Strategy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bumi, 2120

"Aretha, lihat kemari!" Aku menghampiri Ray bersama yang lainnya.

Sebuah batu dengan ukiran aneh ditemukan, tulisan lainnya yang tidak aku mengerti. Kami mendapat banyak hal selama sepuluh tahun ini. Bisa dikatakan peninggalan dari para manusia di masa lalu. Namun, tidak ada yang mengetahui arti tulisan dari batu-batu itu.

Aku menceritakan mengenai liontin dan pesan mama kepada Ray malam itu. Ia kemudian memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok kecil. Esoknya, kami mulai mengajak beberapa anak yang memiliki keinginan sama untuk mencari tahu kebenaran dari masa lalu.

Ternyata mengumpulkan anak-anak dengan tujuan sama itu cukup sulit. Kami hanya mendapat dua belas anggota. Namun, tentu hal itu tidak menyurutkan semangat untuk berjuang mendapat kehidupan yang lebih layak.

Sayangnya, semangat hari pertama yang kami bangun harus hancur kembali. Mereka datang, memupuskan harapan yang hanya seujung kuku. Kenapa? Bisakah Tuhan bersikap adil? Musnahkan mereka!

Semua berlari mencari perlindungan dari makhluk-makhluk luar angkasa dengan piring terbang mereka. Ledakan di mana-mana bersama dengan kobaran api yang menguasai malam. Aku dan Ray dibawa oleh Paman Royce menuju tempat persembunyian rahasianya. Ia adalah sosok yang berjasa membesarkan sahabatku sejak bayi.

Ray tak pernah mengenal siapa orang tuanya. Hanya Paman Royce yang ia miliki dan selalu ada kapan pun dibutuhkan. Bila dibandingkan, aku memang lebih beruntung karena memiliki mama. Sayangnya, kami pun kini terpisah. Bagaimana keadaan mama di sana?

Makhluk-makhluk itu bukan hanya menyerang distrik mati ini, tetapi juga gedung-gedung tinggi tersebut. Jika dulu, aku selalu bersyukur karena mereka pun mengalami hal yang sama. Namun, sekarang aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal buruk. Sesuatu yang menakutkan. Aku tidak ingin kehilangan mama. Cukup kami dipisah, asalkan ia baik-baik saja. Tuhan, tolong lindungi mama!

Mereka akhirnya pergi, meninggalkan jejak kehancuran dan trauma bagi sebagian orang. Mayat bergelimpangan disertai tangis dari orang-orang yang ditinggalkan. Sebagian ada yang sudah tak bisa dikenali karena hangus terbakar. Kami hanya bisa membantu menguburkan.

"Aretha ... kau baik-baik saja?" Suara Ray mengejutkanku dari kenangan masa lalu.

Aku hanya mengangguk dan memberi senyum tipis kepada laki-laki yang selama sepuluh tahun ini selalu setia menemani hari-hari tanpa mama. Ray sepertinya mengerti maksudku dan memilih diam. Kami mengamati Levi yang menyalin ulang tulisan di batu itu pada selembar kertas.

Dalam hal menyalin memang Levi yang terbaik, walaupun ia juga tidak mengetahui artinya. Laki-laki berambut merah darah ini sudah memiliki dua buku penuh tulisan yang tidak kami mengerti.

Sebenarnya ada sebuah cara untuk mencari tahu arti semua tulisan ini. Paman Royce pernah mengatakan jika di balik pembatas itu, ada alat canggih yang bisa kami gunakan. Namun, tentu sangat berisiko menyelinap masuk ke sana. Perlu rencana yang sangat matang agar segalanya berjalan lancar.

Kami kembali ke markas setelah semua tulisan berhasil disalin. Sudah begitu banyak dan tak ada satu pun yang terpecahkan. Aku menatap Ray penuh arti, ia hanya mengangguk dan meminta perhatian dari anggota lainnya.

Aku dan Ray sempat membahas masalah ini semalam. Sudah waktunya bagi kami untuk bertindak lebih jauh. Namun, tentu semua harus didiskusikan terlebih dahulu agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

"Ada hal yang ingin aku diskusikan." Ucapan Ray menarik perhatian seluruh anggota kelompok yang tadinya saling berbicara satu sama lain.

"Sepertinya sangat serius. Ada apa, Ray?" tanya Serra, gadis lainnya dalam kelompok ini selain aku.

Kami hanya tinggal tujuh orang saja karena kejadian sepuluh tahun lalu. Ray mengatakan demi menghargai anggota terdahulu, ia tidak ingin menambah jumlah. Sebenarnya tak ada masalah dengan itu, hanya saja kami akan butuh bantuan di saat-saat tertentu.

"Semalam aku dan Aretha mendiskusikan sesuatu. Kita sudah lama melakukan pencarian seperti ini dan belum memperoleh hasil yang besar. Aku berpikir untuk menyusup ke wilayah mereka. Bagaimana menurut kalian?"

"Aku tak pernah meragukan keputusanmu, Ray. Untuk kali ini pun sama, tetapi kita perlu rencana yang sangat matang. Ini merupakan sebuah pertaruhan besar."

"Kevin benar. Kita tidak boleh gegabah dalam hal ini. Ya, aku tahu jika kita membutuhkan alat canggih yang dikatakan oleh Paman Royce. Namun, tak semudah itu. Benar bukan?" Ray mengangguk menanggapi pendapat dari Kevin dan Henry.

Mereka memang selalu memiliki jalan pikiran yang sama. Terkadang Kevin dan Henry sudah seperti anak kembar. Namun, kami tidak akan selamanya berada di titik ini. Aku dan yang lain menatap satu-satunya sosok penting dalam mengambil keputusan.

Ia selalu seperti ini, menganalisis dari segala sisi dan akan memberi jalan keluar terbaik. Itu menurut kami sehingga sosoknya selalu menjadi penentu keputusan terakhir. Bukan Ray atau aku, melainkan Andrew si jenius.

"Kita bisa melakukannya hanya dengan sekali percobaan. Jika gagal, maka tak ada harapan lagi untuk menyusup ke sana."

Inilah yang kami nantikan sejak tadi. Andrew-sang ahli strategi-mengemukakan kesimpulan dari semua pendapat ini hingga menjadi sebuah jalan keluar terbaik. Ia beranjak dan melangkah menuju papan di samping Ray.

Seakan terhipnotis dengan tindakannya, aku dan Ray berganti duduk menjadi anak manis. Kami menunggu sang guru besar memberi pelajaran paling menarik. Andrew menggambarkan sesuatu di papan tulis.

"Kita berada di sini, menuju perbatasan membutuhkan sekitar satu jam. Seperti yang diketahui, ada penjaga bersenjata lengkap yang tak segan menghabisi kita. Satu-satunya jalan terbaik dengan memutar arah. Akan tetapi ...." Andrew menghentikan ucapannya, kemudian menatapku dan Serra bergantian.

"Apa?" tanya kami bersamaan. Tidak biasanya Andrew seperti ini, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam rencana tersebut.

"Harus ada yang rela berkorban," ucapnya penuh penekanan.

"Kami?" Aku harus memastikan maksud ambigunya.

Aku bersedia dikorbankan jika memang ini rencana terbaik. Namun, selama Andrew belum menjelaskan secara rinci rencananya, maka tidak ada kesepakatan. Serra pun sama sepertiku, menunggu lanjutan dari sang ahli strategi.

"Katakan, Andrew!" Serra melempar tatapan ingin tahunya, begitu pun denganku.

"Dari yang aku amati selama ini. Para penjaga perbatasan di bagian selatan lemah terhadap wanita. Buat diri kalian berguna dalam hal ini."

Sial! Apa maksudnya? Aku harus menggoda para penjilat itu?

"Kau gila, Andrew!" hardik Serra tak terima.

Andrew mengangkat kedua bahunya, menyerahkan segala keputusan kepadaku dan Serra. Pria ini memang selalu memiliki rencana yang mengejutkan. Namun, bukan dengan mengorbankan kami berdua. Aku memperhatikan anggota lainnya, tetapi mereka seakan tak peduli dan memilih setuju dengan rencana si jenius.

Aku melihat Ray yang ternyata juga sama seperti yang lain. Mungkin bagi mereka ini yang terbaik, tetapi tidakkah ada satu dari kalian yang memikirkan kami? Serra sendiri hanya diam, ia juga pasti sedang menelaah rencana ini. Haruskah aku berkorban kali ini?

"Aku setuju," ucap Serra tiba-tiba.

"Kau yakin?" Serra menatapku dalam, menunjukkan keyakinan kuat yang terpancar dari matanya. Kali ini aku bisa apa? Ya, tidak ada pilihan lain. Pada akhirnya aku pun hanya mengangguk sebagai jawaban.

Serra tersenyum tipis melihat persetujuanku, lalu ia bangkit dan berdiri di samping Andrew. Kami menunggu hal yang akan dilakukan oleh wanita itu. Aku yakin jika keputusan ini sudah dipertimbangkan dengan baik. Ia pasti memiliki sebuah pemikiran yang akan menjadi tolak ukur dalam rencana ini.

"Aku memiliki sebuah syarat."

Tentu! Itulah Serra yang kukenal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro