Dewa Berkawan Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku melangkah keluar ruangan dengan wajah tertekuk, sebal dengan mata kuliah filsafat yang baru saja kulalui. Dosen mata kuliah itu terus saja memandangku, memberiku bermacam-macam pertanyaan aneh yang tak bisa kumengerti. Oh baiklah, kuralat! Dalam Ilmu Filsafat tidak ada sesuatu yang aneh, segala sesuatunya ada hukum sebab-akibat. Jadi, aku saja yang menganggapnya aneh, mungkin karena aku memang tak berminat dalam bidang itu.

"Bening, mau langsung pulang ke pesantren?" Aku menoleh, mendapati Kayla menyejajarkan langkah di sebelahku.

"Males sih, di pesantren gak ada kerjaan juga. Tapi, bingung mau ke mana." Aku menggamit tangan Kayla, menggandengnya.

Kayla ini salah satu kawan kuliah yang dekat denganku, ia asli Surabaya. Tinggal di rumahnya sendiri, bukan di asrama, indekos, apalagi pesantren.

"Ke Libreria yuk, daripada gak ada kerjaan." Aku segera mengangguk, semangat dengan ajakan Kayla.

Libreria adalah tempat nongkrong paling nyaman menurutku. Di sana, aku bisa memesan makanan sembari membaca buku dengan santai. Oh ya, aku hobi membaca. Ingat! Hanya membaca, bukan menulis. Aku tak pandai merangkai kata.

"Ya udah yuk"" Kayla ikut bersemangat, menarik tanganku untuk segera meninggalkan kampus.

*****

"Lemon pie, blueberry cheese cake ama jus strawberry dua, Mas." Aku menyebutkan pesanan pada pelayan lelaki yang menghampiriku dan Kayla begitu kami duduk di sebuah kursi.

"Ning, Pak Tio si dosen filsafat tadi kayaknya sengaja banget cari perhatian ke kamu deh." Kayla bersuara usai pelayan lelaki itu pergi membawa catatan pesanan kami.

"Eh," Aku menatap Kayla seketika. Dia memperhatikan dosen menyebalkan tadi? Kurang kerjaan sekali.

"Sekelas isinya 35, Ning. Masak yang ditanyain kamu mulu. Bikin si Yuna cemberut mulu dari awal masuk." Kayla terkekeh. Yuna adalah kawan kami di kelas yang senang sekali menjawab pertanyaan dosen. Sayangnya, siang ini ia tak kebagian pertanyaan sama sekali.

"Aku agak sebel sih, tau aku gak bisa jawab malah semakin ditanyain mulu. Mana pertanyaannya bikin pusing." Aku mendengkus kesal.

"Kalo menurut aku, Pak Tio sengaja caper ke kamu." Aku mendelik ke arah Kayla. Bisa-bisanya ia berucap seperti itu. Sesebal apapun, Pak Tio tetap dosen kami. Mana boleh menjelek-jelekkan beliau? Eh, perkataan Kayla baru saja termasuk kategori menjelek-jelekkan bukan sih?

"Aku beneran, Bening. Lagian kamu sih, cantiknya gak dibagi-bagi. Tuh hidung bangir kasihin ke aku dikit napa, atau kalo gak bulu mata kamu yang kelewat lentik itu dipotong dikit. Eh, apa mata lebar kamu aja yang dioperasi, biar agak sipitan." Kayla justru terbahak menanggapi ekspresi sebalku.

Aku memutar bola mata jengah. Malas menanggapi Kayla yang mulai mengomentari setiap sudut wajahku. Aku kembali fokus pada sebuah novel yang tadi telah kubaca beberapa lembar, melanjutkan membaca.

"Ning, ada cowok ganteng duduk di deket pintu. Ih, ganteng banget sih." Kayla kembali bersuara. Aku mengendikkan bahu, tak acuh.

"Bening, noleh bentar deh. Ganteng banget itu, mubazir kalo gak diliatin." Kayla mengguncang tanganku, membuat kegiatan membacaku terganggu.

"Apa sih, Kay? Bukan mahrom ih, jaga pandangan." Aku mendengkus sebal, tak suka jika hobiku diganggu.

"Haduh, udah kayak anak kyai aja, Bening. Gak usah sok alim sih. Ayolah, noleh bentaran aja, Ning." Kayla masih mengguncang lenganku, membuatku semakin kesal. Aku memutuskan untuk diam, mengabaikan ocehannya.

"Eh, tapi kok dia kayaknya ngeliatin kamu mulu. Kamu kenal?" Kayla kembali bersuara.

"Ya Allah, aku gak tau, Kay. Biarin sih, dia kan punya mata. Bebas lah mau mandangin siapa aja. Liatin kamu kali, bukan aku." Aku masih menatap novel, enggan memperhatikan Kayla.

"Ning, beneran dia liatin kamu terus. Eh, tuh kan, dia malah jalan ke sini." Suara Kayla terdengar antusias. Aku hanya mengendikkan bahu, malas menanggapi gadis yang memang suka heboh itu. Novel di hadapanku jauh lebih menarik.

"Assalamualaikum, Bening. Suka kesini juga?" Aku terkesiap seketika, refleks mendongak dan mengabaikan novelku.

Suara itu, suara yang sering kali membuat jantungku berdebar tak sopan. Mengapa suara itu ada di mana-mana? Mendadak, aku menyesali ketidakpedulianku pada ucapan Kayla. Seandainya saja aku memperhatikan ucapan Kayla sejak tadi, setidaknya aku bisa menyiapkan obrolan untuk seseorang yang baru saja menyapaku ini. Eh, memangnya dia mau mengajakku mengobrol?

"Bening, dijawab dong salamnya." Aku tergagap begitu Kayla berbisik sembari menyenggol kakiku.

"Eh, wa ... waalaikumsalam, Gus. Iya, suka ke sini. Aku menjawab gugup. Lelaki itu, Gus Dewa. Ia mengangguk menanggapi jawabanku sembari tersenyum manis. Ah iya, lelaki ini memang terlihat tampan. Persis seperti yang dikatakan oleh Kayla.

"Boleh gabung di sini sementara? Aku lagi nungguin temen, dari tadi gak dateng-dateng." Sebelum aku menyetujui permintaan bergabung Gus Dewa, Kayla telah mengangguk antusias sembari berpindah di kursi sebelahku, memberikan kursinya untuk putra ketiga Abah Yai itu.

"Siapa, Ning? Kok gak dikenalin ke aku?" Aku mencubit pelan lengan Kayla, membuatnya mengaduh lirih. Lelaki di depanku ini putra Abah Yai, belum lagi ia merangkap jabatan sebagai ustaz sekolah malamku. Ah iya, pengganti Ustaz Hadi adalah Gus Dewa. Ia mengajar kajian Riyadhus Sholihin di kelasku saat ini. Sungguh, ia lelaki terhormat yang tidak seharusnya duduk bersamaku di tempat ini. Dan Kayla, dengan santainya menyuruhku mengenalkan lelaki ini? Ya Allah, Kay. Apa maksudmu?

"Eh iya, aku Dewa. Kamu?" Gus Dewa justru mengenalkan diri, membuat aku menepuk dahi. Permainan apa ini?

"Kayla, Mas. Temennya Bening." Kayla menjawab pertanyaan Gus Dewa dengan senang hati. Aku memilih diam, enggan ikut campur dengan sesi perkenalan mereka berdua.

"Bening..."

"Iya, Gus?" Aku masih enggan mendongak, memilih menyahuti panggilan Gus Dewa sembari menatap novel

"Kamu aslinya mana?" Gus Dewa kembali membuka suara.

"Surabaya tulen, Mas." Aku mengulum senyum. Jelas-jelas Gus Dewa menanyakan daerah asalku, tatapan matanya mengarah padaku ketika mengajukan pertanyaan. Namun, mengapa justru gadis Kota Pahlawan itu yang menyerobot jawaban?

"Oh, Surabaya. Kalo Bening?" Gus Dewa tersenyum rikuh. Ia berpura-pura mengangguk, namun tetap saja mengajukan pertanyaan yang sama padaku. Aku paham, ia hanya tak mau mengecilkan hati Kayla, maka ia menghargai jawaban gadis abstrak itu.

"Malang, Gus. Kan, adeknya Kak Aga. Kak Aga orang Malang, aku juga." Aku menjawab pelan, bingung harus bersikap seperti apa. Rasanya serba canggung berhadapan dengan Gus Dewa, apalagi ia sedang dalam mode santai seperti ini.

"Oh iya sih. Ngomong-ngomong, beneran kamu gak mau panggil aku pake panggilan selain Gus?" Gus Dewa menatapku sejenak, kemudian kembali menunduk.

"Gak enak, Gus. Lagian Gus Dewa kan putranya Abah Yai, belum lagi sekarang jadi ustaz sekolah malam, sungkannya jadi berlipat-lipat." Aku tersenyum singkat.

"What? Putra Kyai? Ya Allah, Bening. Kenapa kamu gak ngomong? Aku malu." Kayla menyenggol kakiku sembari berbisik lirih. Aku tersenyum kecil menatapnya. Aneh sekali anak ini. Bukankah sejak tadi aku telah memanggil lelaki di hadapanku dengan sebutan Gus? Kemana saja pendengarannya?

"Sebenernya aku gak suka ada pembedaan-pembedaan macam itu, tapi ya udahlah. Senyaman kamu aja mau manggil aku apa." Aku menarik nafas pelan. Oh, Gus Dewa. Aku tak memiliki sedikit pun nyaman jika sedang berada di sekelilingmu.

"Ehm, nama kamu Raina Putri Bening ya?" Gus Dewa kembali menatapku sejenak, kemudian mengalihkan pandangan. Aku mengangguk.

"Aku kayak pernah denger nama itu. Familiar, tapi lupa." Gus Dewa terlihat berfikir.

Jantungku rasanya berloncatan. Gus Dewa putra Abah Yai, sedikit banyak pasti tau tentang keluarga-keluarga kyai lain. Bagaimana jika Gus Dewa tau kalau aku putri Buya Rasyid?

"Wa, udah lama nungguin? Sorry, macet tadi di jalan." Seorang lelaki muda menepuk pundak Gus Dewa.

"Eh, Fan. Gakpapa, nih untung ada yang nemenin." Gus Dewa menoleh, menyalami lelaki itu.

"Ini Irfan, temen aku. Ya udah ya, kita pindah ke meja lain dulu. Selamat bersantai, Bening, Kayla. Assalamualaikum." Gus Dewa bangkit, mengajak kawannya untuk duduk di kursi dekat pintu masuk cafe.

"Waalaikumsalam." Aku dan Kayla serempak menjawab salam.

Aku menghembuskan nafas lega. Kawan Gus Dewa datang di waktu yang tepat, membuat Putra Abah Yai itu tak punya waktu lebih lama untuk mengingat-ingat perihal namaku yang katanya familiar.

"Ya Allah, Bening. Itu Putra Kyainya pesantren kamu? Gila! Ganteng banget." Suara heboh Kayla kembali menyapa indra pendengarku.

"Gus itu, Kay. Dosa kamu kayak gitu, gak sopan." Aku memutar bola mata jengah.

"Kok bisa kayak udah deket banget gitu ama kamu? Emang kayak gitu ya kalo di pesantren?" Kayla tak menanggapi teguranku, ia masih saja antusias membahas Gus Dewa.

"Adik tingkatnya Kak Aga pas kuliah di Malang. Gak deket juga sih, biasa aja. Kan, tadi kebetulan ketemu." Aku menjawab singkat, berharap Kayla tak lagi bertanya.

"Oh, kirain kamu ada darah kyai juga, makanya dia kenal." Kayla tertawa. Kalimat gadis itu membuatku terpaku sejenak. Enggan memikirkan ocehan tak berfaedah Kayla, aku memilih kembali menekuni novel sembari meminum pesanan jus strawberry yang telah datang sejak tadi.

"Eh ya, Ning. Kak Aga juga ganteng sih. Enak ya kamu, dikelilingi orang-orang ganteng. Jadi iri."

"Eh tapi pantes sih, kamu cantik juga. Dibagi dikit ke aku sih cantiknya, Ning."

"Kay, bisa diem gak? Aku pulang nih. Kamu bikin aku gak fokus ke novel tau gak?" Aku menatap Kayla gemas. Gadis itu benar-benar membuat konsentrasi membacaku terberai.

"Yang bikin gak fokus aku apa Gus Dewa? Hayo?" Kayla terbahak. Ia terlihat bahagia menyaksikan muka masamku.

Ah baiklah, sepertinya ada satu hal yang harus kuakui. Sebenarnya konsentrasiku bukan hanya teracuni oleh suara Kayla. Lelaki yang duduk di dekat pintu cafe itulah tersangkanya. Sejak ia bergabung tempat duduk hingga ia memilih berpisah dan memilih tempat duduk sendiri, jantungku masih saja berdegup tak jelas. Benar-benar keadaan yang membuat fokusku pada novel berkurang drastis. Dan ketika aku menoleh sejenak ke arah itu, Ya Allah, lelaki tampan itu masih saja menatapku. Lagi-lagi membuat kerja jantungku tak normal.

Ya Allah, apa artinya semua ini?

*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro