2. Lipatan Waktu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Monday, November 05th, 2021.

"Pa, Mama mau berangkat ke Bandung, pagi ini."

Hari masihlah terlampau pagi untuk beraktivitas, apalagi bepergian. Kabut belum sempurna lenyap meninggalkan semesta. Mentari bahkan belum berani menampakkan dirinya di atas horizon. Rama masih duduk santai di halaman depan, melaksanakan ritual pentingnya setiap pagi. Pria yang baru saja menyesap kopi di cangkirnya itu, kini menengadahkan kepala, menaruh banyak atensi pada istrinya. Kedua alis Rama mengerut, sarat akan tanda tanya. "Bandung? Mau apa?"

Rena menunduk dalam-dalam, tak begitu berani untuk balas menatap teman hidupnya. Tanpa sadar, Rena memilin ujung baju terusan cokelatnya. Tak apa, Ren. Tak apa. Setiap sudut hatinya mencoba meyakinkan diri. Perlahan, diangkatnya kepala Rena untuk menghadap Rama dengan benar. "Menemui teman yang sedang bekerja di bagian konstruksi Angkasa Plaza itu, Pa. Mama ada keperluan."

Demi mendengarnya, Rama bangkit dari bangku anyaman yang menawarkan berjuta kenyamanan. Tidak. Ini pasti ada hubungannya dengan itu. Rena selalu saja bertingkah layaknya wania paling kuat. Rama memang tak mampu menghapuskan fakta itu, tetapi tak bisakah Rena mulai mengandalkan Rama, menaruh kepercayaan pada pria yang akan selalu menggenggamnya erat? Rama mengembuskan napas berat. "Biar Papa antar."

"Eh, tidak usah." Rena menggenggam pergelangan tangan Rama, mengelusnya singkat, seolah berkata bahwa semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Rena mengulas selarik senyuman manis. "Papa, kan, masih harus bekerja, hari ini. Mama naik bus saja. Mama juga sudah bilang dan minta izin ke Téh Sarah untuk titip Luna, sementara. Ah, anak itu pasti akan terus-terusan mengganggu El."

Mendengar kekehan halus yang lolos dari bibir tipis Rena malah membuat perasaan Rama semakin tak keruan. Dielusnya pipi Rena yang tak pernah berubah sejak bertahun-tahun Rama mengenalnya. Rama balas menarik kedua sudut bibir ke atas. Sentuhan itu masih sama. Rena ... tahukah kau, betapa besar inginku untuk terus menjaga tawa itu? "Berhati-hatilah."

Lima belas menit kemudian, keduanya sudah siap di dalam mobil. Rama mengantar ke terminal bus. Sepasang netra cokelat gelap itu menyorotkan tatapan sendu yang terasa kosong. Iya. Rena masih di sini, tetapi Rama sudah merasa sepi. Hingga akhirnya, Rena benar-benar keluar dari mobil sambil melambaikan tangan. Rama terpekur, merasa ada komponen penting di sudut hatinya, yang perlahan ikut menghilang, melebur seiring irama langkah kaki yang terus menjauh.

Demi perjalanan ini, Rama sarapan lebih awal, tadi. Semuanya berjalan membosankan.  Hampir tiga jam berlalu, sejak keberangkatan Rena. Rama sudah bersiap dengan kemeja dan celana bahan klimis. Waktunya berangkat kerja. Sebelum keluar rumah, Rama baru menyadari televisi di ruang tamu yang menyala sedari tadi, dengan tujuan mengisi sepi. Baru saja Rama meraih remote untuk mematikannya, seluruh sendi pergerakan Rama mendadak dikunci siaran berita liputan terkini.

Kini, seisi rumah hanya dipenuhi suara laporan berita dari reporter. "Hingga saat ini, sudah sembilan orang yang terkonfirmasi sebagai korban jiwa. Berkisar dua puluh ...."

"Apa?" Tanpa memedulikan pakaiannya yang jadi berantakan, atau remote yang dilemparkanya secara asal, Rama langsung memasuki rumah di seberang jalan. Di halaman depan, tampaklah Sarah yang sedang menggendong Luna. Tidak. Tidak. Rama tak mengindahkan pertanyaan Sarah. Rama langsung menerobos ke bagian dalam rumah, dan berpapasan dengan Sakti di ruang tengah.

"Ada apa, Rama?"

"Kemarikan Query milikku."

Jawaban singkat Rama membuat Sakti mengernyitkan kening. "Tapi, aku sudah meminjamnya untuk perkembangan Buku Anti-Dimensi, bukan?"

Tidak ada waktu lagi. Rama langsung masuk ke ruang kerja Sakti tanpa permisi. Diraihnya pulpen mekanik abu yang tergeletak di dalam laci meja.

"Rama, apa lagi yang mau kau ubah? Apa kau tidak menyadari, adanya rotasi ganjil yang terjadi setelah melakukan rewind?" Sakti berniat mencegah Rama. Akan tetapi, Rama malah mengambil buku bersampul cokelat juga. Sakti mulai mendapat firasat tidak enak. "Kau tahu, Ram? Kau bisa sangat ceroboh, dalam keadaan tidak stabil begini. Apa yang mau kau lakukan dengan itu?"

Rama sudah meletakkan ibu jarinya di tombol Query. "Jangan coba-coba menghentikanku, Sak. Jika masih saja keras kepala, kau tak akan pernah kuampuni, karena telah membunuh Rena."

•   •   •

Thursday, February 25th, 2021.

Kuda terpacu cepat. Ketukan keempat kakinya lebih memburu dari degup jantung Luna. Sebuah benda besar menghantam punggungnya dengan telak. Luna kehilangan keseimbangan dan kendali atas tubuhnya. Diiringi jeritan dramatis, Luna terguling dari badan kuda.

Ruangan kamar Luna gegap gempita, seketika. Mata Luna terbuka. Setelah mengerjap untuk beradaptasi dengan intensitas cahaya di sekitarnya, hal pertama yang Luna lihat adalah sesosok manusia papan triplek, lengkap dengan guling di tangan. Hantaman benda itulah yang membuat Luna jatuh terguling, sekaligus terbangun dari mimpi kerennya.

Luna sudah melotot sempurna. Namun, sialnya, di saat Luna jelas-jelas sudah bangun dan tergolek tak berdaya di atas lantai, spesies itu masih saja memukulkan guling ke sekujur tubuh Luna, terutama muka. "Eleniensi! Aku sedang uwu-uwu-nya diselamatkan Kapten Levi dari sergapan titan abnormal! Kenapa titan versi real life-nya malah datang membangunkanku!"

El yang dilabeli sebagai titan, hanya menodongkan tatapan tajamnya. Meski begitu, tangannya masih aktif menghantamkan guling ke Luna dalam waktu konstan. "Bukan salahku. Aku tidak akan berhenti menjalankan misi ini sampai target bangkit dari tidurnya. Aku sungguh iba pada mamamu, karena punya anak gadis yang hanya memuat fitur halu, rebahan, dan malas-malasan. Kau tidur sejak pulang sekolah, pukul tiga sore. Sudah lebih dari empat jam, kau mau simulasi mati?"

Luna tak merespons, lebih memilih untuk menggaruk rambut panjang lurusnya yang kusam.

El menjeda kalimatnya, lalu mengangkat alis. "Ah ya, tenang saja. Aku sudah merekomendasikan alternatif pada Tante Rena, salah satunya untuk menyelotip kedua lubang hidungmu tujuh lapis."

Luna mengangkat tangan kanannya sebagai tameng pelindung, lalu bangkit untuk kembali merebahkan badan di atas kasur. Merasakan badannya masih di-KDRT, Luna mendesah kesal. "Aku tidak tidur lagi! Aku cuma mau cek WhatsApp, kok. Sensi banget, sih, Bu."

Secepat gerakan 3D Manuver Gear-nya Kapten Levi, El menyambar ponsel Luna terlebih dahulu. "Tidak ada. Saatnya belajar."

"Curang! Tangan El panjang! Suka maling, sih, nakal!" Luna berjuang mengembalikan haknya yang diambil alih El. Kedua tangan mininya mengerahkan seluruh tenaga untuk membukakan celah di genggaman El. Cukup dua menit bagi Luna menyadari semua itu sia-sia. Melelahkan. Dengan cemberut, Luna akhirnya berdiri dan meraih handuk di gantungan. "Sudahlah, aku mau mandi."

"Alasanmu itu sumber daya yang paling melimpah, ya? Selalu bisa diperbaharui."

Bibir Luna terangkat, memasang seringaian menjengkelkan. Jangan lupakan kedua hidungnya yang mengembang, kesal. "Apa? Mau kuberi upil?"

"Seandainya bisa bicara, handuk itu pasti akan bersaksi bahwa mandimu hanya sehari sekali. Ah, dia sedang mencibirmu, saat ini."

Belum sempat Luna membalas sebuah fakta yang ditamparkan El, mendadak saja muncul makhluk absurd dari balik pintu, menerobos masuk begitu saja. "Luna, Luna, aku sudah berhasil mencolong Wi-Fi rumahnya Pak Haji Amir, tadi!"

Seketika, Luna melupakan semua hasrat adu mulutnya dengan El. Dilemparnya handuk ke sembarang arah. Luna merebut laptop di tangan Ken, lalu meletakkannya di atas kasur, sambil memosisikan pose rebahannya yang paling nikmat. Tangannya asyik memainkan kursor, menelusuri episode terbaru yang baru diunduh Ken. "Pacarku!"

Ken yang ikut berbaring di sampingnya, berdecak miris. "Jangankan punya perasaan, mereka hanyalah karakter gepeng dan bahkan tidak bisa menghirup oksigen yang sama denganmu. Ah, akhirnya aku menemukan seseorang yang lebih mengenaskan dari sekadar cerita cinta bertepuk sebelah tangan. Miris sekali hidupmu ini, Luna."

"Hei, apa-apaan? Setidaknya untuk merasakan sensasi punya pacar, aku hanya perlu modal halu yang dihiasi imajinasi." Luna mengikis jarak di antara kedua alisnya. "Lagipula, selama ini yang lebih mengenaskan itu kau! Mentang-mentang di Hunter x Hunter kekurangan stok waifu-able, kau jadi merasa sudah jadi manusia normal, begitu? Dimohon sadar diri, ya. Kau perlu cermin sebesar apa?"

"Ah, tentu. Tidak akan pernah ada cermin yang cukup untuk memantulkan seluruh pesona dari bayangan seorang Ken Alvaro. Lihat, lihat. Mukaku ini tampannya sudah overload."

Siapa pun, tolong minta vaksin untuk makhluk supernarsis ini. Mendapati wajah masam bercampur mualnya Luna, malah membuat Ken semakin bersemangat memamerkan cengiran lebar. Benar-benar kesurupan. "Diamlah. Aku ingin menghalukan husbu dengan tenang. Jangan membuat asam lambungku naik, gara-gara kalimat menggelikanmu itu. Aku alergi hoax!"

"Ah, aku paham." Ken menarik napas dalam, lalu menunduk, serius. Ken berdeham singkat, bertingkah tidak nyaman.

Mau tak mau, perhatian Luna sedikit teralihkan, sejenak melupakan telunjuknya yang sudah bersedia menekan tombol play.

Ken melayangkan pandangannya ke langit-langit kamar Luna, menekuri sesuatu. "Kau tahu? Aku menemukan sebuah postingan di Instagram. Katanya, mau seterang apa pun eksistensimu, terkadang kita tak menemukan orang yang tepat, orang yang bisa menyadari bahwa kita berharga."

"Lalu?" sahut Luna dengan nada malas, tetap mempertahankan gengsi.

"Dan akhirnya kusadari ...." Ken menjeda kalimatnya dengan sebuah helaan napas tak berdaya. "Aku terlalu bersinar hingga kau merasa buta terhadap kemilau pesonaku, Luna. Aku yakin, di luaran sana, ada sekelompok makhluk hidup yang mengelu-elukan namaku sebagai lelaki paling ke ...."

"... pedean di alam semesta," sambar Luna, gemas. "Mau sampai kapan kau bermimpi, Ken Alvarongsok!"

Gelak tawa memenuhi ruangan, membuat telinga Luna terasa dibakar dengan panas bintang ketika supernova. Sial. Luna menyesal karena sempat terkena tipu muslihat Ken yang mahasesat itu. Tentu. Upin-Ipin akan jadi duta sampo, kalau Ken bisa serius dalam satu menit saja.

"Kalian akan selalu menjadi rongsokan masyarakat jika terus seperti ini." El yang sedari tadi berusaha mencerna isi buku Fisika sambil menahan keki dalam hati, mendadak saja melibatkan diri dalam topik rongsok ini. "Hari Senin sudah UTS. Berhentilah bermain-main."

"Oh, ayolah, El. Apa belajar membuatmu pintar? Apa itu membuatmu bisa mengalahkan si Jenius Pilar? Kau bahkan tertinggal seperempat dari nilainya di ulangan akhir kelas sepuluh, kemarin. Apa yang kau harapkan, dari posisi yang sudah jelas-jelas terisi?"

El mengangkat alis dengan malas, begitu mendengar ocehan Luna. "Menyedihkan. Pemikiranmu terlalu dangkal jika menjadikan peringkat sebagai standar."

"As always, seorang El akan merasa paling benar. Dangkal, kau bilang? Lihat saja ...."

"Apa? Kau akan mengalahkan nilaiku? Sure. Try me. Tunjukkan padaku bukti kontradiksi atas apa yang kubilang tentang pemikiran dangkal itu."

Luna terkekeh penuh percaya diri, menertawakan El. "Kau menantangku? Yeah, why not? Tapi, sebelum kau menyesal di akhir dan keteteran untuk menelan ludahmu sendiri, biar kuberitahu satu hal." Luna sengaja menghentikan perkataannya sejenak. "Aku bisa memutar ulang waktu."

Beberapa detik, hanya lengang yang mengisi ruangan. Hingga akhirnya, Ken memecahkan suasana dengan bahak membahana. "Apa-apaan kalimat konyolmu itu, Luna! Kau sudah sinting?"

Benar. Sesuai prediksinya, tidak akan ada orang waras yang percaya bahwa ... tunggu. Ekor mata Luna melirik El, penasaran dengan reaksinya.

Akan tetapi, lelaki dengan netra hitam legam itu masih mempertahankan muka triplek dan tatapan menusuknya. "Lantas kenapa? Melipat dimensi ruang dan waktu bukanlah suatu hal yang mustahil. Hanya karena belum terbukti, bukan berarti seratus persen tidak bisa terjadi, bukan? Namun, meloncati waktu sejauh Tasik-Konoha pun, seharusnya otakmu tetap terjaga, sesuai dengan simultan energi yang dihabiskan. Layaknya ponsel yang disetel ulang pengaturan waktunya, bukankah baterainya tetap saja perlu di-charge?"

•   •   •

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro