File 2.1.1 - After a Coma, Grade Promotion Awaits

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"AKHIR-AKHIR ini kami perhatikan kamu bahagia sekali, Jolly. Ada kabar bagus, ya? Padahal biasanya kamu selalu murung."

"Itu benar, Jolly! Lalu, bukannya kamu tidak pernah lagi membawa bekal karena tak ada yang memasakkanmu makanan? Kenapa belakangan kamu selalu menenteng bekal? Apa kamu sudah punya pembantu baru?"

Anak lelaki yang mereka panggil Jolly, menoleh dengan semangat. Senyumnya terbit. "Apa ketebak banget ya aku sedang senang?"

Dua temannya mengangguk cepat. Bahkan kucing pun tahu kalau Jolly menunjukkan aura hiperaktif yang kental dan meruncing-runcing. Dia sudah ceria seperti itu seminggu penuh.

"Kalau begitu ayo ke rumahku nanti siang!"

"Hee... ke rumahmu yang seperti istana itu? Tak mau ah. Kami sudah terlalu sering main ke sana. Paham arti insecure tidak? Lagian di sana sepi. Tidak ada pelayan yang mau diajak bermain. Mereka cuman mau main sama Tuan Muda mereka saja. Tak peduli sama tamu."

"Jangan begitu dong! Aku jamin kunjungan kali ini takkan membosankan kalian. Mau ya, Zeehan, Galina? Aku akan menyiapkan cemilan dan mainan sebanyak mungkin untuk kalian!"

Mereka berdua saling tatap, tidak tega menolak undangan Jolly yang memelas. Baiklah. Zeehan dan Galina mengangguk. Semoga benar kata Jolly, kunjungan hari ini tidak monoton seperti sebelum-sebelumnya.

Waktu pulang anak-anak sekolah dasar memang lebih cepat, sekitar jam 9-10 pagi. Itu pun jam 10 sudah paling lama.

Tidak mau menafikan janji yang mereka buat, Zeehan dan Galina menemani Jolly ke kantor guru untuk menyerahkan buku-buku tugas murid mengingat Jolly itu ketua kelas.

"Jadi, kan?" Galina bersedekap.

"Jadi dong!" Jolly merangkul bahu kedua temannya itu, berjalan gontai. Mereka menyusuri selasar kelas. "Ayo kita pergi!"

Jemputan Jolly datang beberapa menit kemudian. Mereka pun naik ke dalam mobil. Zeehan sempat melirik wajah si sopir lewat kaca spion. Eh? Jolly menukar sopirnya? Yah, mungkin karena sopir sebelumnya sudah tua. Tidak bisa berkendara dengan laik lagi.

Dan sampailah mereka ke kediaman Jolly, bangunan dua lantai dengan belasan jendela. Belum arsitektur lanskapnya yang membuat rumah itu terlihat berkelas dibanding belasan gedung kantor yang menghiasi horizon.

Seharusnya mereka akan pindah ke buggy car, namun karena Zeehan dan Galina bukan tamu yang pertama kali ke sana, mereka tak perlu repot-repot turun dari mobil sedan.

"Ah, tidak ada yang berubah dari rumah ini."

"Benar, benar." Galina mengangguk.

Mereka pun akhirnya tiba di depan rumah. Jolly turun dengan semangat. "Ayo guys!" Hmm, atau mungkin dia kelewat antusias?

Zeehan dan Galina turun dari mobil. Ikuti alur sajalah. Mereka senang melihat teman mereka sudah kembali berseri-seri kayak dulu.

Pintu depan perlahan terbuka. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Tuan Rumah. Dua orang berdiri di depan pintu, tersenyum. Yang satunya wanita, satunya lagi pria.

"Mama! Papa!" Jolly berseru.

Deg! Lain lagi dengan reaksi teman-temannya yang tiba-tiba membeku di tempat. Seolah ada lempeng magnet menarik kedua tapak kaki mereka hingga berhenti melangkah.

Jolly melompat ke arah ibunya. Beliau segera menangkap tubuh Jolly, mengendongnya. "Sudah pulang, Sayang? Ah! Mereka berdua pasti sahabatmu, kan? Selamat datang, Nak Zeehan, Nak Galina. Kami sudah dengar banyak tentang kalian dari putra kami."

Mereka masih gemetaran, namun tetap menjawab sopan. "S-selamat siang, Tante."

Zeehan memulai keganjilan lebih dulu. Dia menyikut lengan Galina. "A-apa kamu memikirkan hal yang sama denganku?" bisiknya dengan suara bergetar. Ketakutan.

"S-sepertinya iya." Galina pucat pasi.

Bagaimana mungkin? Bukannya orangtua Jolly kecelakaan dan meninggal sebulan lalu?

-

*****DETECTIVE WATSON SEASON 3*****

Rasanya Anjalni Adine ingin berhenti menjadi guru karena ketegaan semua rekannya. Paling tidak, kirim dua guru kek. Ini cuman Anjalni sendiri diutus ke Rumah Sakit Atelier, mengadakan ujian private dengan salah satu murid Madoka yang sedang dirawat inap.

Awalnya Anjalni menolak tegas tentang gagasan 'Ujian Kenaikan Kelas (UKK/PAS) Pribadi'. Bukankah itu sangat tidak adil bagi murid-murid yang lain? Mereka sudah susah payah ujian di sekolah, lah anak ini, justru guru yang mendatanginya. Apa banget coba.

Sayangnya Anjalni tidak berdaya melawan keputusan sekolah. Dia hanya guru baru yang belum punya banyak pengalaman di Madoka Senior High School. Bahkan kepsek, dewan guru dan dewan siswa memberi perlakuan khusus pada siswa bernama 'Watson Dan' ini.

Didengar dari desas-desus, katanya siswa ini habis koma selama satu bulan karena suatu insiden. Makanya dia diberi pengecualian, ujian susulan dan bersifat private. Huh! Anjalni ingin tertawa dengan ketidakadilan kepsek.

"Siapa yang bisa menghadapi kekuatan orang dalam? Watson Dan itu pasti punya koneksi dengan komite sekolah. Aku paling benci sama murid seperti itu!" gerutu Anjalni masuk ke lift. Dia telah diberitahu murid Watson Dan berada di kamar 909, lantai sembilan.

Kotak lift melesat ke atas.

"Yang paling tidak kupercaya, sombong sekali bocah bernama Watson Dan itu! Memintaku langsung membawa soal ujian kedelapan mata pelajaran. Astaga! Ini kali pertama aku berjumpa murid yang sangat besar kepala."

Ting! Lift sudah sampai di lantai yang Anjalni tuju. Wanita itu pun keluar dengan sungutan. "Apa dia pikir dia bisa menyelesaikan delapan mata pelajaran inti dalam sehari? Arogan sekalipun juga punya batas!" Mulutnya tak mau berhenti menceloteh, mengomeli Watson.

Tak sulit menemukan kamar 909 untuk seseorang yang menerima sertifikasi guru. Mengambil napas dalam-dalam, Anjalni pun memutar gerendel pintu. "Mari kita lihat berandal bernama Watson Dan. Dia pasti di-opname karena perkelahian dan tawuran!"

Klek! Bruk!

Baru saja Anjalni membuka pintu, penghuni kamar terjatuh ke lantai. Watson sedang terapi jalan menggunakan tongkat walker. Karena dia berbaring sebulanan, tubuhnya tidak bisa simsalabim langsung sehat.

Bahkan sekarang, sangat sulit berjalan walau hanya selangkah. Kabar baiknya, Watson sudah bisa menggunakan kedua tangannya.

"Haah. Aku terlalu menganggap remeh," gumam Watson kesal, akhirnya menotis keberadaan Anjalni yang mematung. "Miss Adine, anda sudah datang... Maaf membuat anda melihat kondisi saya yang menyedihkan."

Menggelengkan kepala, Anjalni pun bergegas membantu Watson, mengantarnya kembali ke ranjang. "Apa yang kamu lakukan, heh?"

"Saya bosan di sini (rumah sakit), ingin cepat-cepat keluar. Maaf telah merepotkan anda, Miss Adine. Anda pasti tokoh sibuk tetapi harus menjadi pengawas ujian saya."

Apa ini? Anjalni mengerjap. Eh, hei, sepertinya Watson Dan tidak seperti yang dia bayangkan... Atau mungkin cuman topeng untuk menutupi jati dirinya anak geng?

"Tidak masalah." Anjalni berkata tegas, membuka dokumen dengan stempel 'Rahasia Milik Negara', melepas segelnya. "Kalau begitu bagaimana kita sudahi basa-basinya dan memulai ujian? Kamu tidak berniat membuat saya berada di rumah sakit seharian, kan?"

Watson menggeleng pelan. "Tidak kok, Miss," katanya datar. Siapa juga yang mau lama-lama? Dia pun membentangkan meja.

"Jadi, kamu mau mulai dari mana?"

"Miss bisa menyerahkan kedelapan soalnya kepada saya dan tinggal duduk santai," ucapnya mengambil sehelai HVS—mungkin untuk kertas pencari—dan bolpoin. "Saya tak punya ponsel ataupun kalkulator. Anda tidak perlu khawatir saya akan berbuat curang."

A-apa katanya? Anjalni tersenyum jengkel. Siswa di depannya itu benar-benar sombong!

"Oke. Saya akan mengawasimu tepat di depanmu. Kedapatan melakukan pergerakan aneh sedikit saja..." Anjalni melemparkan tatapan intimidasi pada Watson yang hanya diam menatapnya datar. "Kamu tahu apa yang akan terjadi. Bersiaplah tinggal kelas."

Menarik. Cowok itu menekan ujung bolpoin. "Saya akan menyelesaikannya begitu anda menamatkan sisa bacaan novel anda, Miss," ujarnya mulai mengeluarkan soal ujian.

Hm? Anjalni mengernyit. Bagaimana Watson bisa tahu dia habis membaca? Diliriknya tasnya yang terbuka. Sebuah novel mengintip dari sana. Dia pasti asal menebak barusan.

Anjalni membelinya lusa lalu. Novel romansa dengan tebal 136 lembar. Dia sudah mengangsur membacanya semalam sampai halaman 100, berarti sisa 36 halaman lagi.

Lalu, apa kata bocah itu? Watson akan menyelesaikan kedelapan ujiannya saat Anjalni menuntaskan bacaan novel? Aha, dia meremehkan kecepatan membaca Anjalni rupanya. Wanita itu tersenyum miring. "Baik. Sepertinya kedengaran menantang."

Ruangan itu langsung senyap bak kuburan. Hanya terdengar suara balikan halaman dan pulpen yang beradu kertas. Watson dan Anjalni sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Hingga Anjalni menutup novelnya, menghela napas muram. Dia terbawa oleh alur novel, tidak sadar 35 menit sudah berlalu.

Saat menatap ke depan, Anjalni melihat Watson sudah rebahan memakan apel. Hah? Apa yang anak itu lakukan di sela-sela ujian?!

"Kamu pikir saya akan bersikap lunak padamu mentang-mentang kamu sedang sakit?"

"Ah, maaf Miss. Anda terlalu fokus membaca, saya tidak mau menginterupsi. Semua ujiannya sudah saya selesaikan 25 menit lalu."

Terkejut? Tentu saja. Masing-masing soal ujian ada 20 buah lho. Belum lagi matematika (cuman 10 soal). Tunggu... Anjalni melotot melihat kertas HVS yang tergeletak di meja kecil masih bersih mengkilap. Tidak ada coretan rumus atau hitungan sama sekali.

Bibir Anjalni melengkung senyuman pasrah. Oh, dia tahu sekarang. Anak ini pasti hanya sembarang menjawab, tidak membaca soal, tidak niat. Anjalni tahu ini akan terjadi.

"Ckckck, anak zaman sekarang." Anjalni geleng-geleng kepala, memasukkan lembar jawaban Watson ke dalam tas. "Merusak bangsa. Mau jadi apa kamu dewasa nanti? Ya sudah, saya permisi. Nikmati waktumu."

Klep! Pintu kamar tertutup.

"Guru yang aneh," gumam Watson.

-

Anjalni tiba di rumahnya pukul delapan malam, merebahkan tubuh ke kasur. Hari ini capek banget. Harus mengurus angkatan baru, mengatur murid-murid yang naik kelas, belum lagi ditutup dengan si sombong Watson Dan.

Drrt! Ponselnya berdering. Dari wakepsek.

"Ah iya, Buk. Ada apa?"

[Bagaimana tugasmu? Sudah selesai?]

"Sudah, Buk. Dia menyelesaikan kedelapan ujiannya hanya dalam waktu 25 menit. Hebatnya," kata Anjalni tertawa sarkas.

[Aku bilang juga apa. Jawabannya tak perlu diperiksa. Besok, bawa itu ke kantor dan siapkan rapor kenaikan kelas Watson Dan.]

Anjalni sontak bangun. "Apa? Tidak perlu dicek? Buk, saya tidak bisa menerimanya. Ini adalah UKK. Mau seberapa besar pengaruh murid itu bagi sekolah, kita tak bisa asal—"

[Kamu masih belum mengerti juga, Adine? Bahkan setelah bertemu langsung dengan orangnya? Anak itu seorang monster.]

Anjalni benar-benar tidak mengerti, mengapa guru-guru menyerah dengan Watson Dan, si anak berandalan itu. Jangan-jangan dia mengendalikan sekolah dengan uang? Sialan!

Mau tak mau Anjalni duduk di kursi, mengeluarkan kacamata dan kunci jawaban dari Departemen Pendidikan, mulai memeriksa hasil ujian Watson. Lihat saja! Akan Anjalni buktikan, murid-murid yang memakai kuasa keluarga takkan memiliki masa depan cerah!

Tetapi... Huh? Eh, kok, aneh sekali. Anjalni memperbaiki posisi kacamatanya, berkeringat. Apa-apaan ini? Kenapa tidak ada satu pun yang salah?? Bahasa, Science, bahkan matematika. Jawabannya benar semua!

Anjalni menelan ludah. "P-perfect score..."

Siapa anak itu sebenarnya? Tanpa basa-basi Anjalni mengeluarkan laptop, mencari tahu. Dia langsung bangkit. Berbinar-binar kaget.

Watson Dan. Salah satu pendaftar akademi elit Alteia yang lulus dengan nilai tertinggi.

-

Watson memandang datar Kota Moufrobi yang entah kenapa sangat cantik ketika malam tiba. Tangannya meraba perut, meringis mengingat sekelebat memori pelaku yang membuatnya terbaring koma satu bulan.

Sensasi sakit itu menghilang karena Watson tiba-tiba teringat Anjalni. Dia tersenyum tipis. "Aku suka guru yang berpendidikan." Dia menghela napas. "Seharusnya tadi aku menyalahkan satu dua atau tiga soal, tapi aku terlalu semangat dan menjawab serius."

Alasan mengapa kertas HVS yang dilihat Anjalni kosong melompong, karena Watson tidak menggunakan itu untuk mencari hasil jawaban, melainkan di dalam otaknya.

"Apa yang membuatmu tampak antusias, Nak Watson?" Dokter penanggung jawabnya masuk ke dalam ruangan. Sudah waktunya untuk Sherlock Pemurung itu tidur.

"Yah, tidak ada yang spesial, Dokter Elione. Saya hanya merasa kehidupan kelas tiga saya akan menarik. Jadi tidak sabar sekolah nih."

"Semangat remaja, ya? Kalau begitu istirahatlah supaya kamu cepat pulih."

"Oh, iya." Watson mengulurkan beberapa kertas portofolio yang berisi tulisan sekaligus gambar. "Ini. Anda akan mengadakan seminar tentang Aneurisma Aorta Abdominal, kan? Saya membuat materi sendiri. Mana tahu bisa berguna untuk presentasi anda."

"Astaga, Nak Watson..." Beliau terkekeh. "Aku tidak tahu harus bilang apalagi padamu. Padahal sudah kusuruh istirahat. Tapi, terima kasih untuk ini. Kamu menulisnya dengan gaya khasmu, ya. Pandanganmu unik sekali."

"Aku hanya sedikit bosan." (*)







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro