File 2.1.6 - You Will Forget When You Wake Up

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada apa dengan wanita paruh baya ini? Apa yang dia pikirkan? Memukul dan memaksa klub detektif untuk menemukan anaknya? Dipikir mereka mau apa usai dibegitukan. Apa pun itu, Ibu Raia tak berpikir jernih saat ini.

"Dan, kamu tidak apa-apa?" tanya Aiden kentara khawatir. Bagaimana tidak, Ibu Raia telak memukul perut Watson yang terluka.

"A-aku baik-baik saja, jadi berhenti mengelus perutku." Watson mendesis malu. Tindakan Aiden seperti seorang suami yang tidak sabar buah hatinya keluar dari perut buncit si istri. Untung tidak ada yang memperhatikan kejadian kecil itu. Hellen, Jeremy, dan Dextra masih hadap-hadapan dengan Ibu Raia.

"Sori!" Aiden menarik tangan, cengengesan.

Baiklah. Bagaimana sekarang? Ibu Raia tidak bercanda mengancam mereka. Sampai berani mengangkat senjata, sepertinya beliau sangat putus asa putrinya menghilang dalam konteks pupusnya harapan untuk memuaskan hasrat keinginannya: memasuki Raia ke universitas.

Haruskah Watson menyuruh Jeremy untuk mengatasi beliau? Aduh, tidak deh. Gerakan beliau dalam memukul terlihat mulus dan alami. Tampaknya dia profesional. Jeremy bisa terluka. Bagaimana jika kepalanya yang kena?

"Kalian tidak boleh keluar sampai putriku—"

Duk! Suara tendangan itu memotong celoteh beliau. Huh? Mereka menoleh ke pintu yang bergetar. Ada yang datang? Tapi kan Watson belum melakukan apa pun seperti menelepon polisi atau menghubungi budak... maksudnya Inspektur Angra. Jangan-jangan Ayah Raia.

"Aku bilang buka pintu ini!"

Duk! Engsel pintu terlepas. Alhasil daun pintu rebah ke lantai. Ibu Raia segera menyingkir supaya tidak tertimpa, menutup mata yang silau oleh cahaya matahari menyengat. Pun Watson dan pasukannya. Seseorang berdiri di teras rumah dengan tampang garang.

"Miss Anjalni?!" pekik Jeremy. "Anda dat—"

Sebagai jawaban, Anjalni memelintir telinga Jeremy. "Berani-beraninya kalian absen di jam terakhir, heh?! Aku tidak peduli kalian dari detektif terkenal atau apalah, kalian hanya murid-murid nakal yang berdalih menangani kasus padahal aslinya membolos. Astaga, kalian bahkan memengaruhi adik kelas!" serunya menatap Dextra yang kebingungan.

Anjalni berkacak pinggang. "Ini sudah terlalu banyak. Kesalahan besar ini tidak dapat ditoleransi. Saya akan memanggil orangtua—"

"Bagaimana Miss bisa tahu kami ada di sini?" sela Watson di tengah-tengah kemarahan Anjalni. Sungguh, bernyali sekali cowok itu.

Anjalni tergelak. "Ini dia, ketua pintar yang menyesatkan teman-temannya. Ketua pintar yang berani memotong kalimat gurunya. Sepertinya kamu tidak punya rasa hormat terhadap orang-orang yang dewasa darimu."

"Women. Anda yang sesensitifan, kenapa jadi saya yang disalahkan? Anda lihat sendiri, kami sudah mau pergi namun Ibu Raia, calon kandidat Dewan Siswa, mengurung kami."

Akhirnya atensi mereka kembali ke Ibu Raia yang bertahan dengan posisinya. "Siapa kamu, heh? Guru Madoka? Kamu tidak boleh membawa anak-anak ini pergi! Mereka harus mencari dan menemukan anakku. Hanya Raia yang bisa kuandalkan. Hanya putriku."

Watson terkekeh, sarat akan kemenangan.

"Nyonya, walau anda seorang wali murid, tak bijak melakukan tindak pemaksaan pada remaja. Apa anda mau saya melaporkan ini?"

Ibu Raia menggeram. Tidak menjawab.

-

*****DETECTIVE WATSON SEASON 3*****

"Kira-kira beliau mengidap apa ya sampai beringas begitu. Didengar dari ceritanya, beliau tampak berambisi memasukkan Raia ke Fantasiana. Apa itu pertanda sindrom, Len?"

Setelah Anjalni sukses membungkam Ibu Raia, mereka berlima mengendap kabur dari sana tetapi tertangkap basah oleh Anjalni. Terpaksalah tim detektif Madoka kembali ke sekolah menumpang dengan mobil Anjalni.

"Hmm, aku rasa itu PPD." Hellen menjawab.

"PPD? Eh, Postpartum Depression (depresi yang terjadi setelah melahirkan)?" celetuk Jeremy dan Dextra dengan binar mata polos.

"Bukan!" sergah Hellen menepuk dahi.

"Paranoid Personality Disorder maksudmu?" cetus Anjalni di bangku depan. Watson duduk di sebelahnya, diam menyimak. Narkolepsinya mulai kambuh. Matanya sudah terbuka tertutup sejak mobil bergerak mulus ke tol.

"Nah, iya! Itu maksudku, Miss! Wah, rupanya Miss Jalni punya bakat juga dalam detektif."

"Tidak. Saya kebetulan tahu," katanya datar.

Jeremy mencibiri Hellen yang merungut sebal dibalas cuek oleh Anjalni. Cih, guru killer! Harusnya Hellen diam saja meniru Watson.

Merasa ada yang kurang dari huru-hara di dalam mobil, Anjalni menoleh ke samping. Kepala Watson terjatuh-terangkat lima kali, susah payah mempertahankan kesadaran. Kalau urusan siapa kepalanya yang terbuat dari batu, maka Watson lah pemenangnya.

"Ada apa denganmu, heh?" Anjalni memicing. Padahal beberapa menit lalu Sherlock Pemurung itu tampak bugar, kini mengantuk. Jangan-jangan ini taktik untuk meluluhkan atau mengecoh Anjalni? Anak yang licik.

"Itu Michelle, kan?" gumam Watson setengah sadar. Dia menoleh ke Anjalni. "Yang memberitahu alamat kami, Michelle kan? Aku sepertinya terlalu meremehkan mubar itu."

"Bagaimana kamu tahu?" Anjalni tertarik. "Apakah ini semacam telepati antar kembar?"

"Aku detektif, tidak, fans Holmes. Aku bisa mengetahui apa pun jika aku punya keinginan dan niat untuk melakukannya. Begitulah. Lalu, dia bukan kembaranku. Aku tunggal. Dia hanya olok-olok. Menyamar. Operasi wajah."

Bahkan sudah melantur begitu, dia masih saja menolak fakta. Dasar Sherlock Tsundere. Demikian isi hati Aiden, Hellen, dan Jeremy.

"Aku tidak tahu apa masalah kalian, tapi perhatikan juga perasaannya. Aku dengar kalian dipisahkan sejak kecil. Kamu amnesia dan melupakan memori tentangnya. Dan kini, kamu justru menolak eksistensinya. Kakaknya tidak mengakuinya. Anak itu amat penyabar."

Wanita ini... Kalau saja Watson tidak ngantuk, dia pasti sudah mengajak Anjalni berdebat. Apa peduli Watson dengan Michelle? Dia itu saudara palsu. Dia cuma mencari perhatian.

Menguap, mata Watson yang nyaris terkatup seluruhnya, menangkap sekelebat objek tipis di laci dashboard. Dia memicing, menarik selembar kertas yang tersemat. Itu sebuah pamflet dengan latar bangsawan. Apaan nih?

"Itu kan...!" seru Aiden di belakang, antusias. "Ternyata bukan hanya rumor. Aku pikir hanya isu burung yang dibuat-buat anak kelas dua."

Dextra dan Jeremy melongokkan kepala kepo, mengintip kertas yang dipegang Watson, kecuali Hellen yang bersedekap. Tak tertarik.

Sebelum menyelenggarakan acara kamping bulan depan, Madoka SHS akan menggelar pentas seni yang ditutup dengan pertunjukan 'Sleeping Beauty'. Festival ini berlangsung selama empat hari dan mengundang pelajar dari sekolah tetangga atau di distrik sebelah.

"Benar. Kepala sekolah akan memberitahu arahan tentang acara itu nanti sore dan saya harap kalian tidak kabur lagi," ancam Anjalni, menatap tajam Watson yang mendengus geli.

Lucu sekali. Ada gadis yang harus ditemukan. Bukan waktunya main-main dengan drama. Watson menyerahkan pamflet tersebut pada Aiden yang menggebu-gebu bersama Dextra, memilih memandangi jalan raya. Termenung.

Dia tak sadar, rasa kantuknya sudah hilang.

"Kak Aiden pasti cocok jadi pameran Aurora!" cetus Dextra berbinar. "Kakak kan cantik."

Aiden tersipu malu, menyiku (tidak, itu bukan sikutan melainkan sebuah tabuhan) lengan Dextra yang mengaduh. "Apa sih! Biasa saja."

Sebenarnya Dextra mau mengeluh akan pukulan Aiden yang sangat bertenaga, namun melihat gadis itu tertawa, dia urung. Dextra tersenyum, senang melihat Aiden semangat.

Watson memperhatikan Aiden dan Dextra lewat ujung mata, menggelembungkan pipi.

Mereka berdua dekat? pikirnya cemberut.

*

Hellen merasakan perbedaan yang gamblang saat mereka tiba di sekolah. Pasalnya, Watson mengeluarkan energi yang tidak biasa. Apa narkolepsinya kambuh? Tidak. Ini bukan sakit tidurnya, tetapi hal lain. Dia lebih ke... galau?

Tidak, tunggu. Kita sedang membicarakan Watson. Mana mungkin Sherlock Tsundere itu bisa galau sama sesuatu yang tak berkaitan dengan kasus. Apa dia masih kepikiran soal Michelle atau hilangnya Raia? Yang mana?

Sebentar... Hellen memperhatikan arah mata Watson tertuju. Anak itu melihat Aiden dan Dextra asyik membicarakan pentas seni yang akan dilaksanakan secepatnya. Ohh, begitu.

Maaf Watson, tapi aku tak bisa membantumu kali ini. Aku ingin kamu belajar peka, batin Hellen, sungkem kepada sang pemilik nama.

Sebenarnya penilaian Hellen tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar. Watson memang terganggu dengan interaksi antara Aiden dan Dextra, tapi ada hal lain yang mengusik pikiran Sherlock Tsundere itu.

Watson mengusap pelan bagian belakang leher yang merinding tanpa sebab, menoleh ke lorong yang cukup ramai oleh siswa-siswi. Belakangan ini, instingnya lebih sensitif dari yang biasa. Apakah efek samping dari koma?

Selama koma, aku merasa aku telah bermimpi panjang. Anehnya, ada sosok Apol di mimpi itu. Apa ini tanda-tanda dunia akan berakhir? Kenapa aku harus memimpikan cecunguk itu?

Hubungan Watson dan Apol saja sudah tidak tertolong. Bagaimana mungkin dia bisa bermimpi yang ada 'Apol'-nya? Tampaknya ada yang salah dengan otak detektif satu itu.

"Kamu akan lupa setelah kamu bangun."

Huh? Watson menoleh ke Hellen yang diyakini tengah heran. "Apa?" tanyanya spontan. "Ada yang ingin kamu katakan, Watson?"

"Apa kamu barusan bicara denganku, Stern?"

Hellen mengernyit. "Tidak kok."

Sepertinya Watson benar-benar lelah hari ini sampai mendengar yang aneh-aneh. Dia mempercepat langkah, melewati yang lain. Watson ingin merebahkan kepala ke meja.

Tentang masalah Raia. Di mana dia sekarang. Misteri hancurnya pertemanan antara Raia dan Hasby. Apa ada hubungannya dengan sifat protektif Ibu Raia. Pentas seni. Pemilihan Dewan Siswa tertunda. Acara tahunan kemah.

Sungguh, kelas tiga yang sibuk. (*)







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro