Hujan Terusik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kak, Bunda udah masuk rumah sakit dari kapan?” Aku menoleh ke kursi supir, menatap Kak Aga yang sedang fokus menyetir.

“Baru tadi malem.” Kak Aga menyahut singkat.

“Kenapa bisa sampek kambuh, Kak?” Aku masih menatap Kak Aga, mengamati rautnya yang terlihat khawatir. Kak Aga hanya menggeleng sebagai jawaban.

“Yang bawa ke rumah sakit Kakak?” Aku masih ingin bertanya.

“Buya.” Kali ini sahutan Kak Aga jauh lebih singkat. Aku mengembuskan napas pelan, kemudian menoleh ke arah lain, mengamati jalanan di balik jendela mobil.

Semalam, Bulan menelponku dengan suara panik. Bunda masuk rumah sakit katanya. Asma bunda kambuh. Sebenarnya bukan hanya Bulan, aku pun sama paniknya. Bunda memiliki riwayat asma akut. Jika penyakit itu kambuh apalagi sampai mengharuskan bunda di rawat, pastilah sedang ada sesuatu yang tidak beres. Entah fisik beliau yang terlalu lelah, atau mungkin pikiran beliau.

Aku kembali mengembuskan napas pelan sembari memejamkan mata. Perjalanan Surabaya-Malang rasanya lebih melelahkan dari biasanya. Tugas perkuliahan yang menumpuk, Bunda yang tiba-tiba masuk rumah sakit, dan Kak Aga yang berbeda.

Iya, Kak Aga berbeda! Bohong jika kukatakan aku tak sadar. Kak Aga benar-benar tak seperti Kak Aganya Hujan. Entah karena apa, aku juga tak tau. Lihat saja, dia menjawab pertanyaanku sesingkat mungkin, tanpa ingin menjelaskan banyak. Ah salah, bahkan seharusnya Kak Aga yang akan bercerita panjang lebar terlebih dahulu, tanpa perlu aku bertanya banyak hal. Seharusnya lagi, bukan Bulan yang mengabariku semalam. Memberi kabar apa pun tentang rumah kepadaku adalah tugas Kak Aga, bukan Bulan. Kak Aga yang hari ini jelas bukan Kak Aga yang kukenali.

“Aku tidur ya, Kak. Ntar kalo udah sampek bangunin.” Kak Aga hanya  mengangguk. Sepertinya ia benar-benar sedang enggan bersuara padaku. Baiklah, terserah Kak Aga ingin seperti apa. Aku sedang lelah.

*****

“Bunda kok bisa kambuh asmanya? Kebanyakan mikir apa?” Aku memeluk bunda pelan usai mencium tangan beliau.

“Cuma kecapekan, Rain.” Bunda menjawab pelan, wajahnya masih pucat.

“Kan banyak Mbak-mbak santri di rumah, Bun. Bunda jangan kebiasaan ngelakuin semua hal sendirian dong.” Aku menatap Bunda dengan raut tak suka. Bunda justru terkekeh.

“Mbak-mbak kan juga punya kerjaan masing-masing, Rain.” Bunda berkilah.

“Bunda banyak alasan.” Aku memajukan bibir, cemberut. Bunda kembali terkekeh.

“Kuliah kamu libur? Kok bisa pulang ke Malang?” Bunda menatapku.

“Rain ijin, Bun. Gakpapa lah sekali-kali. Rain juga belum pernah ijin kok.” Aku memamerkan rentetan gigi, terkekeh pelan.

“Padahal sakit Bunda gak parah-parah banget. Harusnya kamu gak perlu sampek ijin kuliah.” Bunda menggelengkan kepala. Aku mengendikkan bahu, seolah tak peduli.

“Kamu naik bus umum dari Surabaya?” Bunda kembali bertanya ketika aku melangkah menuju sofa kamar rawat.

“Iya, mau naik motor sendiri capek, Bun.” Aku merebahkan badan di atas sofa.

“Dijemput Buya di terminal?” Bunda masih bertanya.

“Buya ada jadwal ngajar madrasah. Rain di jemput Kak Aga.” Aku memejamkan mata sejenak, kemudian kembali membukanya.

“Bulan kan masih sekolah, kamu di mobil berdua aja sama Aga?” Aku seketika melebarkan mata. Oh, Ya Allah. Aku bahkan baru sadar jika tadi hanya semobil berdua dengan Kak Aga.

“Iya, Bun. Dulu pas pertama kali Rain pulang ke Malang kan juga semobil berdua.” Aku kembali memamerkan rentetan gigi, menampilkan wajah cengengesan.

“Berapa kali Bunda kasih tau, Rain?” Bunda menggelengkan kepala pelan, rautnya terlihat tak suka.

“Eh, tapi Rain gak ngapa-ngapain kok sama Kak Aga. Ngobrol aja gak. Rain cuma basa-basi bentar, terus ketiduran. Suer, Bun.” Aku mengangkat dua jari, membela diri.

“Apa pun itu, Raina Putri Bening. Berapa kali Bunda bilang? Sedekat apa pun, wudhu kalian tetap batal ketika bersentuhan. Apalagi kalian semobil berdua aja, dengan posisi kamu ketiduran. Ya Allah, Rain. Bukan, Bunda bukan mau suuzon sama Aga. Dia lelaki yang baik, putra kesayangan Bunda. Tapi setan itu ada di mana-mana, menggoda siapa saja. Dua orang non-mahrom, berada di tempat tertutup selama hampir satu setengah jam. Ya Allah, Bunda bahkan merinding ngebayanginnya.” Bunda menutup mata sejenak sebelum kembali memandangiku. Aku menciut seketika.
Aku berjalan kembali menghampiri ranjang bunda, menyentuh lembut tangan beliau yang selalu menggenggam tasbih.

“Rain minta maaf ya, Bunda. Rain janji gak akan ngulangin. Tadi juga karena keburu-buru, Rain terlanjur sampek ke terminal dan baru ngabarin Buya. Buya terlanjur masuk kelas, ngajar. Gak enak ninggalin santri. Jadi, Rain telpon Kak Aga. Iya, Rain yang salah. Sekali lagi Rain minta maaf ya, Bunda.” Aku menatap Bunda dengan ekspresi memelas.

“Rain udah besar, tugas Bunda cuma ngingetin. Minta maafnya bukan sama Bunda lagi, minta maafnya sama Allah.” Bunda mengusap pelan tanganku. Aku mengangguk.

“Ya udah, Bunda istirahat lagi aja. Biar Rain yang jaga di sini. Kalo Bunda mulai ngerasa gak enak lagi, Bunda ngomong ke Rain.” Aku tersenyum menatap Bunda.

“Mbak Rahma mana?” Bunda mengedarkan pandangan, mencari santri kesayangan.

“Mbak Rahma Rain kasih ijin pulang ke pesantren. Mbak Rahma pasti juga capek kan, Bun? Siapa tau Mbak Rahma pengen sekolah siang juga.” Aku menjelaskan.

“Benar-benar putri Bunda.” Bunda mengacungkan dua jempolnya, membuatku terkekeh.

Aku kembali ke sofa, merebahkan badan. Bunda juga terlihat menarik selimutnya, bersiap untuk kembali mengistirahatkan badan dengan lisan yang tak lepas dari zikir.

Aku tersenyum, Bunda sosok ibu terhebat bagi siapa pun. Entah bagiku dan Bulan, bagi Kak Aga, atau bahkan bagi seluruh santri. Bunda sempurna di mata kami semua. Nasihat-nasihatnya tak pernah diabaikan oleh siapa pun. Bunda benar, aku dan Kak Aga tak boleh berdua saja, ke mana pun. Selain karena aku dan Kak Aga tak ada hubungan darah, kami juga telah sama-sama baligh. Seharusnya kami menyadari itu sejak tadi, sejak pertama kali memasuki mobil berdua saja. Ah, tapi siapa pula yang sempat menyadari batasan itu melihat sikap kami berdua sepanjang jalan tadi? Kak Aga yang enggan membuka suara dan aku yang enggan memusingkannya. Kami seperti dua orang yang sedang bermusuhan karena suatu masalah. Tapi, apa masalahnya? Aku bahkan tak tau.

Aku paham Kak Aga berubah sejak berminggu-minggu yang lalu. Kak Aga tak lagi rutin menelponku, apalagi menghubungi via video call seperti biasanya. Ah, sebenarnya bukan hanya tak rutin, tapi sudah tak pernah. Kak Aga hanya mengirimkan pesan singkat, bertanya kabar. Ketika kujawab aku baik-baik saja, kemudian Kak Aga juga menjawab sama baiknya atas kabar yang kutanyakan, pesan itu akan selesai, menghilang. Begitu hingga berminggu-minggu. Jangankan untuk berbagi kisah seperti biasanya, bertukar pesan saja bisa dihitung jari. Padahal banyak sekali kisah yang ingin kuceritakan pada putra Buya yang satu itu.

Aku bisa mentoleransi. Mungkin studi S2-nya lebih menguras tenaga akhir-akhir ini, mungkin saja. Jadi aku baik-baik saja, menyimpan sejuta ceitaku untuk kusampaikan ketika bertemu nanti. Tapi melihat ekspresi Kak Aga ketika bertemu tadi, aku merasa kecewa. Kak Aga bukan berubah karena studinya. Aku lebih merasa Kak Aga menghindariku, tanpa alasan.

Semakin ku cari inti masalah, aku semakin pusing karena tak menemukannya. Aku mencoba berfikir mundur, mengingat-ingat apa yang terjadi belakangan ini. Barangkali memang aku yang bersalah. Sampai aku teringat sesuatu. Iya, aku ingat. Kak Aga berubah semenjak berminggu-minggu yang lalu. Lebih tepatnya semenjak,

Oh, Ya Allah. Aku menepuk dahiku sendiri. Kak Aga mulai berubah semenjak aku berbagi cerita tentang perasaan berbungaku setiap bertemu Gus Dewa. Mendadak, aku kembali menerawang ucapan Bunda.

Jika wudhu kami tetap batal ketika bersentuhan, itu tak menutup kemungkinan jika Kak Aga ternyata,

Oh, Ya Allah. Aku bahkan tak sampai hati memikirkannya. Jemariku mendingin seketika.

*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro