File 2.5.7 - Nice Try

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***DETECTiVE WATSON***

Suara kucing mengeong?

Watson memperhatikan halaman rumah, tersentak melihat seekor kucing bersurai hitam menjilati bulunya tak jauh dari pohon maple. Sepertinya dia pelakunya.

Jeremy di belakang Hellen, gemetaran. "A-apa itu? Kucing? Ugh! Sudah kubilang, rumah ini angker. Kita pulang saja yuk. Kata orang, kucing hitam itu pembawa sial. Aku yakin tidak ada apa-apa di sini. Para korban benar-benar mendapatkan kutukan—"

"Sekali lagi kamu mencerocos, berikutnya mukamu akan bertemu dengan tinjuku."

"Oh! Kamu berniat mengajakku berkelahi? Mari sini! Meh! Meh! Meh!"

Hellen menutup mulut Jeremy.

Watson memimpin rombongan, membungkuk menggendong kucing hitam tersebut. Hewan semanis ini jadi 'binatang penunggu'?

Tunggu sebentar, kucing?

Gia Boris menderita hidrosefalus kongenital. Apa kucing ini ada hubungannya? Watson mengatupkan rahang. Mari simpan dulu petunjuknya di kepala dan lanjut observasi. Masih terlalu awal membuat kesimpulan.

Mereka pun tiba di depan pintu rumah yang terlihat dua kali lipat lebih seram jika diperhatikan dari kejauhan. Jeremy semakin takut, Dextra mulai ciut, Aiden dan Hellen saling menggenggam tangan. Hanya Watson dan Michelle yang masih datar-datar saja.

"Kak," Michelle membuka suara. Dia menunjuk teras. "Di sini katanya Eil, Honja, dan Rale melihat penampakan hantu memegang kapak berdarah melayang-layang."

Watson bersedekap. "Noh, lihat tuh," katanya menunjuk lantai teras dengan dagunya.

Aiden, Hellen, Jeremy dan Dextra saling tatap. Mereka mengikuti perkataan Watson. Ada jejak gerusan di teras seperti lantai keramik yang digores oleh benda tajam.

"Apa kalian mengerti sekarang?"

"Melihat bentuk jejaknya, ini mirip dengan gesekan roda." Aiden menilai. "Boleh jadi hantu abal-abal itu berpura-pura terbang dengan menaiki papan beroda."

Hellen menyikut lengan Jeremy. Kan! Dibilang juga apa. Hantu itu tidak ada. Merujuk anak bertiga itu melihat penampakan hantu dari sisi samping rumah, mereka tidak bisa melihat kaki si pelaku karena tertutup pembatas. Apa pula hantu megang kapak.

"Kalau begitu, kain putih berdarah dan kapak itu hanya mainan?" tanya Dextra.

"Bisa jadi. Mereka pasti menyembunyikan benda-benda itu di suatu tempat di dalam rumah tua ini. Ayo masuk!"

Seperti biasa, Watson yang memimpin. Dia mendorong pintu, mengernyit. Pintunya tidak terkunci? Dia pikir mungkin pelaku sengaja membiarkan pintu terbuka agar orang-orang menganggap rumah itu angker betulan.

Sarang laba-laba menyambut mereka dan setumpuk debu. Klub detektif Madoka terbatuk-batuk sambil mengibaskan tangan ke udara. Berdebu sekali di sana.

"Aku tahu ini akan terjadi." Michelle menurunkan ranselnya, memberikan senter pada Watson dan yang lain.

"Inisiatif yang bagus, Michelle. Kebetulan aku lupa membawa ponsel."

Baiklah. Sebaiknya mulai mencari informasi dari mana dulu, ya? Rumah itu bertingkat dan furniturnya mewah, meski sudah berkarat dan sebagiannya ditutupi kain. Pemilik rumah pastilah orang berada dulunya.

Aiden melangkah ke dinding, mencet-mencet saklar berkali-kali. "Tidak ada tenaga listrik," ucapnya, menyenter sekitar. "Tapi kenapa di dalam terasa dingin daripada di luar, ya? Seperti ada kulkas terbuka."

"Sudah kuputuskan, aku akan membagi dua tim. Satu tim tiga orang karena kita berenam. Aku, Aiden, dan Hane di lantai satu. Bari, Stern, dan Michelle, kalian ke lantai dua. Ingat, cari petunjuk keberadaan Eil, jangan sentuh yang lain. Pelaku mungkin mengintai kita. Kita di sini bukan untuk uji nyali dan menantang mereka. Kita hanya perlu menemukan Eil. Paham?"

"T-tunggu...!" Jeremy keberatan. "A-aku bersamamu saja. Aku tidak yakin bisa melindungi Hellen dan Michelle karena aku takut hantunya nanti muncul tiba-tiba."

Astaga, dia mengatakan dirinya ketakutan secara terang-terangan. Jeremy lebih baik menanggung malu, daripada berakting berani.

"Ya sudah, kamu di lantai satu saja begitu. Aku pindah ke kelompok Stern."

"Mana bisa begitu, Dan?" Giliran Aiden yang protes. Padahal dia sangat senang bisa satu tim dengan Watson. Tapi gara-gara Jeremy, dia jadi pindah tim. Aiden menatap cowok itu sebal. "Sadarlah, Jer. Hantu itu tidak ada. Walaupun ada, mereka itu tak kasat mata. Asal kita tidak mengganggu, mereka juga takkan mengganggu kita."

"Halah! Bilang saja kamu memprotes karena ingin mesra-mesraan dengan Watson!"

"Apa katamu?! Kamu sendiri! Kamu tidak berani menelan ketakutanmu dan melakukan pedekate ke Hellen?! Dasar payah!"

"Ketakutan dan pedekate dua hal yang berbeda! Aku tidak ingin jadi pembohong!"

Watson mulai jengkel, menjitak kepala kedua sahabatnya itu. Berkacak pinggang. "Kenapa kalian malah jadi adu mulut? Memangnya kita sedang lomba debat? Kalian... huh?"

Watson menghentikan kalimatnya melihat tubuh teman-temannya membeku di tempat sambil menatap ke belakangnya.

Apa sih yang mereka lihat? Watson menoleh.

Ada sosok penampakan bergelayutan di lantai dua di dekat pagar pembatas, itulah yang membuat mereka cosplay jadi patung. Tidak hanya itu, dengan dramatis, sosok 'hantu berpakaian putih' itu melenting ke arah mereka dengan lampu yang mendadak menyala-mati-menyala dan suara petir.

"KYAAAAA!!!! HANTUUUU!!!!"

Seketika senter pemberian Michelle terbang ke udara dan pecah begitu menyentuh lantai. Klub detektif Madoka panik. Di luar kesadaran, mereka pun berpencar karena terbirit-birit kabur. Formasi berantakan.

"Aduh..." Watson mengusap-usap hidungnya, kena oleh tangan siapa lah tadi itu. Dia meraba-raba lantai mencari senter. "Kalian kenapa sih? Tiba-tiba lari begitu..."

Tak sengaja Watson menyenter ke depannya. Sosok hantu itu menyeringai yang dibalas oleh tatapan datar Watson.

"Nice try."

Dengan tangkas, Watson memutar senter di tangannya lantas memukul kepala sosok itu. Sebuah kepala tengkorak terlepas, menggelinding jatuh ke lantai. Sesuai dugaan, wajah mengerikan yang dipantulkan cahaya berasal dari mainan tengkorak.

"Di mana mereka membelinya? Kualitasnya bagus," komentar Watson, melempar-tangkap mainan kepala tengkorak itu.

Tapi ada yang mengganggunya. Suara petir di dalam rumah dan lampu yang menyala padahal Aiden memastikan listriknya padam. Apakah pelaku memasang genset?

"Pokoknya sekarang aku cari anak-anak itu dulu. Bisa-bisanya mereka kabur ketakutan karena mainan murahan—Woah!"

Watson nyaris terjatuh. Kakinya menyandung sesuatu. Dilihatnya ke bawah, menepuk dahi. Ternyata ada Jeremy dan Aiden yang pingsan. Dasar mental kerupuk!

Menghela napas, Watson pun tersenyum tipis. "Kenapa Tuhan mempertemukanku dengan teman-teman sableng seperti mereka?"

Watson jongkok, menoel-noel pipi mereka berdua. "Heiiii, bangunlah Aiden, Bariiii. Hantunya hantu palsu. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Ayo cepat bangunnnn!"

Percuma sih. Kelihatannya mereka takkan siuman sampai beberapa menit ke depan. Kalau begitu terpaksa deh Watson menelusuri lantai satu seorang diri.

"Semoga yang lain baik-baik saja—"

"Tolong... siapa pun... tolong..."

Watson menyapu pandangan ke sekeliling, menghela napas. "Aku sudah bilang kan, sia-sia jika kalian ingin menakutiku. Keluar sebelum aku memermak wajah kalian. Aku sudah cukup jago meninju orang lho—"

"Aku tidak mau mati... Tolong..."

Tidak, tunggu. Ini bukan bisikan, tapi lenguhan seseorang! Dari mana asalnya??

Boleh jadi itu adalah Eil. (*)



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro