Dewa Menyihir Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Boleh saya lihat berkas-berkas pendaftarannya?” Suara seorang lelaki paruh baya yang menjaga meja penerimaan santri baru membuatku menoleh. Belum sempat aku menjawab, Kak Aga telah mengeluarkan berkas-berkasku dari ranselnya.

“Ning Rain, kata Bunda kan gak boleh ngrepotin Kak Aga. Kok barang-barangnya dibawain Kak Aga? Bulan bilangin ke Bunda ya.” Gadis remaja di sebelahku berbisik, membuatku melotot sebal. Bungsu dan segala keahlian mengadunya memang kombinasi yang tepat untuk membangkitkan emosi seorang sulung.

“Kak Aga yang mau, bukan aku. Awas kalo sampek kamu bilang ke Bunda. Satu lagi, sampek kapan kamu mau manggil aku Ning? Kamu bukan santrinya Buya. Panggil Kakak, Bulan. Ya Allah, susah banget sih ngomongin kamu.” Aku balas berbisik, menatap tajam seorang Bulan. Gadis remaja itu justru terkekeh. Ia selalu memanggilku Ning, mengikuti mbak-mbak di rumah dan para santri. Seribu kali kusuruh memanggilku kakak pun hanya menjadi angin lalu baginya.

“Mas ini siapanya?” Aku mengabaikan Bulan, kembali fokus memandang sang penerima santri baru. Mendadak hatiku was-was, aku takut ia mengenali Buya dan Bunda. Semoga saja lelaki paruh baya itu tak memfokuskan pandangan pada kolom wali santri.

“Kakaknya.” Kak Aga menjawab singkat.

“Tapi di sini tertulis anak pertama dari dua bersaudara.” Lelaki itu menatap Kak Aga penuh curiga.

“Kakak sodara, Ustaz. Kakak saya ini yang selalu ngurusin sekolah saya sejak kecil, orangtua saya sibuk.” Aku memutuskan angkat suara. Kak Aga menatapku tajam, ia tak suka aku berbohong. Aku hanya memamerkan rentetan gigiku, merasa tak dosa.

“Oh, baiklah. Mbak Rai....”

“Bening, Ustaz. Panggil Bening saja.” Aku menyela ucapan lelaki yang kupanggil ustaz, lagi-lagi membuat Kak Aga menatapku tak suka.

“Baiklah, Mbak Bening. Saya sudah melihat seluruh berkasnya. Seluruh persyaratan juga telah lengkap. Silahkan tanda tangan disini untuk menyetujui seluruh peraturan pesantren, setelah itu akan diantar Ustazah Fauziah ke kamar yang telah disediakan.” Aku mengangguk dan segera menandatangani surat perjanjian mentaati seluruh peraturan pesantren.

“Adeknya bisa mengantar sampai ke dalam kamar, tapi Kakaknya maksimal cuma boleh sampai ke batas asrama putri.” Aku kembali mengangguk. Baiklah, aku telah kembali terikat oleh peraturan sebuah pesantren.

Usai menyelesaikan urusan tandatangan peraturan, lelaki yang akhirnya kuketahui bernama Ustaz Hasan itu masuk ke dalam kantor, memanggil seseorang. Beliau keluar bersama seorang wanita muda yang segera menyalamiku dan mengangguk kepada Kak Aga. Kak Aga membalas anggukannya dan tersenyum. Wajah perempuan itu terlihat memerah, membuat aku dan Bulan terkekeh geli. Kak Aga dan ketampanannya memang selalu membuat setiap wanita tersipu, minus aku, Bunda dan Bulan. Kami bertiga telah kebal dengan pesona Kak Aga.

“Mari saya antar ke asrama.” Perempuan itu berjalan mendahuluiku, aku tersenyum dan mengikuti langkahnya.

“Ustazah asli mana? Sudah lama nyantri disini?” Aku membuka obrolan, tak betah dengan keheningan kami berempat selama perjalanan menuju asrama.

“Panggil Mbak saja, saya masih kuliah juga.” Perempuan itu tersenyum.

“Saya orang Kudus, nyantri dari Aliyah terus lanjut sampek kuliah. Sekarang udah semester tujuh.” Lanjutnya. 

“Eh, aku Aliyah sama Tsanawiyah mondok di Kudus loh, Mbak. Di Mambaul Ulum, tau?” Aku mencoba akrab dengan menyebut almamater Aliyahku.

“Iya, tau. Sepupu saya ada yang nyantri disitu.” Perempuan itu kembali tersenyum manis. Dia benar-benar tipe santri idaman, lemah lembut tak terkira. Aku mengangguk-angguk paham.

“Eh, tapi tadi Ustaz yang di kantor manggilnya ustazah, bukan mbak." Bulan ikut bersuara, pernyataan polosnya membuat aku dan Kak Aga tertawa. Kulirik wajah perempuan itu kembali memerah melihat tawa Kak Aga. Oh Rain, bersyukurlah kau yang tak pernah terpesona dengan tawa itu. Andai kau menjadi salah satu fans Kak Aga, sudah semerah apa wajahmu selama ini?

“Saya mengajar di Raudhatul Athfal pesantren, makanya beberapa orang memanggil ustazah. Tapi, santri yang sama-sama mahasiswa biasa memanggil Mbak Ziya saja." Aku kembali mengangguk-anggukkan kepala.

“Mohon maaf sebelumnya, ini sudah masuk batas asrama santri putri. Masnya bisa menunggu disini selama Mbak Bening menata barang.” Mbak Ziya mempersilahkan Kak Aga untuk duduk di sebuah pos jaga, ada beberapa santri putra di sana. Kak Aga hanya mengangguk. Oh ya, Mbak Ziya mengetahui namaku dari Ustaz Hasan ketika masih di kantor tadi.

Aku, Bulan dan Mbak Ziya segera memasuki asrama santri putri. Kami berhenti di depan sebuah kamar bertuliskan 'Zaenab 3'.

“Ini kamar Zaenab 3, ada tiga ranjang tingkat. Harusnya satu kamar isi enam orang, tapi kamar ini baru isi empat orang aja, lima sama kamu. Semuanya mahasiswa baru kayak kamu juga. Peraturan kamar udah ditempel di belakang pintu nanti bisa dibaca sendiri.” Aku mengangguk dengan keterangan Mbak Ziya.

“Terus ini penghuninya pada kemana, Mbak?” Aku mengernyitkan dahi menatap kesunyian kamar.

“Paling masih pada keluar, ini kan hari Ahad. Di jalan depan banyak orang jualan kalo hari Ahad.” Aku kembali mengangguk.

“Ning Rain, ayo buruan balik ke depan. Kasian Kak Aga sendirian di sana.” Aku melotot tajam pada Bulan. Berapa kali kukatakan jangan memanggilku Ning?

“Ning?” Mbak Ziya mengerutkan dahi.

“Itu si Bulan kebiasaan manggil aku Ning dari kecil, Mbak. Emang kayak gitu di keluarga.” Aku tersenyum canggung, mencoba mencari alasan. Mbak Ziya tersenyum dan mengangguk.

“Jadi, mau sekalian nata barang apa keluar dulu?” Mbak Ziya kembali menatapku.

“Keluar aja, Mbak. Kasian Kakak saya nungguin.” Lagi-lagi Mbak Ziya hanya mengangguk dan berjalan keluar kamar.

“Kamu Bening, adeknya Bulan. Keluarga B? Bagus ya?” Kali ini Mbak Ziya mencoba mencari obrolan.

“Sebenarnya keluarga R, Mbak. Rembulan, Raina, Rum... ”

“Iya, keluarga B, Mbak.” Aku segera menyela ucapan Bulan. Anak itu benar-benar pengacau.

Mbak Ziya mengernyitkan dahi sejenak, kemudian mengangguk. Ia tak mau ambil pusing dengan kekisruhan yang kuciptakan bersama Bulan.

“Nanti kalo ada apa-apa, kamu bisa ke aku. Aku ada di kamar Rodhiyah 2.” Aku mengangguk mendengar ucapan Mbak Ziya.

Kami melanjutkan perjalanan singkat itu dengan obrolan-obrolan ringan. Ketika hampir sampai di batas asrama, mendadak tatapanku terpaku. Aku melihat Kak Aga sedang mengobrol dengan seorang lelaki yang, entahlah. Hatiku tiba-tiba menghangat melihat lelaki itu. Aku juga tak tau mengapa, tapi aku nyaman melihat lelaki itu. Nyaman dalam sekali tatap. Perasaan tak masuk akal apa ini?
Tampan? Tentu saja. Tapi, bukan ketampanannya yang membuatku terpaku. Jika hanya tampan, Kak Aga juga tampan. Entahlah, ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu di pandanganku. Tapi, dia siapa?

“Ehm, maaf, Bening. Tolong menundukkan pandangan, tak pantas memandang beliau dengan tatapan seperti itu.” Suara Mbak Ziya menyadarkanku.

“Eh, aduh maaf, Mbak.” Aku segera menunduk, menyadari kesalahanku.

“Beliau Gus Dewa, putra ketiga Abah Yai. Jadi, sekali lagi mohon maaf ya, Bening. Mbak minta kamu nunduk, gak pantes ngeliatin Gus Dewa kayak gitu.” Aku mengangguk patuh.

Kami bertiga keluar, menghampiri Kak Aga yang masih mengobrol seru dengan lelaki bernama Gus Dewa itu.

"Eh, udah selesai, Hujan? Kakak ama Bulan pulang sekarang?" Aku mengangguk masih dalam tunduk. Menghormati Putra Abah Yai sekaligus takut menatap wajahnya. Hatiku berdebar tak karuan entah dengan alasan apa.

“Ini adeknya yang mondok sini, Bang?” Lelaki yang membuat hatiku berdebar itu bersuara.

“Iya, Wa. Nitip ya, namanya Bening.” Kak Aga mengenalkanku. Aku tak tau hubungan apa yang dimiliki oleh Kak Aga dan lelaki itu. Namun dalam tunduk, aku bisa melihat lelaki itu mengangguk. Aku melirik Mbak Ziya, ia juga memiliki ekspresi yang sama denganku. Menunduk dengan dahi mengernyit.

“Ya udah, Kak Aga pulang sekarang ya? Kamu jaga diri baik-baik, kuliah yang bener. Kalo ada apa-apa telepon Kakak.” Aku mengangguk mendengar perintah Kak Aga.

“Ning Bening gak boleh sering telepon Kak Aga. Inget ya, nanti Bulan bilangin Bunda kalo masih sering ngrepotin Kak Aga." Ya Allah, bocah ABG itu. Rasanya ingin kutenggelamkan ke rawa-rawa. Ia memanggilku Bening tetapi masih menggunakan embel-embel Ning, apa maksudnya?

“Ning?” Gus Dewa mengernyitkan dahi, persis ekspresi yang dikeluarkan Mbak Ziya tadi.

“Bulan terbiasa manggil Bening kayak gitu dari kecil." Kak Aga menyelamatkanku, aku menghela nafas lega di dalam tunduk.

“Bulan, ayo pulang. Hujan, Kakak tinggal ya? Mbak Ziya, saya titip Hujan." Mbak Ziya menampilkan ekspresi bingung. Ia pasti pusing mendengar setiap orang memanggilku dengan nama berbeda.

“Bening maksudnya, Raina Putri Bening. Dia Hujan saya, tolong dijaga baik-baik, jangan sampai jadi kemarau.” Kak Aga membenarkan panggilannya sembari tertawa lirih. Lagi-lagi Mbak Ziya memerah mendengar tawa itu. Entah mengapa aku justru menangkap makna lain dari kalimat Kak Aga. Mungkin terbawa pembahasan di mobil tadi. Ah, aku banyak mengalami kebingungan hari ini.

“In syaa Allah saya jaga, Mas.”

“Aku udah besar, Kak.” Aku mendengus kesal.

“Iya, Kakak paham. Aku pulang dulu ya, Wa. Ayo, Bulan. Assalamualaikum.” Kak Aga melambaikan tangannya sembari menggandeng Bulan. Aku, Mbak Ziya dan Gus Dewa hanya menjawab salamnya lirih.

“Hujan...”

“Eh, Bening, Gus.” Aku yang hendak berbalik memasuki asrama reflek menoleh dan membenarkan panggilan Gus Dewa.

“Iya, tapi panggilan Hujan juga bagus. Aku boleh ikut manggil Hujan?” Aku tercengang. Lelaki ini baru saja mengenal namaku beberapa menit yang lalu, dan ia telah berbicara sebanyak ini?

“Panggilan Hujan khusus buat Kak Aga.” Aku menjawab lirih, masih dengan menunduk.

“Oh, yaudah. Aku manggil Bening aja.” Lagi-lagi lelaki itu menyahuti ucapanku. Mengapa ia terkesan ramah sekali dengan santri baru? Memang seperti itu, atau hanya denganku saja?

‘Ah, Rain. Astaghfirullah. Percaya diri sekali kamu!’ Aku sibuk merutuki pikiranku.

“Selamat datang di pesantren ini, Bening. Semoga betah dan berkah.” Gus Dewa, putra Abah Yai itu kembali bersuara.

“Iya, Gus. Amin. Saya permisi dulu. Assalamualaikum.” Aku mengangguk dan segera berbalik untuk meninggalkan batas asrama.

Sembari melangkah, kudengar Gus Dewa menjawab salamku. Aku tak lagi menoleh dan terus menunduk. Setelah gerbang perbatasan asrama tertutup, barulah aku berani mengangkat kepala. Kulihat, Mbak Ziya tengah menatapku dengan ekspresi aneh.

“Gus Dewa gak biasanya ngobrol gitu sama santri.” Entah Mbak Ziya tengah bermonolog atau memberiku pengertian. Aku tak paham.

“Aku langsung balik ke kamar aja ya, Mbak. Makasih udah anterin aku.” Aku meraih tangan Mbak Ziya, kemudian menyalaminya. Setelah itu, aku segera melangkah meninggalkan Mbak Ziya yang bahkan belum mengiyakan kalimat pamitku.

Biar saja Mbak Ziya kebingungan. Aku sedang tak mau memikirkan orang lain. Aku hanya ingin memikirkan debar jantungku. Mengapa ia berdebar kencang dan enggan berhenti sejak Gus Dewa mengajakku mengobrol tadi? Gus Dewa orang baru, amat sangat baru malah. Tapi, mengapa rasanya seperti aku telah mengenal lama?

Ah, Hujan. Hujannya Kak Aga, kamu kenapa?

*****
~Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro