Bening Berriak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini aku akan kembali ke Surabaya. Setelah satu minggu di rumah, akhirnya tubuhku membaik. Aku menatap ransel dan tas jinjing yang ada di atas ranjang, kemudian mengedarkan pandangan untuk mengecek barang yang barangkali tertinggal di kamar.

Kali ini, aku tak hanya mengedarkan pandangan namun benar-benar mengelilingi kamar. Kegiatan yang sudah berkali-kali kuulangi sepagian ini. Sebenarnya, aku tak sedang meneliti barang yang akan kubawa ke Surabaya. Aku hanya sedang mencari sesuatu yang barangkali luput dari pandanganku. Aku mencari sesuatu yang mungkin ditinggalkan Kak Aga untukku.

Sayangnya, berkali-kali mencari pun, aku tetap tak menemukan apa pun. Barangkali, memang hanya Bulan yang dapat kenang-kenangan. Mungkin bagi Kak Aga, aku sudah terlalu besar untuk mendapatkan sebuah hadiah. Aku memilih duduk di atas ranjang sembari tersenyum samar untuk menghibur hatiku sendiri. Setelah memantapkan hati bahwa aku telah baik-baik saja, aku berdiri. Baru saja hendak berjalan ke luar, kudengar pintu kamarku diketuk.

“Assalamualaikum, Ning Rain. Ini Mbak Rahma.”

“Waalaikumsalam, masuk, Mbak,” sahutku dari dalam.

Ngapunten, Ning, niki wonten titipan saking Mas Aga. Kulo supe badhe maringke kolo wingi.” (Maaf, Ning, ini ada titipan dari Mas Aga. Saya lupa mau ngasihkan kemarin) Mbak Rahma mengulurkan sebuah totebag, aku langsung menerimanya dengan wajah semringah. Sungguh, inilah barang yang aku harapkan sejak berhari-hari yang lalu.

“Gakpapa, Mbak. Makasih, ya.”

Kulo pamit riyin nggeh, Ning. Assalamualaikum.” (Saya pamit dulu ya, Ning) Mbak Rahma menundukkan badan sejenak, kemudian keluar dari kamar usai salamnya kujawab.

Aku segera membuka totebag pemberian Mbak Rahma dengan semangat, kemudian tersenyum lebar ketika menemukan satu set gamis dan sebuah jam tangan. Eh, tapi Bulan juga mendapat buku bacaan, kenapa aku tidak? Aku kan kuliah, seharusnya Kak Aga memberiku lebih banyak buku. Namun, aku segera mengistighfari keluhanku. Duh, sejak kapan aku menjadi seorang kakak yang suka iri pada barang-barang adiknya? Seharusnya aku cukup bersyukur sebab Kak Aga memberiku kenang-kenangan.

“Rain, udah siap belum? Buya udah nunggu dari tadi.” Suara Bunda dari luar kamar membuatku segera mengemasi barang pemberian Kak Aga, kemudian menggabungkannya dengan ransel dan tas jinjing yang akan kubawa ke Surabaya.

“Sudah, Bunda,” sahutku dari dalam kamar.

“Itu apa?” tanya Bunda sembari menunjuk totebag pemberian Kak Aga. Bunda memang perhatian sekali pada kedua putrinya. Setiap melihat sesuatu yang baru dari aku dan Bulan, beliau selalu mempertanyakan. Di balik seluruh kesibukan beliau mengurus pesantren, perempuan hebatku itu masih saja sempat menghafalkan barang-barang milik kami.

“Kenang-kenangan dari Kak Aga, Bun. Barusan dikasih ama Mbak Rahma,” jawabku.

“Apa isinya?” Bunda masih memperhatikan totebag yang kujinjing sembari mengernyitkan dahi.

“Gamis sama jam tangan, persis kayak punya Bulan.”

“Owalah, ya udah ayo. Buya sama Cak Fathur udah nunggu di garasi dari tadi.” Bunda menggamit lenganku, kemudian kami berjalan sembari bergandengan menuju garasi.

Hari ini, aku akan diantar oleh Buya dan Bunda. Kata beliau, aku pulang dijemput dari ndalem, maka ketika kembali aku pun harus diantar ke ndalem. Itu merupakan salah satu adab kepada guru. Lagipula, Buya ingin bersilaturahim kepada Abah dan Ummi sekaligus berterimakasih karena beliau berdua telah merawatku dengan baik. Oh iya, Buya dan Bunda ternyata menitipkan aku pada Abah dan Ummi tanpa sepengetahuanku. Mungkin itulah yang membuat Ummi begitu merasa bersalah ketika aku sampai pingsan di ndalem seminggu yang lalu.

*****

Aku berjalan pelan memasuki asrama santri putri. Tadi, setelah Buya dan Bunda pulang aku langsung pamit pada Ummi untuk segera masuk ke asrama. Pulang ke Malang selama satu minggu sungguh membuatku rindu pada suasana pesantren ini.

“Bening? Ya Allah, kamu udah sehat? Barusan balik, ya?” Aku menoleh dan mendapati Fina di belakangku. Gadis yang menjadi teman sekamarku ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini itu menatapku dengan raut semringah.

“Fin, kangen deh. Alhamdulillah udah sehat.” Aku meletakkan tas jinjing di tanah, kemudian memeluk Fina.

“Aku juga kangen kamu, ih.” Fina membalas pelukanku dengan erat. Meski tak lagi tinggal di kamar yang sama, aku, Fina, Laila, Ima, dan Mita masih sering berkumpul dan ke mana-mana bersama.

“Eh, sini aku bantu bawain barangnya.” Fina mengambil tas jinjing yang kuletakkan di tanah, kemudian membawanya.

“Tau gak, Ning? Kamu jadi trending topic di pesantren loh,” ucap Fina sembari berjalan.

Tranding topic gimana? Kok bisa? Emang aku ngapain?” Aku bertanya sembari mengernyitkan dahi. Hal apa yang telah kulakukan hingga menjadi pembahasan utama di pesantren?

“Awalnya sih cuma kabar kamu pingsan di ndalem. Eh, terus entah dari mana ada kabar-kabar susulan yang bilang kalo kamu pingsan gara-gara gak kuat menghadapi kenyataan,” jawab Fina.

“Hah? Menghadapi kenyataan apa?” Aku semakin mengernyitkan dahi tanda tak paham.

“Entah siapa biangnya, tapi mendadak di asrama lagi rame kabar kalo kamu pernah deket ama Gus Dewa. Terus, kamu pingsan di ndalem ya karena gak kuat liat Gus Dewa nikah ama Ning Bida. Beberapa santri merasa kasihan, beberapa yang lain justru nyinyir dan nganggep kamu gak tahu diri.” Fina bercerita sembari menatapku dengan ekspresi prihatin. 

“Astaghfirullah, itu kabar siapa yang bawa, sih? Gak bermutu amat. Mereka pada gak sibuk ngaji ama kuliah apa, ya? Masih sempet-sempetnya ghibahin orang,” sungutku. Entah siapa yang menjadi dalang dari kabar tak sedap ini, yang jelas aku sangat kesal. Apa untungnya orang itu membuat berita palsu tentangku dan menyebarkannya pada seluruh santri putri?

“Aku juga gak tahu, Ning. Sabar aja, ya. Lagian, dulu kamu pernah bilang ke aku, kan? Katanya, setiap orang memandang kita dengan pemahaman dan pengalaman yang berbeda, maka jangan risaukan omongan orang.” Fina mengusap bahuku untuk menenangkan.

“Masalahnya yang sekarang ini gak cuma nyangkut aku, Fin, ini juga nyangkut Gus Dewa, loh. Gimana kalo Ning Bida sampek denger? Kan, gak pantes banget. Lagian kalo aku pingsan gara-gara ditinggal nikah Gus Dewa, kenapa gak pingsan pas hari H beliau akad nikah sekalian? Ada-ada aja, ih.” Aku masih sebal setengah mati. Bisa-bisanya kabar setidak bermutu itu menyebar dengan cepat.

Bayangkan, aku baru pulang satu minggu, dan di pesantren ini berita palsu itu telah menyebar sedemikian pesatnya. Sungguh, betapa mudahnya menyebarkan sebuah informasi di zaman millenial ini.

“Ya udah sih, ntar kamu bisa jelasin ke orang-orang kalo kamu pas ada yang ngomongin.” Fina kembali mengusap bahuku. Aku mengangguk meski masih merasa kesal. Kami terus berjalan hingga sampai di depan kamarku.

“Assalamualaikum,” ucapku begitu memasuki kamar. Fina ikut masuk dan meletakkan barangku di belakang pintu.

“Waalaikumsalam. Eh, udah balik, Ning? Udah beneran sembuh, kan? Alhamdulillah.” Fadya menyambutku dengan wajah bahagia. Aku mengangguk dan memberinya senyuman. Kamar sedang sepi, hanya ada Fadya di tempat ini.

“Eh, itu aku bawa brownis di tas jinjing, Fad. Ambil aja, ntar dimakan bareng ama anak-anak.” Aku menunjuk tasku yang tadi dibawa oleh Fina.

“Siap,” sahut Fadya. Teman sekamarku itu segera mengambil brownis yang kumaksud, kemudian meletakkannya di atas lemari makanan. Membawa makanan ketika kembali ke pesantren sudah menjadi kebiasaan para santri. Maklum, tak banyak makanan yang ada di pesantren sebab kami diajarkan untuk hidup prihatin, tirakat istilahnya. Maka, ketika ada salah satu santri yang pulang, itulah momen membawa makanan dalam jumlah banyak.

“Kamu juga, Fin. Aku bawa beberapa kok. Ntar Mita, Ima, ama Laila juga aku suruh ngambil, biar dimakan ama anak kamar mereka.” Aku meminta Fina untuk ikut mengambil brownis sebab aku memang membawa beberapa kotak. Gadis itu mengangguk kemudian mengambil brownis seperti Fadya.

“Eh, apaan nih?” Fina mengangkat totebag dari Kak Aga yang kebetulan berada di samping tak jinjing.

“Gamis ama jam tangan, kenang-kenangan dari Kak Aga.” Aku menjawab pertanyaan Fina sembari melepas jilbab dan menyampirkannya di pintu lemari.

“Eh, kenang-kenangan? Maksudnya? Emang Kak Aga ke mana?” Fina menatapku sembari mengernyitkan dahi.

“Kak Aga pulang ke rumahnya, udah gak di Malang lagi.” Aku mengendikkan bahu, berusaha mengatakan kenyataan itu dengan ekspresi biasa saja. Padahal, sebenarnya hatiku masih sulit sekali mempercayai jika Kak Aga tak lagi ada dalam peredaranku.

“Yah, akhirnya Kak Aga pulang juga. Tapi, komunikasi kalian masih lancar, kan?” Fina mendekatiku yang kini tengah merebahkan tubuh di ranjang.

“Kak Aga bahkan ganti nomer dan aku gak tau nomer barunya.” Aku tersenyum miris. Entah mengapa abangku yang satu itu begitu aneh. Padahal, sejauh yang kuingat aku tak memiliki kesalahan yang fatal padanya.

“Ning, kamu baik-baik aja?” Fina menatapku dengan raut sendu.

“Kehilangan, Fin. Tapi, gakpapa kok. Kak Aga juga punya rumah dan orangtua, wajar kalo dia harus pulang. Dia gak mungkin selamanya tinggal sama Buya, Bunda, Bulan, dan aku, sementara dia juga punya keluarga sendiri.” Aku tersenyum lebar, berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

“Ning, beberapa tahun yang lalu aku pernah tanya ini ke kamu. Sekarang, aku pengen tanya hal itu lagi. Perasaan kehilangan kamu murni perasaan seorang adik yang kehilangan abangnya atau ada yang lain?”

Aku tersentak. Pertanyaan Fina membuatku berpikir, benarkah rasa kehilanganku hanya sebatas perasaan adik yang kehilangan abangnya, atau ada yang lain? Aku terbiasa ada Kak Aga. Abangku yang satu itu adalah tempatku menumpahkan segala perasaan, entah bahagia, sedih, sebal, marah, atau apa pun. Aku selalu merasa jika tak ada seorang pun yang dapat memahamiku sebaik Kak Aga. Aku merasa kehilangan sebab tak lagi ada sosok hebat yang biasanya membersamaiku dalam berbagai keadaan.

Namun, setelah kutelisik ulang, rasanya bukan itu alasannya. Sebab, aku ingin Kak Aga kembali ada di sisiku tak hanya sebagai abang yang hobi mendengarkan keluh dan memberiku petuah-petuah menenangkan. Aku baru sadar jika aku hanya butuh Kak Aga untuk selalu berada dalam peredaranku. Aku hanya butuh tahu bahwa Kak Aga baik-baik saja. Aku hanya butuh Kak Aga yang rajin menghubungiku. Aku tak peduli jika Kak Aga tak mau mendengar ceritaku atau memberi petuah apa pun. Aku sungguh hanya membutuhkan kehadiran Kak Aga.

Jadi, benarkah perasaanku ini masih murni perasaan kehilangan seorang adik atas kepergian abangnya? Atau, sebenarnya aku memiliki perasaan lain? Mendadak, aku merasa jika ada sebuah sudut yang kosong di dalam hatiku. Sudut itu kosong sebab seseorang yang biasa mengisinya kini telah pergi entah ke mana.

*****
Gimana, Rain? Udah peka belum. Gitu emang, ya. Kalau sudah tiada baru terasa. Eh, kok Naya jadi nyanyi sih, hihi.

Eh, siapa nih yang anak pesantren? Kalo pas balik pondok bawa jajan sebanyak apa? 🤣.

Selamat membaca, semoga suka. Ramaikan kolom komentar, ya. Kita ngobrol di sana 🥰.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar.

Salam Cinta,

Naya ❤️.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro