Dewa Menyihir Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Assalamualaikum, Bening.” Aku mendongak, mengalihkan tatapan dari laptop menuju arah sumber suara.

“Waalaikumsalam. E, eh Gus Dewa?” Aku tergagap mendapati seseorang yang baru saja menyapaku.

“Sibuk?” Gus Dewa tersenyum. Dan sungguh! Aku ingin berlama-lama menatap senyum itu, seandainya saja tak diberatkan oleh dosa.

“Lagi ngerjain tugas.” Aku menjawab singkat, kemudian kembali menekuri laptop, melanjutkan kegiatan browsing yang sempat terhenti sejenak. Sebenarnya hanya untuk menghindari tatapan Gus Dewa.

“Aku duduk di sini, boleh?” Aku kembali mendongak, menatap Gus Dewa yang sedang menunjuk bangku berjarak dua dari tempatku duduk. Aku mengangguk sebagai jawaban singkat.

“Kamu gak nyaman aku di sini?” Gus Dewa kembali bersuara. Aku menghela napas pelan.

“Sungkan.” Jawabku lirih.

“Masih karena aku anaknya Abah?” Aku mengangguk lagi, masih menunduk.

“Bahkan ini kampus, Bening. Bukan pesantren.” Gus Dewa terkekeh pelan.
Ah iya, belum kuceritakan. Aku sedang berada di lorong kampus, mengerjakan tugas sembari menunggu Kayla yang katanya ingin membeli camilan namun tak kunjung kembali. Dasar, anak itu.

“Gus Dewa ngapain di kampus aku?” Aku bertanya lirih. Tatapanku masih fokus pada laptop, enggan menatap Gus Dewa meski sedang mengajaknya berbicara.

“Pengen tanya-tanya tentang pendidikan S2 di sini, terus liat kamu lagi main laptop sendirian. Jadi deh nyamperin kamu.” Gus Dewa menjawab lancar, kontras sekali dengan nada bicaraku yang lirih dan terdengar penuh kerikuhan.

“Kenapa gak langsung pulang aja kalo emang urusannya udah selesai?” Aku berpura-pura mengetikkan sesuatu di laman pencarian google, lagi-lagi untuk mengalihkan perhatian dari Gus Dewa.

“Masih pingin di sini. Kenapa? Dilarang kah?” Gus Dewa terkekeh lirih.

“Gak dilarang, kalo gak di deket aku.” Oh, Ya Allah. Maafkan hambaMu yang berkata selancang ini pada dzuriyyah Abah Yai. Hamba hanya tak sanggup duduk berdua dengannya lebih lama lagi.

“Kamu menggemaskan sekali, Bening. Kenapa harus sedingin ini? Padahal kamu selalu hangat jika kita sedang bertukar pesan.” Gus Dewa kembali terkekeh. Dan demi apa pun, aku hanya ingin memiliki keahlian menghilang mendadak saat ini.

Iya, kami memang masih sering bertukar pesan lewat aplikasi berwarna hijau. Bukan hanya sering, tapi hampir setiap hari tanpa henti. Bahkan kami masih bertukar pesan hingga pagi tadi, sebelum aku berangkat kuliah. Namun, rasanya benar-benar aneh ketika aku harus bertemu atau mengobrol langsung dengannya. Dan lagi, haruskah putra Abah Yai itu mengungkapkan sikapku sefrontal ini? Di hadapanku langsung pula! Ya Allah.

“Rasanya beda, Gus.” Aku menjawab singkat sembari mengalihkan pandangan ke samping, berpura-pura mencari sesuatu. Aku sadar wajahku pasti sedang memerah.

“Apanya yang beda?” Oh, Ya Allah. Bisakah lelaki yang duduk berjarak dua bangku dariku itu menghentikan tanyanya?

“Beda aja, yang jelas tetap sungkan.” Kali ini aku benar-benar merutuki Kayla yang tak kunjung datang. Membeli camilan di samudra mana sebenarnya gadis cerewet itu?

“Coba mulai dibiasakan uuntuk menghilangkan sungkan itu, Bening. Kita tidak mungkin selamanya hidup dengan kecanggungan yang sama, bukan?” Aku merasa jika Gus Dewa menatapku.

“In syaa Allah, Gus.”

“Aku bakal bantu buat ngebiasain kalo kamu kesusahan.” Kalimat Gus Dewa membuatku mengernyitkan dahi.

“Caranya?”

“Aku bakal muncul terus di sekitar kamu, sampek kamu terbiasa.” Gus Dewa berucap mantap, membuatku bergidik ngeri.

“Gak perlu, Gus. Gak enak sama santri yang lain. Gus Dewa kan juga ngajar di pesantren, makin gak enak sama yang lainnya.” Aku segera menolak ide konyol Gus Dewa. Membayangkannya saja aku takut.

“Dulu Bang Aga sering cerita, kalo punya adik yang rasa cueknya sama sekitar mengalahkan apa pun, dan aku percaya. Tapi ngelihat kamu detik ini, mendadak aku ngerasa kalo Bang Aga pas itu lagi cerita kisah fiksi, gak nyata.” Gus Dewa berucap santai.

“Yang dimaksud Kak Aga si Bulan, bukan Bening.” Aku menggelengkan kepala, entah untuk apa.

“Bang Aga cerita, kalo nama adiknya yang cuek itu Raina Putri Bening, bukan Rembulan Embun Suci.” Lagi-lagi Gus Dewa berucap santai. Aku terhentak seketika.

“Gus Dewa tau nama lengkap aku? Nama lengkapnya Bulan juga?”

“Aku juga tau kalo kamu putri sulungnya Buya Rasyid, pengasuh pondok pesantren yang amat tersohor di Malang.”

“Uhukk... uhukk..” Sungguh, mendadak aku tersedak ludahku sendiri.

“Gak perlu kaget, Bening. Bahkan Abah juga tau kalo kamu putri Buya Rasyid. Itu sudah maklum dalam dunia kita. Antar pengasuh pesantren pasti tau dzuriyyah para pengasuh pesantren lainnya.” Gus Dewa masih saja berucap dengan nada santai, tak terpengaruh sama sekali dengan mimik terkejutku.

“Sejak kapan Gus Dewa tau?” Aku menoleh menatap Gus Dewa, kali ini tak lagi ada kerikuhan apapun yang mampu mencegahku untuk menatap lelaki itu. Rasa terkejutku mengalahkan segalanya.

“Sejak ngobrol bareng Bang Aga di pos perbatasan asrama santri putra dan putri.” Gus Dewa tersenyum.

“Di hari pertama aku masuk pesantren?” Aku mengerjapkan mata sementara Gus Dewa mengangguk. Sudah se-lama itu dia tau?

“Di kampus dulu, semua orang tau kalo Bang Aga itu putra angkat Buya Rasyid, Bening. Wajar kalo aku langsung paham siapa kamu pas dia bilang kamu adiknya.” Gus Dewa menjelaskan.

“Bening gak suka denger kenyataan ini.” Aku mengembuskan napas pelan. Rasanya benar-benar menyebalkan ketika semua yang kututupi harus terbongkar seawal ini. Bahkan aku baru saja memasuki semester kedua di bangku perkuliahan. Masih banyak sekali semester yang harus aku lalui di pesantren itu.

“Gak perlu khawatir. Cuma keluarga aku aja yang tau. Para ustaz dan ustazah di pesantren gak ada yang tau, apalagi para santri.” Gus Dewa terlihat menenangkanku.

“Gus Dewa janji sama aku ya, jangan sampek ungkit-ungkit keluarga aku kalo lagi di Pesantren.” Aku memandang Gus Dewa dengan tatapan memelas.

“In syaa Allah, aku amanah, Ning Rain.” Gus Dewa terkekeh.

“Bening, Gus.” Aku mendengkus sebal. Dan lagi-lagi, Gus Dewa terkekeh. Ah, mengapa nyaman sekali melihat tawa lelaki itu? Astaghfirullah, Rain. Jaga pandangan.

“Bening, lama ya? Maaf deh, kantin antrinya udah kayak kasir supermarket kalo lagi ada diskonan sih.” Aku dan Gus Dewa sontak menoleh ke arah sumber suara. Kayla datang dengan wajah memerah karena kepanasan, sembari membawa sekresek camilan yang akan mengawani sesi bertugas kami.

“Kurang lama sih, Kay.” Aku memutar bola mata, jengah. Kayla terkekeh.

“Eh, ada Mas Ganteng yang pernah ketemu di cafe. Apa kabar Mas Ganteng? Eh, siapa namanya, Ning? Aku lupa.” Kayla dan mulut cerewetnya benar-benar ingin kubekap saat ini. Bisa-bisanya ia bersikap se-pecicilan itu di hadapan Gus Dewa.

“Gus Dewa.” Aku menjawab singkat. Sementara aku sebal, Gus Dewa justru tertawa menyambut pertanyaan Kayla.

“Oh iya, Mas Gus Dewa. Apa kabar, Mas Gus?” Kayla terkekeh.

“Kabar baik, Kay. Dan nama aku Dewa, bukan Agus. Jadi panggil aja Mas Dewa, bukan Mas Gus.” Kali ini aku ikut tertawa. Selera humor putra Abah Yai itu sepertinya setara jika disandingkan dengan Kayla.

“Ish, Mas Gus Dewa ini bisa aja ngelawaknya.” Kayla terbahak heboh. Benar-benar anak itu.

“Yaudah, aku duluan ya. Masih ada yang perlu diurus. Assalamualaikum, Bening, Kayla.” Gus Dewa beranjak dari duduknya, menganggukkan kepala sejenak ke arahku dan Kayla. Kami menjawab salam serempak.

Belum lama melangkah, Gus Dewa mendadak berbalik. Ia kembali melangkah kearahku dan Kayla, membuat kami mengernyitkan dahi.

“Hampir  lupa. Terimakasih, Bening.” Gus Dewa tersenyum, membuatku salah tingkah dengan senyuman itu.

“Terimakasih untuk?” Aku mengernyitkan dahi tak paham.

“Untuk obrolan terlama kita secara langsung, bukan hanya lewat aplikasi media sosial. Sepertinya aku perlu mencatat tanggal ini sebagai tanggal terhebat dalam hariku.” Gus Dewa tersenyum lagi.

“Assalamualaikum, aku pamit.” Gus Dewa berlalu dari hadapanku sebelum aku sempat mengatakan apa pun.
Aku mematung, bahkan hanya bisa menjawab salam keduanya dengan suara lirih.

Gus Dewa benar. Ini adalah obrolan terlama yang kita lakukan secara langsung. Dan aku sungguh tak menyadarinya. Ya Allah, kenapa hatiku menghangat lagi? Lelaki itu benar-benar selalu membuat jantungku berdebar tak beraturan.

“Mas Gus Dewa suka ama kamu deh, Ning.” Suara Kayla membuyarkan lamunku.

“Aku yakin seribu persen deh.” Kayla kembali bersuara.

“Bening, masak kamu gak sadar sih?” Masih suara Kayla.

“Kamu juga suka ama dia ya? Wajah kamu merah gitu?” Suara Kayla semakin mendominasi indra pendengarku.

“Bening jawab sih.” Kayla menggocangkan lenganku.

“Kay, kita lanjutin buat tugasnya.” Aku hanya mampu menjawab itu. Pertanyaan Kayla sungguh tak membutuhkan jawaban. Bukankah pipiku yang memerah sudah bisa dijadikan penjelasan?

*****
~Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro