Telaga Ternyaman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mengedarkan pandangan, mencari-cari seseorang. Senyumku seketika terbit begitu mendapati seorang lelaki berkaos coklat dengan celana kain sedang duduk manis di sebuah kursi tunggu.

“Udah lama, Kak? Maaf tadi jalannya macet, weekend sih.” Dia Kak Aga, yang dengan sigap segera mengambil alih ransel yang ada di punggungku.

“Gak, baru lima menit yang lalu.” Kak Aga tersenyum sembari berjalan mendahuluiku.

“Bunda tau kalo Kak Aga jemput aku?” Aku berjalan cepat, menyejajarkan langkah dengan Kak Aga. Ia terlihat mengangguk.

“Tadi Bulan mau ikut juga, tapi mendadak hujan. Ummi minta temenin dia buat ujan-ujanan.” Kak Aga tersenyum kecil. Aku menggeleng geli, takjub dengan perilaku Bunda yang kembali menjadi kanak jika berhubungan dengan hujan. Beruntung Buya membuat sebuah taman yang lumayan luas di dalam lingkungan rumah. Jadi, para santri tak perlu tau kebiasaan aneh Bunda itu.

Oh ya, aku dan Kak Aga sedang berada di terminal. Aku pulang ke Malang setelah tiga bulan tak besua dengan Buya, Bunda, Bulan dan Kak Aga. Aku rindu mereka. Sebenarnya Kak Aga ingin menjemputku ke pesantren. Namun aku menolak, beralasan ingin merasakan sensasi menaiki kendaraan umum antar kota seorang diri. Dan ya, rasanya mengasyikkan, tak buruk meski aku harus menikmati macet pada beberapa titik jalan.

Tapi bukan Kak Aga namanya jika tak pintar mencari celah, dia memaksa menjemputku di terminal dengan alasan Malang sedang hujan. Padahal lihatlah, mungkin di pesantren memang sedang hujan, tapi di terminal masih mendung saja, belum ada setetes pun rintik -yang kata Bunda rahmat itu- turun membasahi tempat ini. Lagipula, namaku saja Hujan, tentu saja hujan bukan masalah bagiku. Tapi baiklah, setidaknya aku harus menghargai pertolongan Kak Aga meski aku tak meminta.

“Kak Aga sibuk apa tiga bulan ini?” Aku kembali membuka suara begitu mobil Kak Aga melaju meninggalkan terminal.

“Masih seperti biasanya, pagi ngajar di MI, malem ngajar pesantren, Jum'at, Sabtu, Ahad fokus kuliah.” Kak Aga menjawab santai. Pandangannya fokus pada jalanan.

“Terus kenapa maksa mau jemput aku? Sibuk gitu. Ini juga hari sabtu kan? Kok gak fokus kuliah?” Aku menoleh, menatap Kak Aga dengan tatapan tak suka.

“Libur fokus buat sehari aja setelah berbulan-bulan, gak salah kan, Hujan? Lagian ini spesial buat nyambut kepulangan adeknya Kakak yang cantik. Tiga bulan lebih kamu gak pulang, kirain Kakak udah lupa ama Malang.” Kak Aga melirikku sembari terkekeh pelan. Aku memajukan bibir mendengar kekehan Kak Aga. Mana mungkin aku melupakan kota kelahiranku? Ada-ada saja.

“Kak Aga kenapa ngajar MI sih? Kan bisa ngajar SMA, ntar jadi guru BK gitu.” Aku mencari pembahasan lain, tak lagi fokus pada masalah S2 Kak Aga.

“Apa bedanya emang? Sama-sama ngajar kan?” Kak Aga justru berbalik menanyaiku.

“Ya kan jadi sejalur ama kuliahnya Kak Aga. Psikologi jadi guru BK gitu kan gak menceng-menceng amat. Lah kalo ngajar MI, kenapa dulu pas kuliah gak ngambil jurusan PGMI aja?" Aku menjawab sebisaku. Kak Aga terlihat mengulum senyum.

“Pertama, yang sejalur ama Sarjana Psikologi bukan cuma guru BK. Anak kecil jauh lebih membutuhkan implementasi dari ilmu itu, Hujan. Masih banyak guru atau orangtua yang belum memahami psikis anak dengan baik. Walhasil, mereka tumbuh menjadi remaja-remaja bermasalah yang justru menyusahkan para guru BK di SMP atau SMA mereka kelak. Pendidikan yang baik justru pendidikan yang diterapkan sejak dini, bukan?”

“Kedua, Kakak emang suka anak kecil. Lihat mata mereka, Hujan. Bening, seperti nama kamu. Menatap mereka selalu membuat Kakak nyaman, mereka tanpa dosa.”

“Sekarang yang ketiga, masalah materi. Kalo kamu mau tanya bayaran yang Kakak dapat selama sebulan mengajar MI, kemudian kamu bandingkan dengan bayaran para guru SMA, kamu tidak akan menemukan bandingannya, Hujan. Semua tergantung status kamu, guru honorer, guru tetap atau pegawai negeri. Lagipula, rejeki itu milik Allah. Kita hanya ditugaskan untuk mengikhtiyarkan, setidaknya kita telah berusaha. Sisanya, itu mutlak hak Allah.”

Aku menatap Kak Aga tanpa kedip. Masih seperti biasanya, Kak Aga selalu membuat aku terpesona dan takjub. Aku hanya bertanya satu kalimat, namun Kak Aga memberi jawaban sekaligus pemahaman sebanyak itu. Menjelaskan dengan gamblang tanpa nada menggurui. Memberi jawaban dengan suara serak dan intonasi tenang khasnya. Ah, Kak Agaku memang hebat, tampan pula. Sayangnya, masih saja sendiri. Aku jadi curiga, apa mungkin tak ada yang meliriknya? Teman kuliahnya, teman organisasi, atau mungkin teman mengajarnya?

“Oke, aku setuju.” Aku mengangguk semangat.

“Setuju apanya?” Kak Aga mengernyitkan dahi.

“Setuju ama pemikiran Kak Aga. Lebih baik ngajar MI kan?” Aku menatap Kak Aga.

“Bukan lebih baik, Hujan. Sama baiknya. Di mana pun kamu mengajar, bahkan tak harus mengajar. Apapun pekerjaan kamu, asal ilmu kamu bermanfaat, asal itu halal, semuanya baik. Hanya saja, setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda. Kamu dengan pemikiran kamu, orang lain dengan pemikiran mereka. Tugas kita hanya saling menghargai, bukan memaksa mereka untuk ikut meyakini pemikiran kita.”

“Kamu tidak bisa memaksa seseorang untuk menggunakan sepatumu, kalian berbeda ukuran. Begitu pula masalah pemikiran dan keyakinan. Mengajak boleh, tapi memaksa, jangan!” Kak Aga kembali berpanjang lebar. Aku tersenyum sembari mengangguk. Ini alasanku selalu suka berdiskusi hal apapun dengan Kak Aga. Dia membuatku nyaman.

“Kak, kenapa aku gak pernah dikenalin ke pacarnya Kak Aga sih?” Aku bertanya asal. Perjalanan terminal menuju pesantren lumayan jauh, dan aku tak ingin ada keheningan jika sedang bersama Kak Aga.

“Astaghfirullah, Hujan. Pacaran itu gak ada. La taqrobuu zina, dan janganlah kalian mendekati zina. Pacaran itu mendekati zina.” Kak Aga menggelengkan kepala, beristighfar dengan pertanyaanku.

“Eh, ya udah bukan pacar. Seseorang yang spesial gitu, mungkin. Masak sih gak ada yang ngelirik Kak Aga? Kak Aganya Hujan kan keren.” Aku terkekeh.

“Kakak belom mikir kesana, Hujan. Masih mau fokus ke S2.” Kak Aga menjawab singkat. Aku mendengkus sebal, selalu saja begitu. Kak Aga selalu menjadi irit bicara jika kuajak membahas wanita, menyebalkan.

“Ya minimal harus udah ada pandangan dong, Kak. Jadi ntar, begitu dapet ijazah S2, langsung bisa ijab sah. Kan seru tuh.” Aku mengomel, Kak Aga hanya mengendikkan bahu.

“Ngajakin taaruf siapa gitu sih, Kak. Aku kan juga pengen punya kakak perempuan, seru pasti.” Aku masih melanjutkan pembahasan tentang wanita spesial untuk Kak Aga, tak peduli dengan ekspresi masamnya.

“Di rumah kan udah ada Mbak Rahma, Mbak Ana, Mbak Jannah dan mbak-mbak yang lain. Masih kurang?” Kak Aga melirikku.

“Ih, ya beda dong, Kak. Mbak-mbak itu kalo ke aku kayak mereka ke Buya, gak seru. Gak kayak Kak Aga yang biasa aja. Kalo Kak Aga punya kenalan cewek, ntar pasti sikapnya sama kayak Kak Aga ke aku, jadi seru.” Aku berucap semangat, membuat Kak Aga tersenyum sembari menggelengkan kepala.

“Kakak belom kepikiran ke sana, Hujan.”

“Terus kapan mau mikir ke sana, Kak?” Aku mendengkus sebal.

“Nanti kalo udah waktunya.” Kak Aga menjawab singkat.

“Gak akan dateng waktunya kalo Kak Aga gak mulai. Minimal udah mulai lihat-lihat dari sekarang, Kak.” Aku masih mengomel, memaksa Kak Aga mencari seseorang.

“Ngelirik yang bukan mahrom aja dosa, Hujan. Apalagi melihat, udah kategori mendekati zina itu.” Kak Aga mecari alasan.

“Terus kenapa Kak Aga sering liatin aku? Kan kita bukan mahrom, masuk dosa juga kan harusnya?” Aku reflek menjawab. Kak Aga menoleh sejenak, tatapannya tak terbaca.

“Kamu gak capek perjalanan dari Surabaya? Tidur sana. Ntar kalo udah sampek rumah Kakak bangunin.” Aku mengernyitkan dahi, merasa tak menemukan adanya relasi antara kalimat yang baru saja Kak Aga ucapkan dengan pertanyaan yang kusampaikan.

“Istirahat, Hujan. Kakak harus fokus ke jalanan. Jalannya licin, sisa hujan. Kalo kamu ngajak Kakak ngobrol terus, bahaya.” Kak Aga kembali bersuara.

Aku menarik napas, mengembuskannya kasar. Kak Aga selalu mengalihkan pembicaraan jika aku mulai bertanya tentang status ketidakmahroman kami. Kadang aku sebal, tapi bagaimana lagi? Kak Aga selalu tak nyaman jika aku mulai membahas tentang itu. Dan aku tak ada keberhakan apapun untuk menanyakan hal-hal itu. Bertanya tentang hubungan mahrom sama saja bertanya tentang keluarga Kak Aga, bukan?

Aku memalingkan wajah jendela, menatap gerimis yang mulai turun membungkus Kota Apel. Mengabaikan Kak Aga yang katanya ingin fokus pada jalanan licin.

*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💖.~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro