, ya. Kalau kau keberatan, bangunkan saja. Aku tidak tidur, hanya—"

"Iya, iya. Lakukan saja." Suara Keira teredam angin, masih cukup jelas. "Beristirahatlah. Akan kuberitahu jika sudah sampai."

Dengan izin itu, Mitsuya akhirnya menyandarkan sisi kepala pada bahu kiri Keira. Ia bisa merasakan hangat dan lembutnya bahan yang digunakan untuk sweater rajut berwarna krem ini. Perlahan, pandangan Kapten Divisi Dua itu memberat lalu segalanya berubah buram dan gelap, dalam lelapnya yang hanya sebentar, ia mendengar bunyi detak jantung Keira yang membabi-buta.

Mitsuya tidak benar-benar ingat bagaimana bisa sampai rumah semalam. Ia hanya tahu, seusai dari klinik mereka langsung pulang dan lelaki ini membujuk supaya pengantarnya menginap dan Keira setuju. Namun, saat ia bangun di pagi hari, gadis bermarga Hanazawa itu sudah merapikan futon-nya dan tak terlihat di mana-mana.

Ibunya bilang, Keira pergi sebelum ia terbangun. Mitsuya jadi sangsi, apakah gadis itu benar-benar tidur di lantai kamarnya semalam? Pikiran itu buyar saat Luna dan Mana menjerit-jerit dari kamar mereka: SELAMAT NATAL! Lalu menghambur ke pelukan hangat kakak laki-laki dan ibunya. Mereka bertukar kado setelah sarapan, sambil membicarakan banyak hal. Tentu saja, Mitsuya menyembunyikan fakta mengenai luka di kepalanya dan bilang bahwa ia ditabrak sepeda, kepalanya terantuk pembatas jalan saat pulang kemarin. Ibunya sempat skeptis, tetapi akhirnya percaya setelah diyakinkan. Adik-adik Takashi, bergantian membicarakan cewek tinggi berwajah seram yang dibawa kakaknya kemarin untuk menjaga mereka—Mitsuya beralasan harus mengerjakan PR musim dingin di rumah teman.

"Hanazawa-san, wajahnya memang begitu." Ia sedikit tersedak saat Luna bilang, 'cewek itu wajahnya seperti mau membunuh orang'.

"Dia baik, 'kan?"

Mana mengangguk. "Dia pintar akting dan memanggil kami Princess. Dia juga suka nonton Barbie, kami main Barbie, putri-putrian, masak-masakan, hotel-hotelan, kantor, restoran, jadi pramugari, jadi supir taksi, pemilik penginapan, ke ruang angkasa, rumah-rumahan, petak umpet, ular tangga, ...." Mana menyebut semua jenis permainan yang ia punya, dibantu Luna kalau ada yang terlewat satu.

"Kau harus membalasnya, Takashi," bisik ibunya sambil merapikan piring.

Mitsuya menoleh, ia tersenyum dan mengangguk. "Ibu bertemu dengannya?"

"Iya. Dia makan malam bersama kita dan pergi menjelang tengah malam. Padahal, ibu sudah minta dia menginap." Wanita paruh baya itu membuang napas kecewa.

Pasti syok kalau kubilang, Keira tidur di kamarku.

"Lain kali, kuajak ke sini lagi," janji Mitsuya.

Setelah membereskan rumah dari kertas-kertas sisa acara tukar-menukar kado, Mitsuya beranjak menuju kamarnya dan hendak mengambil ponsel di atas nakas untuk menghubungi seseorang. Tangannya berhenti saat menyadari sebuah paperbag yang semalam tidak ada di sana. Ketika dibuka, ia menemukan sehelai syal warna ungu tua, dua plastik marshmalow dan permen buah, juga sekotak teh herbal, beserta secarik kertas.

Untuk keluarga Mitsuya. Selamat Natal! Terima kasih karena sudah menyambutku dengan baik.  -Keira Hanazawa.

Lalu selembar kertas lebih kecil jatuh dari surat pertama.

Hanya boleh dibaca oleh Takashi Mitsuya. ┻━┻︵└(՞▽՞ └)

1. Terima kasih sudah merekomendasikan tempat membeli helm.
2. Terima kasih karena sudah memberikan nomormu.
.
.
.
58. Terima kasih sudah menemaniku di pemakaman hari itu.
59. Terima kasih karena mengajariku cara mengendarai motor.
60. Terima kasih karena sudah menjemputku sepulang kerja.
.
.
.
72. Rajutanku masih jelek, tapi aku lumayan bangga. Jadi kukasih syal percobaan ini untukmu, versi bagusnya kuberikan untuk Ibu, Ayah, dan Bibi.
.
.
.

Jumlah ucapan terima kasihnya tidak benar-benar banyak, Keira hanya mengarang nomor dan menambahkan titik-titik di tiap garis buku supaya terkesan penuh. Walau begitu, dia memang cukup banyak menulis di atas kertas warna lavender tersebut. Kertas surat ini juga mengeluarkan aroma sama dengan warnanya.

Setelah menyerahkan kado titipan Keira pada adik dan ibunya, Mitsuya kembali ke kamar. Ia menelepon Keira dengan syal pemberian gadis itu di tangan. Tepat setelah teleponnya diangkat, laki-laki itu berucap, "Halo. Selamat pagi, selamat natal! Sebelum, aku mulai mengoreksi semua kesalahan dalam rajutanmu, aku ingin bilang 'terima kasih' dan ... aku berhutang banyak."

Keira tertawa di seberang sana, membuat laki-laki yang mendengarnya ikut tersenyum.

Bagaimana lukamu?

"Sudah tidak sakit. Sampaikan salamku untuk ayah dan ibumu. Aku akan memberi mereka kado juga nanti."

Jangan repot-repot. Omong-omong, aku sedang bersama mereka, bertiga dengan Bibi. Kami mau jalan-jalan ke—

"Coba nyalakan speaker-nya."

Omake;
K: Ibu bilang terima kasih untuk bunganya. Sekarang, ayahku entah harus khawatir tentang anaknya atau istrinya ಡ ͜ ʖ ಡ
M: ( ꈍᴗꈍ) selamat natal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro