File 2.1.2 - Get Out of The Hospital

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seminggu kemudian...

"Dan! Selamat pagi! Lho? Kamu sudah berkemas rupanya. Semangat sekali, ya."

Siapa yang tak semangat akhirnya keluar dari rumah sakit usai (dipaksa) beristirahat dan terapi selama setengah bulan. Ditambah Sherlock Pemurung itu kini kelas tiga. Tak mungkin dia melewati hari-hari yang 'menyenangkan' di gedung putih bau obat.

"Tubuhku sudah segar. Walau masih belum bisa berlari sih." [Watson Dan, 17 tahun.]

"Benar, benar. Kusarankan jangan langsung beraktivitas berat sesudah ini. Kamu harus banyak istirahat." [Hellen Stern, 18 tahun.]

Lagi? Cowok itu menghela napas panjang. Entah sudah berapa kali dia mendengar kata-kata itu dari perawat dan Dokter Elione. 'Kamu harus banyak istirahat, Watson! Jangan gunakan otakmu dulu. Jeda dulu jadi detektif!' dan lain-lain sampai lelah hayati.

"Sini, biar aku saja yang bawakan kopermu. Easy itu mah." [Jeremy Bari, 18 tahun.]

Belum juga Watson mengiyakan, Jeremy merebut barang angkutannya lebih dulu. Mungkin Jeremy terlalu kuat atau isinya terlalu sedikit sampai-sampai dia hanya butuh satu tangan untuk mengangkatnya.

"Aku yakin itu berat." Watson teringat ada 8 buku kamus bahasa Jepang. Dia sedang tertarik menguasai bahasa vvibu, ehJepang.

"Jangan khawatirkan Jeremy, Dan. Dia sudah legal tahun ini. Otot bisepnya telah terbentuk sempurna." [Aiden Eldwers, 17 tahun.]

Oh, benar juga. Berbeda dengan tubuh kurus kerempeng miliknya, Jeremy kan punya badan laki-laki normal. Mengingat fakta itu sedikit membuat Watson sensitif.

Tunggu sebentar. Watson menatap Aiden intens. Dia baru sadar sesuatu. "Eh, kamu potong rambut?" Tidak ada lagi rambut emas sepunggung. Hanya tersisa sebahu. 

Aiden cengengesan, memainkan anak poni. "Terlihat aneh, ya? Aku sudah gerah dengan rambut panjang, hehe." Seolah Aiden dan Hellen bertukar tempat. Giliran Hellen yang berambut panjang dan dia yang pendek.

"Tidak, justru—" cocok untukmu. Watson berdeham kikuk. Tak berani mengutarakan dua kata itu, memilih memendamnya.

"Anu... Om Beaufort sudah menunggu di parkiran." [Dextra Chouhane, 16 tahun.]

"Akhirnya ketua klub detektif keluar juga dari tempat pengap ini! Haruskah kita buat pesta?" [Kapela Panzanina, 16 tahun.]

Aduh, pesta? Bukankah Kapela yang paling tahu kalau Watson benci dengan suasana riuh? Sekali lagi, belum sempat Watson membuka mulut guna menolak tawaran itu, sosok terakhir masuk ke kamarnya. Surai pinknya diembus oleh AC di dinding.

"Mending kita ke restoran saja. Watson pasti muak makan makanan rumah sakit. Bukan begitu?" [Saho Shepherd, otw 19 tahun.]

Sherlock Pemurung itu mengerjap pelan lalu mengangguk. Saho benar. Makanan rumah sakit tidak seenak makanan di luar.

"Sudah selesai?" Beaufort a.k.a paman Watson, datang dengan rambut basah. Napasnya tersengal, habis terburu-buru.

"Lho, ada apa sama rambutmu, Om? Bukankah hari ini cerah?" Lalu tadi Aiden lihat Beaufort masih dalam keadaan kering. Sepanjang perjalanan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Ramalan cuaca pun bilang hari ini 90% panas. Persentase yang tinggi.

"Paling kran air wc macet dan nyemprot wajah Paman pas lagi cuci muka," cetus Watson datar. Dia sudah selesai mengemasi barang-barangnya. Kebanyakan cuma buku.

"Kenapa kamu tahu?" Beaufort memicing.

"Oh, tebakanku benar?"

Mereka menepuk dahi. Dipikir Watson baru saja memakai skill detektifnya, rupanya cuman menebak-nebak yang sialnya bingo.

"Sudahlah. Ayo kita pulang."

-

*****DETECTIVE WATSON SEASON 3*****

Sudah berapa lama Watson tidak ke sekolah? Dia selalu sibuk bekerja menangani kasus di luar kota/daerah lalu berada di rumah sakit karena koma selama satu bulan. Apa pun itu, intinya si Sherlock Pemurung kangen dan merindukan suasana sekolah. Kelas tiga cuy!

Tidak ada banyak perubahan dari bangunan Madoka Senior High School. Bedanya dulu lapangan sepi, namun sekarang ramai oleh murid-murid kelas satu baru yang tengah menjalani progam MOS. Benar, angkatan kelas tiga lulus saat Watson masih koma.

Eh... Kalau begitu bangku Ketua Dewan Siswa kosong dong karena Apol sudah pergi?

"Sebenarnya hanya Dan yang cocok menggantikan posisi Ketua Apol, tapi dia tidak bisa karena kita sudah kelas tiga."

Aiden benar. Hellen tidak punya bayangan siapa yang bisa mengganti Apol menjadi Ketua Dewan Siswa selain si suram Watson.

Tidak seperti saat mereka masih kelas satu dan dua, antara Aiden menyuap kepsek atau memang diberkahi dewi keberuntungan, anggota klub detektif satu kelas. Watson, Aiden, Hellen, dan Jeremy. Malangnya Saho diletakkan di kelas paling akhir, 3-F.

Dengar-dengar Kapela dan Dextra juga berada di kelas sama, 2-E. Baguslah. Kalau ada panggilan kasus, kan jadi mudah.

"Jadi, siapa wali kelas kita?" tanya Watson, mencoba mencairkan suasana yang menurutnya agak canggung. Anak-anak di kelas memperhatikannya sambil bisik-bisik.

Mereka kenapa sih? Aku kan sudah mandi. Apa ada yang salah dengan rambutku? Sherlock Pemurung itu salah tingkah tak jelas karena dipandangi seakan dia teroris.

"Umm... Itu..." Aiden dan Hellen saling tatap.

"JEREMY BARI!" Suara bentakan tersebut menggelegar ke langit-langit kelas, efektif menghentikan kegiatan murid-murid yang masih bermain ponsel. Mereka terperanjat, segera menyebar, duduk rapi di bangku.

Eh? Watson memasang telinga baik-baik. Sepertinya dia kenal cetakan suara ini...

"Bukankah sudah saya bilang seragam tidak boleh dikeluarin? Itu peraturan nomor satu. Cepat masukin atau kamu berdiri di lorong."

"Ehhh." Jeremy bersungut-sungut. "Kalau dimasukin ke celana, kayak culun Miss—"

"JANGAN MEMBANTAH!"

"Baiklah! Baiklah!" Jeremy menyerah, tidak mau berdebat lagi. Dia segera memasukkan seragamnya ke dalam celana, melangkah masuk ke kelas sambil mengomel, duduk di sebelah Watson. "Apes banget kelas kita. Kenapa harus dia sih yang ditunjuk? Sial."

Anjalni Adine, guru aneh yang bertugas untuk ujian pribadi Watson beberapa waktu lalu. Bibir Detektif Muram itu melengkung membuat senyuman tertarik. "Hee, jadi wanita itu yang akan jadi wali kelas kita."

"Wataknya benar-benar keras, Dan. Beliau juga lah yang melarangku untuk tidak menghiasi rambut lagi. 'Dilarang membawa alat kosmetik! Kita ke sekolah mencari ilmu, bukan untuk pamer penampilan!' Begitu katanya. Padahal aku hanya memakai pita..."

Puk! Puk! Hellen mengusap-usap punggung temannya itu. Aiden sudah hobi menggayai rambutnya sejak masih kecil. Makanya dia selalu galau tiap datang ke sekolah sebab tidak ada manik-manik tersunting di kepala.

"Itu yang di belakang mau sampai kapan mengobrol, hmm?" Anjalni menatap tajam.

Punggung Aiden dan Hellen langsung tegak, cengengesan minta maaf. Tidak mau berisik, Watson ikut memperhatikan ke depan. Pantasan atmosfer di kelas sedikit tegang. Wali kelasnya saja segalak dan sekiller ini.

Tapi ini akan menarik. Watson menyukai ketenangan dan keheningan. Baru pertama kalinya Watson menyukai sekolah.

"Saya akan mengambil absen."

Seperti biasa, nama Aiden terletak di nomor absen satu. Lalu ada empat murid yang berhuruf A di bawahnya. Tangan demi tangan terangkat begitu nama mereka dipanggil, termasuk Hellen dan Jeremy.

"Watson Dan."

Ketika nama Watson disebut, baik Anjalni dan penghuni kelas, serempak menatapnya yang santai mengangkat tangan. Apa? Kenapa? Watson tidak pakai tangan kiri kok.

"Sepertinya kamu sudah pulih. Turut senang mendengarnya," kata Anjalni menutup buku absen. Nama Watson adalah nama terakhir.

Iyalah? Lantas kenapa intonasi suara dan mimiknya tidak sinkron? Watson menghela napas. Sepertinya Anjalni menaruh dendam padanya soal UKK waktu itu. Seharusnya Sherlock Pemurung itu menahan diri.

"Sebelum mulai belajar, ada yang ingin saya sampaikan. Hari ini kita kedatangan murid baru dari New York. Tolong baik-baik dengannya sebab dia payah bersosialisasi dan berinteraksi. Saking tertutupnya, anak ini homeschooling selama dua tahun."

Huh? Kayak kenal situasi ini deh. Aiden, Hellen, dan Jeremy menatap Watson yang mengerjap bingung. Kok mirip...?

"Masuklah," suruhnya.

Seorang remaja perempuan berambut hitam kusut melangkah masuk ke dalam kelas dengan kepala tertunduk. Sebuah rambut antena melentik dengan lucu. Kaum Adam gemas ingin menyentilnya.

Tubuh Watson menegang. Aiden, Hellen, dan Jeremy membulatkan mata. Apa-apaan?!

"Dia akan bergabung dengan kalian setahun ke depan. Saya harap kalian bisa berteman akur dengannya. Perkenalkan dirimu."

Perempuan itu mengangkat kepala, menyihir seisi kelas. Tak terkecuali Watson. Dia berbinar-binar tak percaya. Apa—

"Namaku Michelle Dan. Salam kenal. Aku adik kembarnya Watson Dan," katanya datar, menatap lurus ke arah pemilik nama.

Garis wajah yang sama, berkulit putih susu, rambut hitam legam, bola mata biru langit. Bedanya Watson laki-laki, sedangkan dia perempuan. Kembar identik beda gender.

Brak! Watson seketika bangkit dari kursi, memandang syok Michelle yang sangat mirip dengannya. Seperti pinang dibelah dua. Benar-benar cuman beda kelamin saja.

Kembar? Omong kosong apa itu?! Watson kan anak tunggal. Lalu kenapa ada gadis berwajah sempurna mirip dengannya?! (*)





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro