File 2.2.6 - This Time Watson Who Asked Him

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

>Distrik Gumdaral, Jln Maplebloom Blok G3<

"K-kurasa ini bukan ide yang bagus. Kita pergi saja yuk. Perasaanku tidak enak soal ini."

"Takut apa sih? Jika kita lebih dulu menguak misteri rumah yang dirumorkan berhantu itu, subscriber kita bisa meningkat. Kita tidak boleh mundur. Kita harus kalahkan mereka."

"Honja, Eil, bisakah kalian diam? Saat ini kita hanya sekadar melihat-lihat lingkungan rumah itu. Kita akan pergi nanti malam. Hantu takkan muncul di sore yang indah, dasar penakut."

Tersinggung, Eil pun berhenti mengintip dari pagar batu, menoleh. Mereka bertiga berada di luar perkarangan 'Rumah Mistis', mengamati situasi. Halaman rumah tersebut kotor oleh daun-daun yang berguguran dan bertebaran.

"Eh, Rale, kamu harus memperbaiki sikapmu yang sok bossy itu. Kamu lupa aku yang dapat informasi tentang Rumah Mistis dari kakel?"

"Oh ya? Dengan mengorbankan tulangmu?" Eil kicep, menyembunyikan lengan kanannya yang dibebat. "Kamu terlalu terobsesi dengan konten-konten horor, Eil. Lihatlah akibatnya."

"Kamu tahu persis alasannya! Aku butuh uang untuk biaya rumah sakit ibuku! Meski harus cacat, aku harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin demi beliau. Aku takkan menyerah."

Selagi dua temannya berdebat, Honja masih fokus mengintai Rumah Mistis yang besar dan luas. Batinnya bertanya-tanya, kenapa rumah itu tak kunjung terjual. Apa rumor tentang rumah tersebut disarangi hantu ada benarnya?

Sebuah siluet ganjil tertangkap oleh mata Honja. Dia memicing, memastikan sesuatu itu.

Rale mendesah pelan. "Meski demikian, ibumu takkan senang jika kamu mencari uang dengan melukai diri sendiri. Jagalah tubuhmu, Eil."

"Tidak usah mengguruiku deh. Aku yang—"

"G-guys, ada yang k-keluar dari rumah..."

Mereka berdua berhenti adu mulut, sama-sama mengalihkan pandangan ke rumah besar. Sosok itu... tak punya kaki! Ia melayang? Melayang!

"Hei, hei, hei! Cepat rekam! Honja, keluarkan hapemu! Kita tak boleh melewati komen ini!"

Siluet tersebut berhenti bergerak, menolehkan kepala dengan gerakan ala robot. Tangannya menggenggam sebuah kapak yang meneteskan darah. Honja, Eil, dan Rale melotot syok. Mereka langsung membungkuk ketakutan.

"Sial! Wajahnya menyeramkan sekali! Apa semua hantu memiliki rupa yang mengerikan? Tidak, tidak. Apa itu benar hantu sungguhan?!"

"B-bagaimana ini? Ia terlanjur melihat kita. Ia tidak meneror dan menghantui kita, kan?"

"Kalian ini celek, ya?! Apa kalian tidak lihat dia membawa kapak berdarah? Dia pasti habis membunuh seseorang di sana. Ia bukan hantu." Honja buru-buru mengeluarkan ponsel. "Aish! Aku tahu ini akan terjadi. Sejak awal kita membahas rumah mistis sialan ini, perasaanku sudah sangat jelek. Kita harus melapor."

"A-apa yang kamu lakukan, Honja?"

"Permintaan kasus ke klub detektif Madoka."

*

>Kepolisian Metropolitan Moufrobi<

Brak! Pintu ruang Kepala Divisi didobrak kuat. Pelakunya melengos masuk ke dalam tanpa mempedulikan sahutan kaki tangannya.

"Kenapa anda membebaskan pria itu? Dia tersangka pembunuhan artis Eranah Lihi. Anda tidak bisa mengeluarkannya begitu saja."

Kepala Divisi tak lain tak bukan Raum Kaaver, meletakkan cangkir teh ke nampan, duduk bersilang kaki. "Kamu berubah, Angra. Apa karena sering bermain dengan bocah detektif itu, kamu mulai melunak seperti Deon?"

Angra mengernyit jengkel. Raum mengalihkan topik. "Hal ini tidak ada hubungan dengan apa dan siapa pun, Pak. Saya hanya bertanya, kenapa anda membebaskan seorang tersangka pembunuhan, terlebih ikut campur ke kasusku."

"Aku sudah menyuruhmu tutup kasusnya. Tidak ada bukti kuat untuk memenjarakannya. Kamu sudah lihat hasilnya dari forensik, kan? Tidak ada DNA, tidak ada sidik jadi, ditemukan."

"Walau begitu anda..." Angra menghela napas, berdiri menegakkan badan. "Jangan bilang ini karena dia memulihkan nama dan citra anda. Memberi anda jabatan yang lebih tinggi—"

"DETEKTIF ANGRA! TUTUP MULUTMU!"

"Ini peringatan. Jangan ganggu kasusku. Aku paling tidak suka semut kecil sepertimu ikut campur ke masalah yang ku-handle. Jika kamu memakai kekuatan orang dalam, maka aku akan mengikuti caramu. Camkan itu, Pak Raum."

"Si kunyuk sialan ini. Berani-beraninya kamu tidak memakai honorifik padaku. YAK! Kembali ke sini! Berlutut dan minta maaf di depanku!"

Klep! Angra keluar dengan membanting keras pintu ruangan, berdecak. Rekannya, Ingil, sudah menunggunya di lorong. Bagaimanapun yang dikatakan Raum tidak sepenuhnya salah. Tidak ada bukti konkret menjebloskan pria itu.

"Bagaimana? Ada kemajuan?"

Gelengan Ingil membuat wajah Angra semakin merah ingin mengamuk. Ke mana lagi mereka mencari bukti? Tidak. Pertanyaan sebenarnya adalah kenapa tidak ada satu pun bukti di TKP.

"Detektif, bagaimana kalau kita minta tolong ke mereka? Mereka bisa membantu kita."

"Siapa yang kamu maksud?" desis Angra.

"Tentu saja mereka. Klub detektif Madoka."

*

>Toserba Rootax, jam 19.33 malam<

"Oi, Pegawai Paruh Waktu. Aku ada perlu sebentar, bisa kamu jaga toko? Aku akan menghitungnya lembur di gajianmu nanti."

"A-ah, siap, Pak. Terima kasih. Lalu nama saya bukan pegawai paruh waktu, tapi Leysa..." Manajer keluar sebelum Leysa menuntaskan kalimatnya, mengangguk. "Dan dia pun pergi."

Mengedikkan bahu, Leysa mengambil sapu. Dia cekatan membersihkan lantai keramik yang sedikit berdebu hingga terdengar gemerincing pintu tanda ada yang datang. Leysa bergegas menuju meja kasir sebab pembeli itu hanya membeli satu barang... sebuah pisau dapur?

Selagi meng-scan barang belanjaannya, Leysa mengamati pembeli tersebut dari atas sampai bawah. Seorang wanita paruh baya, berpakaian serba hitam, tidak bawa apa-apa (seperti tas).

"Akan kubunuh... Akan kubunuh dia..."

"H-harganya 3 dolar." Leysa berusaha untuk tidak terlihat gugup, pura-pura tak mendengar apa pun. Mungkin dia salah dengar. Hm! Pasti salah dengar! Lagian bibi itu bergumam pelan. Leysa juga tak yakin dengan pendengarannya.

Wanita itu pergi setelah membayar membuat Leysa meloloskan desahan lega. Syukurlah—

"Kurasa aku harus membunuhmu, Nak."

*

>Pursala Senior High School<

"Dia masih berani masuk sekolah setelah menghajar anak penjabat? Dasar muka badak!"

"Dia kan Giris Dhanoa yang tak takut apapun."

"Hei, hei, apa kalian sudah dengar kalau dia dan keluarganya bunuh diri bersama tapi hanya dia seorang yang selamat? Aku yakin itu tipu muslihat. Dia membunuh keluarganya untuk menerima uang asuransi. Dia bukan manusia."

"Karena Giris masih 16 tahun, dia hanya diberi hukuman pendisplinan. Kenapa kota sialan ini melindungi cikal bakal monster sih? Harusnya dia dilempar ke penjara remaja. Baru adil."

Dua sahabat Giris yang melangkah sambil mendengar celotehan murid-murid, menoleh marah. "HEI! Kalian apa-apaan sih? Apa itu kegunaan mulut kalian, mencaci orang?!"

"Kami hanya mengatakan fakta kok. Kalian seharusnya berhenti berteman dengan monster itu, Khansa, Arel. Ini demi kebaikan kalian."

"Kalian yang monster! Para penjilat! Kalian lupa Giris lah yang mengeluarkan kalian dari neraka bernama perisakan? Bisa-bisanya—"

Giris memegang lengan Khansa, menggeleng. "Sudahlah, tidak ada gunanya. Ayo pergi."

Ini keliru. Giris amat menyayangi keluarganya. Pasti ada misteri di balik kematian orangtua dan adiknya. Akel beralih mengeluarkan hape.

Dia mengirim ajuan kasus ke detektif Madoka.

*

Watson merentangkan tangan. "Datang padaku, kasus!" Sherlock Pemurung itu lebih memilih mengerjakan kasus pembunuhan daripada terlibat acara drama sekolah yang konyol.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu pikir kasus muncul segampang itu dari langit? Kembali latihan," tegur Grim mengambil pedang kayu baru untuknya. "Besok pagi-pagi kita joging. Aku akan menjadi mentor olahragamu."

"Ei, ei, ei. Mana boleh begitu, Grim." Jeremy menggelengkan kepala dan jari telunjuknya, mengangkat dagu congkak. "Watson harus belajar ke orang yang tepat yaitu aku, si kuat."

Maksudnya, dia lebih kuat dari Grim? Tanda jengkel tercetak di kening Grim. "Hohoho. Selama keluar dari Madoka, aku berlatih keras lho, Jeremy. Aku bukan Grim yang dulu."

"Oh ya? Siapa yang nanya?"

Grim menatap tak suka. Jeremy menatap angkuh. Aliran listrik memancar di kedua mata mereka. Ini dia, persaingan sejati seorang laki-laki! Bertanding siapa yang paling kuat.

"Kenapa tidak ambil kasus Nesty dan Asta saja, Dan?" usul Aiden teringat mereka.

"Tidak. Selain mereka," tolaknya datar.

Hellen berkacak pinggang. Bukankah Detektif Pemuram sendiri yang bilang, kasus tidak bisa datang semudah itu? Jika iya, jumlah detektif swasta yang pengangguran akan berkurang.

"Sudahlah." Watson mengambil jas almamater sekolah yang tergantung. "Aku mau pulang."

"Lho, lho, Watson? Ini sudah mau jam setengah sembilan malam. Menginap di sini saja. Kami semua berencana menginap di rumah Jeremy."

"Ogah. Rumah sendiri lebih nyaman... Ng?" Watson menatap Asha yang menatapnya cemas.

"Ini sudah malam. Bagaimana jika ada begal?"

Sejujurnya Watson tidak mau berkomunikasi dengan Asha yang membuatnya tak nyaman dari tadi, tapi baiklah. Beliau sudah terlanjur bertanya. Tidak sopan jika Watson membisu.

"Saya ini laki-laki, Nyonya Asha, dan saya sudah dewasa. Saya bisa melindungi diri. Kalau begitu permisi. Sampai besok di sekolah."

"Kak Watson sudah dewasa rupanya? Berarti sudah mimpi basah dong—Pluk!" Sendal yang dikenakan Watson melayang ke wajah Jeremy.

"Coba bilang sekali lagi. Kamu mau kuhajar?"

"Kyaaa!!! Kak Watson main kasar! Tolongin aku, Kak Hellen! Ada detektif yang ngamuk!" Jeremy berlarian kecil ke tempat Hellen.

"Ayolah. Kalian bukan anak-anak lagi..."

Ting! Satu pesan masuk ke hape di atas meja. Ponsel khusus menerima permohonan kasus. Mereka semua diam sejenak. Saling tatap.

"Apa? Apa? Ada kasus yang datang?" Watson batal keluar dari kamar Jeremy. Antusias.

"Sebentar, biar aku periksa—"

Ting! Ting! Ting! Ting! Ting!

Oke, ini tidak lucu lagi. Tak hanya satu pesan, tapi lima. Ting! Bertambah lagi. Ting! Kasus lainnya. Sebelas permohonan kasus membanjiri kotak masuk ponsel Detektif Madoka.

Mereka menatap Watson yang jadi patung.

"Harusnya kamu tidak mengatakan kalimat keramat itu, Watson... Harusnya kami sadar kamu punya magnet yang menarik masalah!"





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro