3. Query in Action

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Namaku Melvin Anggara. Salam kenal. Mohon kerja samanya untuk dua tahun ke depan."

Di bangkunya yang paling depan, Naira—pelanggan setia razia make up mingguan—memekik nyaring, "Aku maunya menjadi pertama dan terakhirmu, bersama berbagi rasa hingga waktu seakan segan 'tuk berkata inilah akhirnya."

Tanpa merasa terpengaruh oleh kalimat basi semacam itu, Melvin menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Netra sewarna dark hazel miliknya sukses membius makhluk betina di kelas. Komponen wajahnya yang pas membuat senyuman itu ber-damage besar. Beberapa anak perempuan menjerit tertahan. Mendadak saja, metabolisme karbohidrat di dalam tubuh seolah terganggu, serentak. Kelenjar pankreas tak mampu menyekresi insulin yang cukup karena kadar glukosa pada senyuman Melvin tak mampu dicerna akal sehat. Berbahaya.

Hari ini, kelas terasa jauh lebih berwarna. Pengecualian untuk bangku di sudut kelas itu. Luna membenamkan kepala dalam lipatan tangannya di atas meja, suram. Kepalanya berdenyut nyeri. Sebelum spesies menyebalkan seperti El berhasil menerobos dan merusuhi rumahnya tadi pagi, seharusnya Luna sudah kembali memutar ulang waktu beberapa jam lagi, untuk sekadar mengistirahatkan tubuhnya. Akan tetapi, El tidak memberinya kesempatan untuk itu.

Terdengar suara tepukan tangan dua kali. Kebisingan kelas terhenti seketika. Seluruh pasang mata di ruangan memusatkan atensinya pada Garda, si Ketua Kelas, yang melangkah ke depan. "Tentu, Melvin. Mohon kerja samanya. Silakan, kau bisa duduk di bangku paling depan. Itu kursi yang tersisa, baru kemarin lusa salah satu anak kelas ini pindah dari Persatas."

Naira mengibaskan rambut bergelombangnya sekilas, lalu menghujamkan tatapan paling horor ke arah Ken yang duduk di depan bangkunya. "Kau sangat mencemari pemandangan! Mataku bisa sakit! Kau saja yang pindah ke depan sana, Kutu Pengganggu. Dengan begitu, semoga otakmu masih bisa tertolong. Biarkan Melvin yang duduk di sini."

Mendapatkan aksi penolakan secara terang-terangan seperti itu membuat Ken mengangkat sudut kiri bibir, persis seperti emak-emak yang nyinyir menawar daster meskipun sudah diskon. Ken berteriak nelangsa, "Tidak ada. Tidak diperbolehkan. Aku memiliki otoritas mutlak atas bangku ini. Paham?"

Di depan sana, Garda berdeham keras, mengembalikan perhatian seisi kelas. "Sebelum masuk jam pelajaran pertama, ada yang ingin kusampaikan. Aku mendapat kabar dari Miss Syarah. Sewaktu mau print rekapan poin pelanggaran siswa tadi pagi, Raya kecelakaan, tertabrak mobil taksi yang katanya dikemudikan ketika sopir masih dalam keadaan mabuk."

Melvana Cressida, gadis paling mini itu melirik ke arah bangku Raya di pojok depan. Begitu juga dengan yang lain, baru menyadari bahwa sang Sekretaris OSIS Teladan itu belum menampakkan dirinya pagi ini. Bahkan mereka tak menemukannya di antara anak berjas yang sedang piket jaga di depan gerbang. Melva mengikis jarak di antara kedua alisnya. "Bagaimana dengan kondisinya saat ini?"

Sebelum menjawab, Garda menarik napas panjang. "Patah tulang. Raya rawat inap di rumah sakit. Dokter memperkirakan kaki Raya belum bisa digunakan untuk beberapa bulan ini. Dan masih ada kemungkinan, Raya ... lumpuh total. Perlu kita ingat, hari Senin sudah UTS. Jadi, mohon untuk lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan. Ah, ya. Sepulang sekolah nanti, aku akan mengunjunginya di rumah sakit. Miss Syarah juga. Kuharap seluruh anggota kelas bisa ikut."

"Mengerikan." Naira menutup mulut, tak habis pikir dengan keadaan yang menimpa teman sekelasnya. Detik berikutnya, gadis dengan bedak setebal topeng ondel-ondel itu mengeluarkan lipstik—liptint, lipgloss, atau apalah itu—dari saku blazernya. "Yeah, setidaknya beberapa hari ke depan tak akan ada CCTV berjalan yang merebut hak milikku seenak hati. Dia pikir, sepaket make up-ku ini tak lebih dari gorengan yang bisa dibeli di pinggir jalan, apa?"

Muka bengis Ken yang tadinya sudah mengibarkan bendera perang untuk memperebutkan kemerdekaan bangkunya, mendadak saja memikirkan suatu hal. Spontanitas, Ken menoleh ke sebelah kirinya, lebih tepatnya ke arah meja yang beralihfungsi sebagai dasar penyangga agar tuannya bisa masuk ke alam mimpi dengan lebih leluasa. "Luna, Luna! Kalau misalnya ... kau kembali ke pagi buta, lalu mencegah kecelakaan itu terjadi ... bisa, 'kan? Itu keren, Luna! Kau akan menjadi pahlawan."

Rewind demi orang lain? Merepotkan saja. Luna bisa menggunakannya lebih baik: bersenang-senang. Apa untungnya mencegah kecelakaan Raya? Luna hanya merespons dengan membuka sebelah matanya, tak tertarik. Setelah memastikan Ken berhenti mengoceh, Luna kembali menghayati prosesnya menuju tidur.

Gila. Manusia minim logika itu mengatakan soal 'kembali ke pagi buta' tanpa merasa riskan sedikit pun. Well, tidak akan ada orang yang mengacuhkan, sih. Toh, Ken memang normal jika bicara ngawur.

"Tidak punya otak, ya? Kalaupun kecelakaan itu jadi cancel, Raya hanya akan menganggapku orang sinting. Bayangkan. Kau mati, lalu aku kembali untuk menyelamatkanmu. Kau masih hidup. Lalu, tahu-tahu saja aku mengaku sebagai penyelamat nyawamu? Kau bahkan tidak akan ingat bahwa malaikat maut itu pernah bersiap merenggut hidupmu, di paralel waktu sebelumnya."

Peduli amat. Ken merasa tak perlu repot-repot mencermati penjabaran Luna. Yang ia pedulikan hanyalah satu hal. Ken menggebrak meja. "Tapi, bagaimana dengan tugas presentasi kelompok Biologi Pak Tasdik, jika Raya tidak masuk? Kami sudah berpasangan sejak awal! Bagaimana nasibku? Gantian, Lun! Aku mau sekelompok dengan El saja!"

"Mana bisa. Makanya, tugas kelompok itu harus dikerjakan bersama. Bukan cuma mengupil, makan, dan numpang WiFi. Kau memang perlu order otak di olshop, ĀhoKen!"

•   •   •


"Aku ... aku tidak bisa seperti ini! Aku ingin jadi Raya yang selalu diidam-idamkan, bukan gadis cacat yang menyedihkan!"

Syarah dan seluruh warga kelas yang ikut menengok ruang inap Raya, langsung terperangah. Mental Raya hancur. Tidak ada satu pun dari mereka yang pernah memiliki ekspektasi bahwa seorang Raya dengan berbagai kesempurnaannya yang menjadi sorotan banyak mata dan topik gosip seantero sekolah, tiba-tiba bisa seberantakan ini dalam sekejap.

Kunjungan itu terasa suram sekali. Orang tua Raya yang menunggui sedari tadi, hanya bisa melemparkan senyum pahit, sarat akan memohon pemakluman. Syarah, wali kelas XI MIPA-5, yang pertama kali mengundurkan diri, beralasan suaminya sudah pulang dari kerja. Orang tua Raya mengantarnya.

Sementara Raya masih meremas selimut rumah sakit dengan berjuta kekesalan, Luna menggenggam tangannya. "Kau mau membatalkan kecelakaan itu? Aku bisa mengurusnya. Dan, aku tidak suka ada orang lain yang mengetahuinya."

Ken mengernyit. "Luna, kau dapat hidayah dari mana? Bukankah tadi ...."

"Aku tidak suka ada orang lain yang mendengarnya, Raya." Luna menekankan kalimatnya, tanpa mengindahkan interupsi Ken sedikit pun, bahkan menoleh saja tidak. Perubahan rencana ini bukanlah apa-apa. Luna hanya menyadari sesuatu, dia perlu uji coba. Luna punya sesuatu yang ingin ia selamatkan.

Di atas ranjang pasien, Raya tersentak. "A-apa maksudmu?"

Garda menyela, "Aku ada kepentingan lain. Semoga lekas membaik, ya. Silakan berbincang dengan nyaman, Luna, Raya. Lagipula, sudah waktunya kami kembali."

Tak lama, orang-orang keluar. Hanya tersisa Luna dan El, juga Ken yang menunggu di lorong. "Apa yang kau tunggu, El?" Teguran Luna membuat El memicingkan mata. Mau tak mau, dia bersiap menggapai kenop pintu. Luna beralih pada Raya. "Kemarikan ponselmu."

Sesaat, El melebarkan mata, berhasil memprediksi situasi. Lalu, El benar-benar menutup pintu dan pergi.

Luna mengeluarkan Query—sebutannya untuk pulpen mekanik berwarna abu yang ajaib itu—dari saku blazer seragamnya. "Pukul berapa kau pergi, tadi pagi?"

Meski kebingungan, Raya menjawab singkat, "Sekitar pukul setengah enam pagi."

Hologram muncul. Jari Luna mengetuk tombol H, lalu menekan pegas Query hingga angka yang muncul adalah 05. Luna juga menyetel menitnya. Merasa sudah tepat, akhirnya Luna mengeklik ikon rotasi jam di hologram.

Terdengar suara dengingan samar yang bergema. Kemudian, setiap dimensi ruang dan waktu di sekitar Luna jadi putar balik. Persis seperti video yang di-reverse. Bagai dikendalikan, rumah sakit menjauh dari Luna. Motor El menyambut Luna, lalu berjalan mundur ke sekolah, begitu juga kendaraan lain. Semuanya bergerak secara inversi. Dan Luna dalam kondisi sadar sepenuhnya.

Hingga alhasil, Luna sampai di rumah, berbaring di atas kasur dengan piyama yang masih melekat di badan. Ini adalah keadaan dirinya tadi pagi. Hal yang berbeda adalah: kini Luna sudah membuka mata, tidak terbuai mimpi seperti sebelumnya. Berhasil. Luna tersenyum, bangkit dari kasur, kemudian melirik jam dinding yang tergantung di kamarnya.

Friday, February 26th, 2021 — 05:15.

•   •   •

Note: Apakah masih ada paragraf yang kepanjangan?TwT
Betewe, ada Melva dari History Track, lho! Udah kenalan di ceritanya, belum?≥.<

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro