File 2.4.2 - Apol's Replacement

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DETECTIVE WATSON SEASON 3

Sapu tangan berwarna putih dengan ukiran daun di sepanjang tepinya, lalu ada nama 'Watson Dan' di bawahnya. Benda itu adalah buatan Ibu Watson alias berharga.

Merujuk kain yang ditemukan Michelle sama persis dengan deskripsi di atas, tak pelak lagi, memang terjadi sesuatu pada Watson. Dia tidak mungkin menghilangkan barang sepenting itu di tengah jalan yang lengang, terlebih terakhir kali Watson mengalungi kain tersebut ke lehernya.

"Di mana kamu mendapatkannya?" tanya Aiden serius. Mereka masih di klub, menimang-nimang segala kemungkinan.

"Persimpangan Yefefiah."

Aiden, Hellen, dan Jeremy saling tatap. Itu kan masih dekat dengan Madoka. Apa para penculiknya menunggu Watson keluar dari gedung sekolah? Mereka nekat sekali.

"Dex, apa kamu sudah memeriksanya?"

"I-iya..." Dextra menelan ludah. "Tapi cctv di jalan itu rusak. Salah satu dari mereka kelihatannya membawa alat jammer. A-aku akan berusaha memulihkannya...!"

Sungguh, ada apa dengan hari ini? Baru kemarin mereka menuntaskan masalah Anjalni, pagi-pagi sudah disambut dengan pemberian alkohol yang misterius. Lalu sekarang? Watson lagi-lagi menghilang.

Menyebalkan. Kenapa penjahat-penjahat di luar sana suka sekali menculik Watson sih. Makanya, Watson harus di-nerf total.

Tanpa peringatan, Kapela tiba-tiba bangun seperti mumi. Dia menguap, menggaruk bagian belakang leher. Tatapanya linglung khas orang bangun tidur, ditambah efek minum alkohol. Dalam kondisi setengah sadar, Kapela mengambil jas sekolahnya yang tergantung di lengan sofa.

"Mereka sudah bergerak, ya?" kata Kapela, memasang jas almamater itu sambil merem. Masih mengantuk. "Aku malah heran kalau mereka tidak menemukan Kak Watson secara dia kan tenar di Moufrobi."

"Siapa yang kamu maksud 'mereka' dari tadi?" tanya Jeremy penasaran.

Kapela membuka sebelah matanya, melirik Aiden dan yang lain (memasang tatapan ingin tahu). "Dulu aku pernah mendengar percakapan Papa dengan orangtua Kak Watson. Mereka membutuhkan tempat persembunyian dan Papa menyediakannya. Mereka berpindah-pindah ke berbagai negara. Selalu begitu setiap tiga bulan."

"Tunggu, apa kamu ingin bilang ada yang mengejar orangtua Dan?" tebak Aiden.

"Sesuai yang diharapkan dari Kak Aiden~ Jago menyimpulkan~ Aku tidak tahu persis cerita lengkapnya, tapi yang Kak Aiden katakan itu benar. Ada sekelompok organisasi yang mengejar orangtua Kak Watson, tepatnya ibunya. Dyana Dan."

Mereka saling pandang skeptis. Topik obrolan ini amat sensitif. Untung Watson tidak ada di sana. Anak itu pasti murung.

"Apa yang mereka inginkan darinya? Beliau kan... sudah meninggal. Rasanya kurang ajar mengganggu seseorang yang sudah tidak ada di muka bumi ini."

Kapela mengedikkan bahu. "Entah. Aku akan kembali ke New York sekarang. Papa pasti sudah bergerak melakukan sesuatu."

"S-sekarang?" Nah, reaksi Dextra adalah di luar perkiraan. Dia yang dari tadi fokus memulihkan cctv di Persimpangan Yefefiah, mendadak berdiri. "Apa kamu tak makan... Err..." Dia ngomong apaan sih?

Kapela tersenyum. "Aku sebentar doang kok. Aku pasti pulang secepatnya~!"

Aiden dan Hellen beringsut satu sama lain. Memang waktunya tidak cocom untuk bercanda, namun mereka mencium ada yang aneh antara Kapela dan Dextra. Jangan-jangan semalam mereka sungguh...

Setelah Kapela meninggalkan ruang klub, Aiden, Hellen, dan Jeremy saling angguk.

"Kita juga harus segera menolong Watson. Apa sebaiknya kita ikut Kapela saja?"

"Tidak. Kita akan mengurus hal yang lebih mendesak daripada Kak Watson." Michelle memotong lebih dulu. "Ini penting."

Apa maksudnya? Apa yang lebih penting daripada keselamatan Sang Tokoh Utama?

"Kita harus mencari Beaufort Dan."

Selagi mereka asyik berdiskusi, tidak ada satu pun di antara mereka yang sadar kalau Saho menyelinap pergi keluar.

.

.

Di sebuah basemen usang dengan alamat tidak diketahui, meski pencahayaannya kurang terang, dapat dilihat seseorang duduk berlagak bos di tengah ruangan, menyuruh kameradnya menyiksa seseorang yang tak lain tak bukan Watson.

Tes, tes, tes.

Darah mengucur dari bagian mata kirinya yang berlubang. Para mafia brengsek itu tidak bercanda. Mereka benar-benar menyiksa Watson secara fisik dan mental.

"Kamu masih belum mau berbicara?"

"Harus berapa kali kukatakan... Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan..."

Oh, demi Tuhan. Usai bangkit dari koma, menamatkan dua kasus, saat ini maut melambai lagi kepadanya. Kenapa nasib Watson segini menggenaskannya?

Tapi...! Ini sedikit menguntungkan Detektif Muram itu. Watson bisa mulai mencari tahu alasan kenapa orangtuanya dibunuh.

"Aku membicarakan Salinan. Dyana si jalang itu pasti memberikan Salinan-nya ke anaknya. SERAHKAN ITU PADAKU!"

"Jangan sebut ibuku dengan panggilan tak pantas seperti itu, mafia sialan. Menculik remaja lantas menganiayanya..." Watson tertawa miring. "Pria dewasa yang tolol."

Plak! Bruk!

Pria sangar itu memukul kepala Watson menggunakan tongkatnya. Alhasil, Watson ambruk tak sadarkan diri. Dia berteriak, melempar kursi yang dia duduki barusan ke dinding. Menggelepar marah sekali.

"ARGH!! BRENGSEK KALIAN, DAYLAN! DYANA! KENAPA KALIAN MATI BEGITU SAJA?!"

"Tuan, jangan terlalu emosi. Bagaimanapun Watson Dan ada di tangan kita saat ini. Mereka selangkah di belakang kita. Jika anak ini tidak berbohong, mungkin benar Dyana tidak memberikan Salinan itu. Anda tahu sendiri, wanita itu berotak licik."

Pria itu menatap bengis Watson yang pingsan, menyeringai. "Bedah perutnya."

Bawahannya mengangkat kepala. "Maaf?"

"Dulu Dyana juga pernah berbuat nekat, kan? Memakan flashdisk Data Utama dari proyek itu. Kali saja bocah ini melakukan hal sama. Aku ingin kamu belah perutnya."

"T-tapi, Pak... Dia hanya anak-anak. Dan dia sudah sering dioperasi. Saya rasa--"

"Aku tidak peduli," sanggahnya dingin.

Dia akan mendapatkan Salinan-nya apa pun yang terjadi. Lebih cepat dari mereka!

*

Kembali lagi ke latar klub detektif yang atmosfernya tegang. Mereka kentara kaget akan celetukan Michelle, entah dia betulan serius atau sekadar bergurau.

Mencari Beaufort, paman Watson? Kan pria itu lagi di Inggris menjenguk ibunya alias Nenek Watson. Untuk apa mencari seseorang yang baik-baik saja? Menilai raut wajah Michelle yang tidak berganti, sepertinya Michelle bersungguh-sungguh.

"Apa maksudmu, Michelle? Bukankah Om Beaufort ada di Inggris? Kamu sendiri yang bilang pada kami, juga pada Dan."

Michelle menggeleng. "Aku melakukan itu untuk mengalihkan Kak Watson supaya tidak panik. Beaufort... sudah menghilang sejak Kak Watson bangun dari komanya."

Apa! Aiden, Hellen, Jeremy, dan Dextra berbinar-binar tak percaya. "Kalau begitu siapa orang yang menjemput Watson dan menyapa kita di rumah sakit waktu itu?"

"Dia? Ah, dia orang yang amat lihai dalam menyamar dan berakting. Sosok yang menculik Watson saat dia masih kecil. Sosok yang membuat Watson trauma dini dan kehilangan sepenggal ingatannya."

"Michelle, kamu ini sebenarnya siapa? Kenapa kamu tahu sedetail itu?" Hellen tidak bisa menampik kecurigaannya dari Michelle. Bahkan sejak awal dia datang ke Madoka, dia itu sudah sangat aneh!

Mengaku-ngaku saudaranya Watson padahal mereka yakin Watson itu tunggal.

"Aku? Mungkin ini sudah waktunya. Aku sudah memperkirakan hilangnya Watson, tapi tidak kusangka secepat ini."

Michelle menarik 'sesuatu' dari lehernya. Mereka menahan napas. Rahang Hellen mengeras. Sudah dia duga, ada yang salah dengan cewek itu. Dia memakai topeng silikon yang mirip dengan muka Watson!

"Nama asliku Sey Siviliain. Aku dan Watson adalah korban penculikan yang sama--"

BRAK!

Pintu klub terbuka, mengagetkan mereka berlima. Tiga orang menerobos masuk ke dalam. Di tengahnya, seseorang yang memakai handbage 'Ketua Dewan Siswa' menatap dingin Aiden dan yang lain.

"Apa-apaan kalian?" seru Aiden galak.

Hellen menarik-narik lengan baju Aiden, menunjuk handbage yang dikenakan cowok yang berdiri paling tengah. "A-apa mungkin dia... Ketua Dewan Siswa baru?"

Astaga! Mereka hampir lupa soal itu mengingat kasus Hasby Sasinmu dan Raiana Setaliz sudah ditutup tempo lalu, plus mereka disibukkan festival sekolah.

Cowok yang diduga pengganti Apol itu berambut hitam, bola mata emas, tinggi 168an, memakai baju bertumpuk-tumpuk. Dimulai seragam putih Madoka, kemudian sweater hijau tua, ditambah jaket ungu. Masker hitam bergelayutan di dahunya.

Gila! Apa dia sedang sakit? Bisa-bisanya memakai pakaian kayak roti lapis begitu di hari yang panas. Apa dia tidak gerah?

Aiden bersedekap, tidak tertarik dengan cowok pendek itu. "Apa maumu, heh? Kami sedang dalam percakapan serius."

"Singkat saja. Mulai hari ini, klub detektif akan dipisah. Cewek dan cowok tidak boleh berada di ruang yang sama."




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro