File 2.4.1 - Don't Cry, Chouhane

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DETECTIVE WATSON SEASON 3

Pukul tiga pagi, saat semua penduduk di Kota Moufrobi masih tidur di rumah, saat festival di Madoka Senior High School hari pertama sudah berakhir, di jalan yang temaram oleh belasan tiang lampu, seorang cowok berjalan sempoyongan.

Remaja laki-laki itu memakai almamater Madoka yang kumal. Sekujur tubuhnya dari atas sampai bawah hanya ada luka lebam bekas pukulan. Compang-camping. Dia bersandar di dinding gang yang dingin, menatap hampa bangunan Madoka.

Adalah Dextra yang dikabarkan absen.

Lusa lalu, dia dicegat oleh korban baru ayahnya yang menyuruhnya mencuri data yang dibuat Tim Manajemen. Kemarin, dia dicegat lagi oleh korban berikutnya. Lalu tadi pagi, bahkan Dextra mengendap pergi ke sekolahnya, namun lagi-lagi berhasil dicegat dan mereka baru membebaskannya setelah puas menghajar anak itu.

Dan semua itu demi ayahnya yang naik jabatan menjadi ketua Tim Pengelolaan Finansial di perusahaan terbesar.

"Aku sudah absen tiga hari... Ketua kelas pasti akan memarahiku. Bagaimana ini?"

Apa yang harus dia lakukan? Dextra ingin pulang ke rumah, namun beberapa jam lagi matahari terbit. Ayah dan ibunya akan terganggu jika dia pulang sekarang.

Seluruh lampu di gedung Madoka telah padam, menyisakan lampu-lampu bagian lobi saja. Kecuali ruang klub detektif. Apa Dextra menginap di sana saja, ya?

Dextra merasa bersalah karena tidak mengangkat panggilan dari Aiden, Hellen, Jeremy, dan Watson, yang kelihatannya genting sekaligus penting. Mereka menyita dan merusak ponselnya. Dextra tidak bisa menghubungi kakak-kakak kelasnya.

Tes, tes, tes.

Tak bisa terbendung lagi, akhirnya air mata Dextra tumpah. Dia terisak sendirian.

Padahal Dextra kan juga ingin menikmati festival sekolah bersama teman-temannya. Kenapa yang dia dapatkan tiga hari berturut-turut adalah pukulan pria dewasa berbadan kekar? Apa salahnya? Dia melakukan itu bukan karena ingin.

Jika dia menolak, ayahnya akan murka. Dextra takut pada beliau yang lagi marah.

"Lho (hik), Chouhane? Kamukah (hik) itu?

Dextra terkesiap, berhenti menangis. Dia mengangkat kepala, menatap ke depan, separuh kaget masih ada orang di sekolah terlebih orang itu merupakan kenalannya.

"K-Kapela? Kamu masih di sini?" Dextra berlarian kecil menghampiri Kapela, sontak menyetop langkahnya sebelum tiba di hadapan gadis itu. Mengernyit. "Bau ini... Astaga?! Jangan bilang kamu minum?!"

Hidung Dextra tidak salah. Mulut Kapela berbau alkohol, pipinya merah, matanya tidak fokus tampak teler. Ini masalah serius. Dia masih 16 tahun alias di bawah umur, kenapa berani meminum miras?

"J-jawab aku, Kapela. Kenapa kamu mengonsumsi alkohol? Itu dilarang--"

Kapela menggeleng beberapa kali sampai rambutnya mengayun ke kiri-kanan. Dia benar-benar sudah teler! "Aku tidak tahu kalau (hik) itu alkohol (hik hik). Setelah konser (hik), aku pergi ke klub untuk (hik) mengambil ponselku yang dicas. Lalu di sana ada (hik) botol minuman tanpa merek dan unik (hik). Karena aku sangat haus (hik) aku pun meminumnya. Begitu..."

"Aduh!" Dextra menepuk dahi. Mau sehaus apa, tak seharusnya Kapela melonggarkan kewaspadaannya seperti itu. Lihat hasilnya, dia jadi di bawah pengaruh entanol.

Lagian, siapa yang meninggalkan alkohol di klub detektif? Tidak mungkin Aiden, Hellen, Jeremy, atau Saho. Lebih tidak mungkin kalau itu Watson. Meski Saho otw 19 tahun dan Jeremy 18 tahun alias sudah legal, mereka tetap seorang pelajar.

Mau tak mau Dextra harus memeriksanya.

"Kamu mau pergi ke mana, Chouhane~! Kok kamu ada dua sih, Hane? Kini tiga... kini lima... Apa mataku mulai bermasalah?

Dextra tidak bisa meninggalkan Kapela di luar dengan kondisi meracau begitu. Dia menghela napas, memegang lengan Kapela.

"Ayo kita ke ruang klub."

*

Benar. Ada sebotol alkohol tidak berlabel di atas meja dan seloki--mungkin dipakai oleh Kapela saat dia meminumnya.

"Siapa yang memberikan ini?" kata Dextra, mengangkat dan menilik botol kaca berwarna hijau gelap itu. Dia menoleh ke cctv di sudut langit-langit ruangan.

Apakah dia akan menemukan jawabannya jika melihat rekaman cctv? Baiklah.

Tapi Kapela lebih dulu menarik bajunya. "Mau ke mana (hik) kamu, heh?" Kapela mendorong Dextra ke sofa. Sebenarnya pas mereka masuk dan Dextra difokuskan cctv, gadis itu mengambil kotak P3K di lemari. "Lukamu harus diobati dulu (hik)."

"Aku tidak apa-apa. Tidak perlu diobati." Lagian besok akan muncul luka baru.

Jengkel tangan Dextra terus bergerak menolak diolesi salep dan betadine, Kapela melepaskan pita rambutnya kemudian mengikat tangan-tangan yang nakal itu.

"K-kok aku diikat?!"

"Duduk diam atau kupukul tengkukmu." Begitu-begitu ayah Kapela seorang polisi. Tentu dia pernah diajari bela diri.

Tidak mau dibuat pingsan, Dextra pun mengunci bibirnya. Dia jadi ragu Kapela sedang mabuk atau sadar, karena... Mana ada orang yang lagi mabuk bisa membalut dan memplester luka dengan rapi?!

"Kalau kamu ada masalah..." Kapela selesai menempelkan plester terakhir. "Jangan sungkan memberitahu Watson. Walau awalnya dia misuh-misuh, pada akhirnya dia tidak bisa mengabaikan adik kelasnya."

"Kenapa kamu seyakin itu?"

"Hmmm... karena itu sudah sifatnya? Dia itu walau genius sebenarnya polos?"

Pfftt! Apa-apaan itu? Kalau Kapela yakin sekali dengan perkataannya, kenapa dia memakai tanda tanya coba.

"Lalu..." Kapela menutup kotak P3K, selesai mengobati Dextra, beranjak bangkit. Dia sadar sepenuhnya. "Jangan menangis lagi. Itu membuat wajah manismu jadi jelek."

"K-kamu memujiku atau meledekku?" bata Dextra, menutupi wajahnya yang merona.

.

.

Besoknya, festival hari kedua dilaksanakan.

Belum juga jam tujuh, para tamu dari sekolah lain mulai berdatangan. Ada yang memakai seragam sekolah mereka, baju bebas, ada juga yang mengenakan kaus couplean dengan sang pacar, dan lain-lain.

Di lorong, Aiden menghela napas panjang karena Watson tidak menjawab telepon ataupun membalas pesannya. Apa cowok itu masih tidur? Anjalni tidak melunak meski Watson sudah menolongnya. Beliau tetap menunjuk Watson memerankan ksatria di drama musikal Sleeping Beauty.

Dan itu akan diselenggarakan besok woi! Mereka harus kembali latihan setelah seharian penuh dipusingkan oleh kasus.

"Hm?" Aiden berhenti berjalan, mendapati sosok Hellen diam di tempat (gerak!) di depan pintu klub detektif. "Hei!" serunya, mendekati temannya yang mematung itu. "Kenapa kamu tidak masuk? Apa ada--"

Ternyata alasan Hellen mendadak cosplay jadi patung adalah... di dalam Dextra dan Kapela sedang tertidur pulas di sofa.

Aiden melotot, menerobos masuk. "Woi! Bangun kalian berdua! Tempat ini bukan sarang cinta kalian! Enak saja kapal kalian berlabuh lebih dulu!" bentaknya dilandasi rasa iri. Watson sih. Tidak peka melulu.

"Hnngg... Kak Aiden? Jam berapa..."

"Itu benar," tambah Hellen, bersedekap. "Tidak adil kalau kalian sudah berlayar."

Mata Dextra terbuka lebar. Dia langsung duduk. "T-tidak! Ini bukan seperti yang Kak Aiden dan Kak Hellen pikirkan...! Aku dan Kapela ketiduran di sini. Lagi pula sudah terlambat untuk pulang semalam."

Dextra menatap Kapela yang ileran, menggoyangkan tubuhnya. "Bangun dong, Pela! Bantu aku menjelaskan ke mereka--"

"Kamu ternyata masih perjaka, Dextra~"

Dan senyap sejurus kemudian.

Rusak sudah citra Dextra. Lihat, muka Aiden dan Hellen seketika gondok. Argh! Kapela kampret! Bukannya bangun dan membantu meluruskan kesalahpahaman, dia malah mengigau tentang hal ambigu.

"K-kamu..." Aiden sedih (yang) dibuat-buat. "Umur masih segitu, tapi sudah agresif. Mukamu tidak mencerminkan nafsumu."

"K-Kak Aiden...! Ini salah paham...!"

"Dia berkata jujur kok, Aiden, Hellen."

Dua gadis itu termasuk Dextra menoleh ke pintu. Adalah Saho. Yes! Penyelamat telah datang. Dia tersenyum simpul. "Semalam ada yang mengirim alkohol misterius dan Kapela tak sengaja meminumnya lalu tidur di sini. Dextra melapor padaku karena kebetulan aku menetap di sekolah."

"Alkohol?" Aiden menoleh ke botol di atas meja. Orang gila mana mengirim miras ke rombongan remaja. "Sudah cek cctv?"

Saho mengangguk. "Tapi cctvnya rusak."

"Apa? Rusak lagi?" Padahal Aiden baru saja mengganti cctv klub ke mode terbaru minggu lalu. Gadis itu memang kaya, tapi bukan berarti dia suka memboros uang.

"Kupikir itu rusak alami--korslet misalnya. Setelah Dextra periksa, sepertinya cctv kita dirusak secara sengaja oleh sosok yang kemungkinan mengirim alkohol itu."

"Hmm, aku mencium sesuatu."

Hellen manyun. "Apa yang kamu cium?"

"Tanda-tanda datangnya kasus baru—"

"Berita buruk!" sembur seseorang dengan napas tersengal memotong kalimat Aiden. Mereka menoleh untuk kedua kalinya. Kali ini yang datang adalah Michelle. Keringat mengalir membasahi kerah seragamnya.

Muka ceria Saho langsung padam.

"Ada apa, Michelle? Aduh, kamu duduk dulu deh. Atur napasmu baru bicara." Aiden menunjuk kursi yang kosong.

Michelle menggeleng, mengeluarkan sapu tangan milik Watson dari saku roknya.

"Kurasa terjadi sesuatu pada Watson."




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro