Hujan Tertampung Telaga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memilin tali ransel dengan resah. Ini kuliah perdanaku setelah selesai masa orientasi tiga hari yang lalu, dan aku terancam terlambat. Angkutan menuju kampus tak satu pun terlihat, padahal aku telah berada di depan gang pesantren sejak 10 menit yang lalu.

Aku mendengus kesal, mendadak aku menyesali perintah Buya untuk menggunakan sepeda motor pribadi. Baiklah, sepertinya minggu besok aku akan kembali merepotkan Kak Aga. Aku ingin sepeda motor itu.

“Tinnn... tinnn.” Suara klakson mobil membuatku mendongak. Sebuah Honda Jazz abu-abu berhenti di depanku. Dahiku mengernyit bingung, mobil siapa ini?

“Mau ke kampus? Ayo sekalian bareng.” Aku terbelalak begitu kaca mobil terbuka. Gus Dewa nampak rapi dengan setelan kemeja coklatnya. Dan apa? Dia menawariku untuk menaiki mobilnya. Mimpi apa aku semalam?

“Eh, gak usah, Gus. Naik angkot aja.” Aku menolak halus sembari menunduk. Ayolah, ini putra Abah Yai. Bisa jadi gosip di seantero pesantren aku.

“Aku mau ke kampus kamu juga, ada keperluan disana. Lagian jam segini jarang ada angkutan lewat.” Gus Dewa masih gigih menawariku tumpangan, aku menggeleng pelan.

“Ayo, aku paham kalo kamu udah mau telat.” Ia kembali menawariku, kali ini dengan sedikit tertawa. Ya Allah tawanya, hatiku tiba-tiba bergetar.

Aku menoleh ke kanan dan kiri. Merasa tak ada satu pun santri yang sedang berkeliaran, akhirnya ku putuskan untuk menerima tawaran Gus Dewa. Lagipula, aku akan benar-benar terlambat jika menunggu kedatangan angkutan.

“Kok berangkat sendiri? Belum kenal temen-temennya?” Gus Dewa membuka suara begitu aku memasuki mobilnya.

“Yang satu kamar beda jurusan semua.” Aku menjawab singkat. Ia mengangguk dan kembali fokus pada jalanan.

Setelahnya, tak ada pembicaraan apapun. Kami sama-sama terdiam tanpa kata. Aku tak mengenalnya, jadi tak ada satu pun pembahasan yang dapat memancing obrolan kami.

“Terimakasih, Gus.” Aku berucap singkat sembari melepas sabuk pengaman. Kami telah sampai di pelataran kampus.

“Jangan panggil aku Gus.” Aku yang hendak membuka pintu mobil reflek menoleh.

“Lalu?” Mungkin ekspresiku terlihat polos, atau malah mendekati bodoh. Entahlah, aku tak terlalu memikirkannya. Aku justru tengah mentelaah apa maksud ucapannya yang enggan kupanggil Gus. Dia putra Abah Yai bukan?

“Terserah mau memanggilku apa, yang penting jangan Gus. Mas, Bang atau mungkin Kak.”

“Maaf, malah jadi aneh, Gus. Saya tetep manggil Gus aja.” Aku menolak permintaannya. Aneh saja rasanya jika memanggil putra Abah Yai dengan panggilan selain Gus, aku sungkan.

“Oh, ya udah. Terserah kamu mau panggil aku apa, yang penting kamu nyaman.”  Kulirik dalam tunduk, Gus Dewa tengah tersenyum. Oh, Jantung, kumohon jangan berontak lagi melihat senyum itu.

“Kamu mau di mobil sambil liatin aku sampek kapan? Bukannya udah mau telat ya?” Aku terkesiap. Astaghfirullah, apalagi yang aku lakukan? Lagi-lagi aku memandanginya tanpa sikap takzim. Oh ayolah, Rain. Di sini kau menjadi santrinya, bersikaplah sopan.

“Eh iya, saya duluan, Gus. Sekali lagi terimakasih. Assalamualaikum.” Aku segera membuka pintu mobil dan berlalu, bahkan sebelum mendengar ia menjawab salam. Terserah tanggapan apa yang akan diberikan oleh putra Abah Yai itu atas sikapku, aku sedang gugup luar biasa.

*****

“Jadi? Kamu berangkat kuliah bareng Dewa?” Kak Aga menatapku penuh selidik. Kami sedang melakukan panggilan via video call.

“Awalnya aku gak mau, Kak. Takut jadi gosip di pesantren, kan dia putra Abah Yai. Tapi gimana lagi, udah mau telat, gak ada angkot yang lewat. Terpaksa deh.” Aku membeberkan alasan, membuat Kak Aga mengangguk paham.

“Lain kali lebih pintar mengatur waktu, Hujan. Atur serapi mungkin jadwal kamu. Berapa menit mandi, berapa menit berdandan, berapa menit menunggu angkutan, semua itu harus diprogram dengan baik. Kamu sendiri yang akan mendapat keuntungan dari sikap disiplin yang kamu buat.” Kak Aga dan sesi pemberian petuah telah dimulai. Aku tersenyum sembari mengangguk. Kak Aga selalu memberi nasehat, bukan menggurui. Itulah sebabnya ia selalu menjadi tempat berbagiku, tempat aku membuang semua perasaan kesal dan menyalurkan kebahagiaan. Kak Aga sosok Abang yang sempurna untukku dan Bulan.

“Iya iya. Oh ya, kok Kak Aga kenal ama Gus Dewa?” Pertanyaan yang telah kupendam sejak Kak Aga dan Gus Dewa mengobrol seru seminggu lalu itu akhirnya kuutarakan.

“Dewa adek tingkat Kakak pas kuliah S1. Beda fakultas sih,  tapi kita sama-sama pengurus di UKM yang sama.” Aku mengangguk paham.

“Berarti Gus Dewa sekarang masih kuliah? Kan Kak Aga baru lulus setahun yang lalu.” Aku kembali mengorek informasi. Sebenarnya tak penting juga, toh Gus Dewa bukan siapa-siapaku. Namun, entah mengapa jiwa penasaranku pada putra Abah Yai itu seolah memberontak, ingin dipuaskan.

“Udah mau wisuda dia, kemarin cerita katanya abis sidang. Makanya, sekarang udah di rumah, gak di Malang lagi.” Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kak Aga menempuh pendidikan S1 di Malang dan saat ini meneruskan S2 di bawah naungan almamater yang sama. Jika Gus Dewa adik tingkat Kak Aga, berarti Gus Dewa juga menempuh pendidikan di kota itu.

“Kan, berarti baru semester 7. Kok kuliahnya cuma 3,5 tahun?” Aku menyadari sesuatu yang berbeda dari tenggat waktu kuliah Gus Dewa.

“Kan dulu Kakak juga cuma 3,5 tahun. Makanya, belajar yang rajin biar S1nya gak perlu lama-lama.” Kak Aga terkekeh menyahuti kebingunganku.

“Oh, iya ya. Siap grak, Pak Bos.” Aku menempelkan tangan kanan pada kening, memperagakan gerakan hormat.

“Kenapa tanya-tanya tentang Dewa?” Kak Aga menatapku curiga. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terlihat mengejek.

“Cuma tanya aja masak gak boleh.” Aku menatap Kak Aga sebal, lelaki di seberang ponsel itu justru terkekeh.

"Kak, masak nih ya, Gus Dewa gak mau aku panggil Gus, minta dipanggil selain Gus. Terus, aku bingung kan mau manggil apa, aneh juga kalo aku manggil dia pake panggilan selain Gus. Jadi, aku tolak deh permintaannya. Aku tetep panggil Gus aja.” Kami memang seperti itu. Saling menceritakan apa pun yang ada dalam keseharian. Bersama Kak Aga, aku tak pernah kehabisan bahan obrolan, pun sebaliknya.

“Terus, akhirnya Dewa ngizinin kamu tetep manggil dia Gus?” Kak Aga terlihat antusias menanggapi ceritaku.

“Ya iya, Kak. Lagian, kita juga gak mungkin tiap hari saling panggil, kan? Peduli apa ama panggilan-panggilan apa pun.” Aku menjawab pertanyaan Kak Aga dengan santai.

“Terserah kamu deh. Oh ya, inget satu hal, Hujan. Dewa putra Abah Yai. Kamu harus sopan ama dia. Oke?” Kak Aga memasang wajah serius. Jika sudah seperti itu, aku paham Kak Aga sedang dalam mode tegas.

“Aku sopan, Kak. Kalo ketemu juga nunduk.” Aku menyahuti ucapan Kak Aga sembari menganggukkan kepala.

“Definisi sopan bukan cuma nunduk pas ketemu. Tidak membicarakan di belakang dia, itu juga termasuk sopan santun murid kepada gurunya loh.” Jleb! Aku merasa Kak Aga menjebakku dengan ucapannya kali ini. Bukankah saat ini aku tengah membicarakan Gus Dewa di belakangnya? Ya Allah,  Kak Aga. Kau terlambat mengingatkanku.

“Eh, kan aku salah jadinya. Kak Aga sih gak ingetin dari tadi.” Aku mengerucutkan bibir, lagi-lagi mengundang tawa Kak Aga.

“Ya udah, kita cari pembahasan lain.” Kak Aga tersenyum.

“Udah terlanjur juga. Eh, udahan dulu deh, Kak. Aku mau ngaji malem, tuh udah ada Mbak Ziya di depan pintu. Aku bisa ditakzir kalo gak keluar-keluar." Aku mendengar suara Mbak Ziya yang tengah mengingatkan jadwal mengaji di depan pintu kamar. itu tandanya, panggilan telepon dengan Kak Aga harus segera diakhiri.

“Oh, ya udah kalo gitu. Semangat mengaji, semangat kuliah, semangat bersosialisasi.” Kak Aga mengepalkan tangannya, memberiku semangat.

“Siap. Doain biar segala sesuatu aku lancar ya, Kak.” Aku tersenyum sebelum mematikan sambungan.

“Selalu, Hujan. Apa pun tentang kamu, selalu Kakak sebut dalam doa. Semoga kamu juga menyebut nama Kakak.” Kak Aga menampilkan raut penuh harap. Aku mengangguk mantap.

“Pasti! Aku selalu doain Kak Aga. Semoga Kak Aga sukses dunia akhirat, semoga S2 Kak Aga lancar, semoga Kak Aga cepat kenalin Hujan ke calon Kakak ipar.” Aku terkekeh dengan kalimat terakhirku. Kak Aga tersenyum canggung.

“Amin, udah sana ngaji.  Assalamualaikum.” Kak Aga mengawali untuk menutup sambungan. Jika tidak begitu, bisa dijamin kami tidak akan menyelesaikan panggilan ini. Aku selalu betah mengobrol berjam-jam bersama Kak Aga.

“Waalaikumsalam.” Dan sesi berbagiku bersama Kak Aga malam ini, telah ditutup. Esok, aku akan menghubunginya lagi. Kak Aga tempatku menampung segala masalah sekaligus sumber penyelesaian. Ah, Kak Agaku. Kak Aganya Hujan.

*****
~Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro