Kembali Ke Sarang Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Hujan, sudah sampai. Bangun.” Aku mengerjapkan mata mendengar suara Kak Aga. Ternyata aku benar-benar tertidur selama sisa perjalan. Mungkin lelah selama di dalam bus menjadi sebabnya.

“Udah reda hujannya, Kak?” Aku menguap pelan, melirik Kak Aga yang sedang melepas sabuk pengaman.

“Udah, ayo turun. Eh?” Kak Aga tiba-tiba menatapku sembari mengernyitkan dahi. Aku yang ditatap justru bingung dengan ekspresi Kak Aga. Ada apa?

“Kamu pake celana? Kenapa Kakak gak nyadar dari tadi sih? Tau kalo kamu pake celana kan tadi bisa mampir dulu ke pom bensin, ganti rok.” Kak Aga menatapku khawatir, membuatku semakin bingung.

“Emangnya kenapa sih, Kak?” Aku menguap lagi, kantukku masih tersisa.

“Gimana pandangan para santri kalo liat Ningnya pake celana, Hujan? Gak sopan.” Kak Aga menggelengkan kepala.

“Ish, siapa coba yang pernah ngomong ke aku kalo mau jadi diri sendiri ya harus abai ama sekitar? Bodo amat sih, Kak. Lagian ini kan celana kulot, bukan jenis jeans yang ketat itu.” Aku memajukan bibir, kesal dengan kekhawatiran Kak Aga.

“Kalo Kakak, Buya, Ummi ama Bulan masih bisa memahami kamu, tapi para santri gak, Hujan.” Kak Aga masih menatapku.

“Biarin, Kak. Aku gak peduli, udah ah ayo masuk.” Kali ini aku sebal dengan nasihat Kak Aga.

Ini rumahku, seharusnya segala sesuatunya terserah padaku. Kenapa pula harus peduli pada pendapat banyak orang tentang kegiatan dan seluruh tingkah yang kulakukan di dalam rumahku sendiri? Aku tuan rumahnya, aku berhak atas diriku sendiri.

Inilah yang membuatku sedikit kesal dengan Malang. Perihal celana saja menjadi masalah. Oh ayolah berfikir positif, aku melakukan perjalanan dengan transportasi umum. Dengan suasana sesak di dalam bus, kemudian pemandangan kemacetan Surabaya pada beberapa titik, apa mungkin aku masih betah dengan ruang gerak yang semakin menyempit karena rok? Membayangkannya saja aku gerah. Mungkin bagi sebagian orang, hal itu bukan masalah. Namun bagiku, itu jelas masalah. Bukankah setiap orang memiliki definisi nyaman masing-masing?

Baiklah kukatakan, aku tak suka pakaian-pakaian panjang macam itu. Salah? Mungkin iya, bagi kalian yang sudah terbiasa dengan pakaian itu. Bagi kalian yang telah mempelajari berbagai dalil dan ilmu tentang cara berpakaian seorang muslimah dengan sungguh-sungguh. Tapi, tidak semua orang akan mengatakan salah bukan? Lagi-lagi seperti kata Kak Aga, setiap orang memiliki pendapat, pemikiran dan kesenangannya masing-masing. Tak berhak menyalahkan seseorang hanya karena ia berbeda denganmu.

Lagipula, kutekankan sekali lagi. Meski tak menyukai pakaian-pakaian itu, sejauh ini aku masih memakai pakaian yang sopan. Bukan jeans atau kaos ketat. Aku paham pakaian seperti apa yang baik untuk kukenakan.

“Ning.” Seorang gadis muda sigap meraih tanganku begitu kakiku melangkah masuk ke dalam rumah.

“Eh,” Segera kutarik tanganku begitu gadis itu hampir menciumnya. Aku mengangguk dan tersenyum, kemudian berlalu. Namun seketika, pemandangan melelahkan menghadangku. Lihatlah, para mbak yang sering membantu Bunda di rumah telah berjajar rapi, menantiku masuk untuk menyalamiku satu persatu. Ya Allah, beberapa dari mereka bahkan lebih tua dariku.

Aku menoleh, Kak Aga tak terlihat. Mungkin Kakak hebatku itu lewat pintu belakang. Ah, seharusnya aku mengikutinya saja, tak perlu berhadapan dengan para santri Buya, apalagi dengan kostum seperti ini. Kak Aga benar, rikuh rasanya melihat para santri yang menatap aneh pada pakaian bawahku.

“Mbak Rahma, itu mbak-mbaknya suruh bubar aja. Aku udah capek, maaf.” Aku mendekati Mbak Rahma, berbisik lirih. Tempat berdiri Mbak Rahma kebetulan paling dekat untuk kujangkau.

Bukannya aku sombong, tapi jika aku tak memberi alasan itu, mereka akan selalu melakukan kegiatan itu sampai kapan pun. Menunggu kedatanganku sejak aku masih menginjakkan kaki di terminal, berjajar rapi menyambutku. Oh ayolah, aku bukan siapa-siapa, tak perlu sehormat itu. Di keluarga ini, hanya Bunda dan Buya yang hebat. Oh, tambah satu orang lagi, Gus Aga, begitu para santri memanggil. Aku dan Bulan? Kami hanya menumpang tenar di rumah ini, kebetulan darah Bunda dan Buya mengalir pada kami. Tak seharusnya mereka sehormat itu pada kami berdua. Lagipula, mereka pasti memiliki banyak kesibukan. Kegiatan menyalamiku tak ada faedahnya sama sekali.

“Oh, iya, Ning, Maaf kami malah mengganggu. Silahkan istirahat." Mbak Rahma mengangguk takdzim. Ia meraih tanganku, menyalami dan hampir menciumnya. Lagi-lagi, dengan sigap aku menarik tangan.

“Aku masuk dulu, Mbak. Besok-besok kalo aku pulang, mbak-mbak gak usah kayak gini. Kasihan, mending ngerjain hal lain aja.” Aku ikut menganggukkan kepala.

“Eh, Ning Rain gak bawa ransel? Bisa saya bawakan.” Mbak Rahma kembali bersuara, membuatku urung melangkah.

“Sudah dibawa Kak Aga. Aku masuk dulu, Mbak. Assalamualaikum.” Aku segera berlalu setelah menganggukkan kepala dan berjalan cepat di hadapan para santri putri Buya.

*****

“Gimana rasanya kuliah?” Bunda memasuki kamarku, aku segera menutup mushaf setelah mengucapkan lafadz penutup bacaan Qur'an. Ini sabtu malam ba'da isya, tak ada kegiatan apapun di pesantren. Santri diperbolehkan menikmati sabtu malam mereka dengan bersantai, tak ada jadwal madrasah diniyah malam khusus satu malam dalam seminggu ini. Karena santri tak memiliki kegiatan, begitu pula Bunda. Oleh karena itu, beliau mengunjungi kamarku.

“Biasa aja, Bun. Tapi seru sih, makin banyak pengalaman. Rain jadi tau banyak fenomena yang ada di sekeliling kita, rasanya benar-benar hidup.” Aku menghampiri Bunda yang duduk di atas ranjang.

“Itu yang Bunda mau. Bunda ingin putri-putri Bunda berilmu. Tak masalah setelah ini mau jadi apa, yang penting kalian kaya ilmu. Wanita menuntut ilmu bukan untuk menyaingi lelaki, Rain. Kita menuntut ilmu untuk membangun peradaban yang lebih baik. Tak masalah kalian wanita, para lelaki hebat terlahir dari rahim wanita cerdas. Di balik lelaki sukses, berdiri seorang wanita hebat.”

“Tak apa seperti Bunda, hanya berakhir di dalam rumah. Merawat Rain dan Bulan, mengurus seluruh keperluan Buya, sesekali menengok perkembangan pesantren. Sekilas seluruh pendidikan yang Bunda tempuh selama ini terlihat sia-sia. Tapi tidak, Rain. Tidak ada yang sia-sia dalam hal menuntut ilmu. Kamu bukti nyata ke tidak sia-siaan itu. Kamu tumbuh menjadi gadis hebat, mandiri, tak mau bergantung pada ketenaran Bunda dan Buya. Menyamarkan identitas hanya agar tak terlihat sebagai keturunan Buya Rasyid. Hal yang justru menyusahkan kehidupan kamu, tapi Bunda bangga. Putri Bunda tumbuh menjadi gadis hebat. Esok, semoga kamu menjadi ibu yang jauh lebih hebat dari Bunda. Melahirkan anak-anak bangsa yang membanggakan, membesarkan mereka dengan cara kamu sendiri, mendidik mereka dengan seluruh kebaikan.”

Aku memeluk Bunda. Bunda, Buya dan Kak Aga adalah gudang motivasi. Aku menyayangi mereka bertiga, berempat ditambah Bulan. Bunda memang sering menegurku, sesekali bersikap tegas, bahkan Buya kalah tegas. Bunda sering memaksaku melakukan hal-hal yang sebenarnya tak kusukai, kuliah misalnya. Namun Bunda selalu memiliki alasan, perhitungan Bunda selalu benar. Dalam beberapa masalah, Bunda adalah orang terhebat di rumah ini. Entah, apa yang akan terjadi jika tak ada Bunda dalam keluarga ini. Aku tak berani membayangkannya.

“Amin, Bunda. Semoga Rain bisa menjadi ibu yang seperti Bunda. Rain sayang Bunda.” Bunda membalas pelukanku, mengecup kepalaku berkali-kali.

“Jadi, wujud sayang kamu ke Bunda dengan pulang tiga bulan sekali?” Aku melepas pelukan, mendongak menatap Bunda.

“Bunda rindu ke Rain?”

“Seorang ibu selalu merindukan putrinya, Rain. Bahkan semenjak pertama kali kamu keluar dari rumah menuju Surabaya, Bunda sudah rindu.” Tatapanku seketika mengabur, ada selapis air yang menutupi indra pandangku. Kalimat Bunda membuatku merasa bersalah.

“Maaf, Bunda. Mulai bulan besok, Rain bakal pulang sebulan sekali.” Aku kembali memeluk Bunda.

“Hust, gak boleh. Nanti kamu kecapekan kalo harus pulang setiap bulan. Kamu kan gak mau dijemput Aga, naik bus melelahkan, bukan?” Aku terhenyak, bahkan Bunda masih saja memikirkan rasa lelahku. Sedang aku? Merindukan Bunda saja harus menunggu tiga bulan tanpa jumpa.

“Obat rindu tak harus bertemu. Tujuh ayat ummul kitab yang ditujukan pada sebuah nama sudah mewakili perasaan rindu, Sayang. Saling mendoakan saja, melihat kamu tumbuh menjadi gadis hebat sudah lebih dari cukup untuk mengobati rindu Bunda.” Bunda lagi-lagi mengecup kepalaku.

“Terimakasih sudah selalu mendoakan Rain, Bunda.” Aku mempererat pelukan, aku merasa Bunda sedang mengangguk.
Bunda, maaf. Maaf aku masih sering abai pada rindumu. Maaf aku sulit membaca isyarat cintamu. Kukira hanya aku yang merindu jika beberapa bulan tak bertemu. Namun nyatanya, engkau wahai Bunda. Satu jam tak bertemu putrimu saja telah membuatmu banjir oleh airmata rindu.

Sekali lagi, Bunda. Maaf aku masih sering abai.

*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💖.~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro