Dunia Telaga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Telaga

"Ga, anterin Ibuk ke pasar, ya. Tapi kamu ndak usah ikut jualan, langsung pulang aja. Bapak butuh bantuan buat benerin kandang kambing, semalem atapnya ada yang terbang kena angin." Aku yang tengah membaca tugas kuliah para mahasiswa di dalam kamar mendongak, menatap Ibu yang sudah rapi dengan kostum jualannya.

"Enggeh, Bu." Aku beranjak dan menyambar jaket kulit di gantungan pakaian, kemudian menyusul Ibu yang telah berjalan dulu ke teras.

"Nanti langsung pulang ya, Ga. Kandang kambing di belakang rumah rusak parah kayaknya, kamu bantuin Bapak. Jadi dosen ndak bikin kamu lupa cara megang palu, paku,sama gergaji, to?" Bapak yang tengah membersihkan gerigi gerjaji di teras menatapku sembari terkekeh.

"Iya, insyaa Allah, Pak. Nanti Aga langsung pulang. Udah lama gak megang barang-barang itu, sih. Tapi, semoga gak lupa." Aku menyahuti ucapak Bapak sembari ikut terkekeh.

"Ya sudah, sana anterin Ibukmu dulu, keburu siang ntar pasarnya sepi," titah Bapak.

"Enggeh, Pak. Aga berangkat dulu." Aku mencium tangan Bapak dan berpamitan, begitu pula Ibu.

Ini hari ke-30 aku di rumah, sebulan sudah. Sebenarnya tidak sebulan penuh, karena aku masih menjadi dosen di Malang. Setiap hari Senin hingga Rabu aku ke Malang dan tidur di rumah Malang, sisanya aku pulang ke sini. Bapak dan Ibu semringah sekali ketika melihat kedatangan pertamaku, sebulan yang lalu. Ibu bahkan langsung membuat tumpeng dan mengundang warga desa untuk pengajian di rumah. Dalam rangka kepulanganku setelah belasan tahun mengembara, kata beliau. Aku hanya terkekeh melihat antusias Ibu.

Semalam, aku sudah memutuskan untuk resign dari kampus akhir semester nanti. Aku lelah jika harus mondar-mandir dari rumah ke Malang sebab jarak yang harus kutempuh tak dekat. Lagipula, Tak ada yang bisa kuharapkan lagi di Malang, semua ceritaku telah selesai. Bapak juga senang dengan kepulanganku, beliau merasa lega karena akhirnya aku mau meneruskan pengelolaan madrasah. Padahal dulu, aku mati-matian menolak perintah Bapak untuk pulang dan mengurus madrasah beliau. Kala itu, kupikir Malang adalah pemberhentian terakhirku. Aku nyaman di sana dan tak ada rencana untuk ke mana-mana lagi, bahkan untuk pulang ke rumah sekali pun. Sayangnya, banyak rencana yang memang harus kurubah satu-persatu. An-nasu yudabbiru, Wallahu yuqoddiru. Manusia berencana, Allah yang memegang takdir dan segala kuasa. Aku yakin sepenuh hati jika Allah selalu memberikan yang terbaik.

Sebenarnya aku juga ingin menjual rumah yang di Malang, namun entah mengapa aku merasa sayang. Rumah itu kudapatkan dengan jerih payah yang tak mudah. Ada banyak keringat dan doa yang kurajut di sana. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengontrakkannya saja. Sebab, jika rumah itu kutinggalkan dalam keadaan kosong sampai waktu yang tak bisa kutentukan, ia akan tak terurus dan aku semakin menyayangkan keadaan itu.

"Ibuk masih ndak percaya kalo kamu udah pulang loh, Ga. Belasan tahun Ibuk kehilangan anak, sampek tak pikir kamu lupa jalan pulang. Adikmu yang mondok di luar kota hampir tak suruh nyusul ke Malang." Suara Ibu menghentikan lamunanku. Aku tersenyum di balik helm sembari membayangkan raut bahagia Ibu di belakang punggungku.

"Ibuk itu aneh, wong dulu Ibuk sama Bapak sendiri yang nyuruh Aga mengembara ke Malang. La sekarang kok malah diberat-berati." Aku terkekeh.

"Kamu itu lupa ingatan apa gimana? Ibuk sama Bapak kan nyuruhnya 10 tahun, kamu itu udah kelebihan tahun." Ibuk memukul punggungku pelan.

"Tapi, setelah 10 tahun kan Aga telpon ke rumah. Cuma telpon sih, gak pulang." Aku lagi-lagi terkekeh.

"La kalo udah 10 tahun kok kamu ndak telpon ke rumah ya mbangeti men to, Le. Apa kamu lupa orangtua?" (kebangetan sekali sih, Nak) Kali ini Ibu mencubit pinggangku.

"Hanggeh mboten to, Buk. Wong 10 tahun itu Aga ya pengen banget nelpon ke rumah, cuma kan inget pesennya Bapak, nafsu itu harus ditahan. Tirakat itu gak ada yang mudah, harus ada yang dikorbankan termasuk perasaan kangen." Aku memegang tangan Ibu yang tengah berpegangan di ujung jaket, kemudian menciumnya. Rasanya kami sudah seperti pasangan muda-mudi yang sedang pacaran di tengah jalan.

"Wes ndak usah neng ndi-ndi maneh yo, Le. Ibuk sama bapak ini udah tua, adikmu belum mau pulang ke rumah. Siapa yang mau jagain kami kalo kamu juga ndak mau pulang?" (Udah gak usah ke mana-mana lagi ya, Nak) Ibu mengusap punggungku dengan tulus. Airmataku rasanya hampir luruh. Aku laki-laki, tapi entah kenapa setiap berhubungan dengan Ibu, perasaanku mudah sekali tersentuh.

"Enggeh, Buk. Aga gak ke mana-mana lagi insyaa Allah." Aku menyahuti ucapan Ibuk sembari mengangguk.

Mendadak, aku teringat suasana rumah ketika aku pulang sebulan lalu. Ibu menangis histeris, memeluk sembari mencubit lenganku berulang kali, meyakinkan jika beliau tak sedang bermimpi. Bapak yang tengah mengasah sabit dan hendak mencari rumput untuk kambing sampai melemparkan alat itu ke kebun, dan langsung merangkulku dengan mata berlinang. Aku memang tak memberi kabar jika akan pulang. Wajar beliau berdua seterkejut itu.

Hari ini, keraguanku untuk meninggalkan Malang telah sempurna menghilang. Buya dan Ummi memang menyayangiku dengan tulus di sana. Tapi, di desa ini kedua orangtuaku telah menanti sepanjang tahun. Dan, aku seakan baru tersadar bahwa beliau berdua telah begitu sepuh untuk ditinggalkan berdua saja. Aku berjanji akan tetap di rumah, dan tak ke mana-mana.

*****

Ciiiiiittttt,

Aku mengusap dada setelah menarik rem motor mendadak. Beruntung, sepeda motorku tak sempat menabrak bocah kecil yang mendadak berlari di tengah jalan. Bocah yang kutaksir berusia empat tahun itu duduk di atas rumput pinggir jalan sembari menangis.

Aku memutuskan untuk meminggirkan motor, kemudian turun dan menghampiri bocah itu. Ya Allah, siapa orangtua anak ini? Mengapa bisa anak sekecil ini berkeliaran di tengah jalan tanpa pengawasan orangtuanya?

"Mukti, Ya Allah, Le. Kamu itu kok ngeyel banget, Ibuk kan udah bilang jangan main di jalan besar, bahaya."

Aku baru akan menenangkan tangis bocah itu, ketika dari arah berlawanan seorang perempuan berlari dengan tampang cemas. Tapi, kemudian aku menajamkan pandangan. Sepertinya aku kenal perempuan ini.

"Rubiyah? Kamu Rubiyah, to?" sapaku. Perempuan itu menggendong anaknya kemudian mendongak dan menatapku saksama.

"Kamu kok kenal aku, siapa?" Rupanya dia melupakanku.

"Kamu serius lupa sama aku?" Aku terkekeh.

"Sek sek," Rubiyah mengerutkan kening dan menatapku serius, "duh, Gusti, kowe Telo Bakar, to? Aku kok pangkling." Ia menepuk dahi dan tertawa. (Sebentar, duh, Gusti, kamu Ketela Bakar, kan? Aku kok lupa)

"Iyo, Telo Goreng. Iki aku Telo Bakar." (Iya, Ketela Goreng. Ini aku Ketela Bakar) Aku ikut tertawa.

Dia Rubiyah, teman masa kecilku. Dulu, namaku dijadikan bahan ejekan sebab terkesan aneh untuk lidah orang desa. Bapak memberiku nama Telaga ketika orang-orang desa memberi nama anak lelaki mereka dengan Tono, Jaka, atau Dimas. Teman-teman kemudian memanggilku Telo Bakar, berasal dari dua suku kata terdepan namaku. Tela dari Telaga. Dan, Rubiyah yang biasa dipanggil Ubi kemudian disebut Telo Goreng. Jadilah kami sebagai pasangan ketela pada masa itu. Teman-teman rajin sekali menjodoh-jodohkan kami.

"Kamu sekarang gagah banget loh, Ga. Kaget aku. Kapan pulang dari luar kota?" tanya Ubi. Anaknya kini sudah diam, tak lagi menangis.

"Udah dapet sebulan, Bi. Ini anakmu, ya?" Aku menjawab pertanyaan Ubi dan balik menanyainya.

"Iya, eh ayo duduk sebentar. Masak ngobrol sambil berdiri gini." Ubi menunjuk sebuah kursi di bawah pohon, kemudian duduk di sana. Aku menyusul dan duduk di samping anaknya.

"Kamu nikah sama siapa? Orang desa sini juga?" tanyaku. Ia mengangguk menjawab pertanyaanku. Tapi, entah kenapa aku menatap raut sendu dari wajahnya.

"Setelah lulus SMA, Pak e menjodohkanku sama anaknya juragan Yahya, Ga."

"Anak juragan Yahya? Dani yang ganteng itu? Pantes anakmu ganteng." Aku terkekeh sejenak, mencoba mencairkan suasana. Sebab, entah mengapa aku merasa jika suasana berubah kaku.

"Iya, sama Dani. Dia emang anak desa yang paling ganteng, nomor dua setelah kamu. Itu yang dulu anak-anak perempuan bicarakan," Ubi ikut terkekeh, "sayangnya, Bapakmu ndak bolehin kamu dekat-dekat sama anak perempuan. Coba kalo boleh, pasti pacarmu banyak," lanjutnya.

"Tapi, aku sama Dani itu beda, Bi. Dani ganteng dan kaya, aku ganteng aja tapi ndak kaya." Kali ini aku benar-benar tertawa.

"Ya emang beda, Ga. Dani ganteng, kaya, dan kurang ajar. Kamu ganteng, ndak kaya, tapi beradab." Aku mengernyitkan dahi, mengapa Ubi membicarakan hal buruk tentang suaminya?

"Jangan gitu, Bi. Dia kan suamimu," ucapku.

"Aku sudah jadi jandanya Dani empat tahun yang lalu, Ga. Dia bukan suamiku lagi," sahut Ubi. Kali ini aku benar-benar tekejut.

"Dari dulu aku tahu kalo Dani itu laki-laki yang ndak baik, Ga. Awalnya aku juga ndak mau dijodohkan sama dia. Tapi, Pak e memaksa, katanya kalo aku jadi istri Dani, hidupku bakal bahagia. Boro-boro bahagia, makan ati aku tiap hari." Ubi bercerita bahkan sebelum aku sempat bertanya apa-apa.

"Kamu tahu to, Ga? Dani itu dari dulu gonta-ganti pacarnya. Tak pikir setelah nikah dia bakal tobat. Gak tahunya sama aja. Bahkan pas aku lahiran, dia gak nemani malah sibuk di rumahnya Yu Karni. Gila emang dia." Aku menatap prihatin anak Ubi, kasihan sekali bocah itu. Seisi desa tahu, rumah Yu Karni adalah tempat pelacuran.

"Aku jelas ndak terima. Aku lagi berjuang dia malah kurang ajar. Akhirnya aku minta cerai. Biar aja jadi janda, daripada tiap hari aku sakit hati." Ubi masih melanjutkan ceritanya.

"Awalnya aku benci banget sama Mukti," Ubi menatap anaknya sejenak, kemudian kembali bercerita, "wajahnya mirip banget sama Dani. Anak ini hampir tak bunuh, Ga. Warga desa sampek gempar, bilang aku gila. Aku terkenal banget pas itu."

Aku menggumamkan istighfar dalam hati. Ternyata banyak yang telah kulewatkan dari desa ini.

"Untungnya, bapakmu dateng ke rumahku. Aku dirukyah, dibacakan doa-doa, terus didawuhi banyak hal. Seperti biasa, bapakmu itu mirip banget sama kamu. Sama-sama menenangkan. Entah kenapa lama-lama aku bisa memaafkan diriku sendiri." Ubi tersenyum. Ah, bukan Bapak yang mirip aku, akulah yang banyak belajar dari beliau. Bapak memang dianggap sebagai sesepuh desa, banyak orang meminta doa pada beliau.

"Sekarang, alhamdulillah hidupku sudah membaik, Ga. Kamu gimana di kota? Udah nikah? Istrimu pasti cantik, pinter." Ubi memangku anaknya, kemudian menatapku.

"Aku belum nikah, Bi." Aku menggeleng pelan. Entah mengapa, setiap mendengar kata menikah ingatanku selalu tertuju pada Rain. Raina Putri Bening. Ah, mengingat gadis membuatku kehilangan semangat.

"Oh, iya, Bi. Aku harus pulang. Disuruh Bapak bantu benerin kandang kambing. Aku duluan, ya." Aku segera berdiri sebelum Ubi menanyaiku banyak hal. Beruntung, aku punya alasan untuk pamit.

"Owalah, iya. Kapan-kapan mainlah ke rumahku, Ga. Kita bisa cerita-cerita. Aku bakal seneng banget kalo kamu ke rumah." Ubi menatapku dengan raut penuh harap. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan insyaa Allah, kemudian segera berlalu.

Sepanjang perjalanan pulang, entah mengapa kepalaku dipenuhi dengan wajah Rain dan Ubi yang bergantian. Aku jadi bingung, mengapa mendadak ada wajah Ubi? Bukankah biasanya hanya ada wajah Rain?

*****

Kak Aga mudik dulu, ya. Nostalgia sama kenangan dulu. Gini-gini Kak Aga juga punya masa lalu. Masak cuma Rain aja yang punya, kan gak seru, haha.

Banyakin komentar dong, biar Naya tahu perasaan kalian pas baca cerita ini 😍.

Oh ya, Naya mau minta tolong, hehe. Kalo share apa pun dari cerita Naya, baik gambar atau tulisan di instagram atau sosmed lainnya, boleh ditag ke akun @naya_zayyin ya. Biar Naya tahu dan bisa repost, hehe.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar ❤️.

Salam Cinta,

Naya ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro