Hujan Semakin Terusik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Udah biasa sih, namanya juga putri kyai. Di mana-mana kan emang gitu nasibnya.”

“Kirain Ning Rain gak perlu ngerasain zamannya Siti Nurbaya, nyatanya sama aja. Kasihan.”

“Tapi namanya Ning, pasti dapetnya Gus juga kan? Minimal anaknya pengusaha lah. Aku kalo jadi Ning Rain sih, terima-terima aja. Enak kan? Gak usah susah-susah nyari, udah ada yang dateng ke rumah.”

“Eh yakin, aku penasaran siapa sih calonnya Ning Rain?”

Aku terdiam menatap langit-langit kamar. Ini hari ketiga semenjak kepulanganku ke Malang. Kamarku lengang, tapi fikiranku penuh. Bunda yang masih belum diizinkan pulang dari rumah sakit, tumpukan tugas kuliah yang kutinggalkan di Surabaya, Kak Aga yang berubah, Buya yang tak banyak bicara, Bulan yang sibuk sekolah, dan bisik-bisik para santri.

Aku tak sedang ingin membahas adab-adab penuntut ilmu. Dari segi apa pun, membicarakan orang lain di belakang atau yang biasa disebut ghibah bukanlah hal yang dibenarkan, apalagi sampai mengghibahkan guru dan para dzurriyahnya. Ghibah termasuk dosa haqqul adami bukan? Dosa yang termaafkan jika kita sudah meminta maaf pada yang dijadikan objek ghibah? Maka insyaa Allah, aku telah memaafkan seluruh santri Buya yang akhir-akhir ini sedang sibuk menjadikan namaku sebagai obrolan hangat.

Ah, seperti yang kukatakan di awal. Aku sedang tak ingin membahas tentang ghibah. Aku justru tertarik dengan apa yang menjadi topik ghibahan itu. Kenapa semuanya berpusat pada namaku? Aku benar-benar buta dengan suasana rumahku sendiri. Sebenarnya ada apa? Kenapa tak ada yang berniat memberiku setitik kabar pun? Tidak Bunda, Buya, Bulan, apalagi Kak Aga. Sebenarnya kisah apa yang telah kulewatkan? Cerita apa yang sedang dirahasiakan?

Aku bangkit dari ranjang, mengambil jilbab instan dan segera keluar kamar. Aku harus menuntaskan rasa penasaranku. Aku tak boleh asing di rumahku sendiri.

“Assalamualaikum, Bulan. Ini Ning Rain, buka pintunya, tolong.” Aku mengetuk pintu kamar Bulan.

“Waalaikumsalam.” Tak ada semenit, Bulan telah membuka pintunya, mempersilahkan aku untuk masuk.

“Lagi banyak banget tugas sekolahnya?” Aku melihat beberapa kertas folio yang bertebaran di atas ranjang.

“Guru-gurunya ngasih tugas gak pake ampun, Ning. Gak mau kasih Bulan sedikit pun keringanan, padahal bundanya Bulan kan lagi dirawat di rumah sakit.” Bulan mendengkus sebal sembari fokus pada selembar kertas.

“Sekolah ya sekolah, rumah ya rumah. Sudah ada takaran tanggungjawab pada masing-masing tempat, Bulan.” Aku tersenyum menatap raut serius bungsu bunda itu.

“Ning Rain ngapain ke kamar Bulan?” Bulan menoleh sejenak, menatapku.

“Kangen sama adeknya Ning yang cantik ini lah. Ning Rain udah pulang tiga hari sama sekali gak diajakin ngobrol.” Aku berpura-pura mengerucutkan bibir.

“Bentar, Bulan kurang nyalin rangkuman satu halaman lagi, terus kita ngobrol. Oke?” Bulan terkekeh, kemudian kembali fokus. Aku hanya mengangguk.

Beberapa menit kemudian, Bulan terlihat mengumpulkan kertas-kertasnya yang berserakan, tugasnya telah selesai.

“Sebulan ini ada kejadian apa aja sih di rumah? Kok Ning Rain masuk rumah kayak ada yang aneh.” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Apa ya? Bulan gak terlalu perhatian sih. Tugas sekolah Bulan banyak, sampek gak sempet merhatiin rumah. Ah, Bulan jadi kangen Bunda.” Bulan menampilkan raut sendu. Aku mengusap lembut rambutnya yang tergerai.

“Habis isya nanti ikut Ning nengokin Bunda ya?” Bulan mengangguk antusias.

“Kamu beneran gak tau apa yang aneh akhir-akhir ini? Kayak kenapa tiba-tiba asma bunda kambuh, misalnya?” Aku kembali memancing Bukan dengan pertanyaan.

“Gak ada, Ning. Bulan gak tau apa-apa. Pas malem-malem itu, Bulan taunya asma Bunda kambuh terus Buya langsung bawa ke rumah sakit, udah.” Bulan menerawang langit-langit kamarnya, seperti mencoba menggali ingatan.

“Kalo gitu, temenin Ning ketemu Kak Aga yuk. Kita tanya ke Kak Aga.” Aku bisa saja menemui Kak Aga sendiri, namun lagi-lagi kalimat peringatan bunda muncul di fikiranku.

“Kak Aga ya belum ke pesantren jam segini, Ning. Ke pesantrennya nanti habis maghrib, kalo mau ngajar madrasah diniyah.” Sebenarnya, aku tak paham dengan ucapan Bulan. Apa maksudnya Kak Aga belum ke pesantren? Ah, mungkin maksudnya belum waktunya Kak Aga datang ke rumah.

“Kita suruh santri putra panggilin Kak Aga aja ke kamarnya.” Aku memberi usulan.

“Ih, Ning Rain lupa apa gimana sih? Kak Aga kan udah gak tinggal di pesantren sebulan ini. Kan Kak Aga sekarang kontrak rumah di deket kampus S2nya.” Bulan menatapku gemas.

Demi apapun! Kejutan apa lagi ini?

“Ning Rain kok wajahnya bingung? Kak Aga cerita ke Ning kan kalo tinggal di kontrakan?” Bulan mengernyitkan dahi menatap wajahku.

“Kak Aga... gak cerita... ke Ning.” Aku menjawab terbata. Sebenarnya Kak Aga itu kenapa?

“Eh? Masak gak cerita?” Kali ini wajah Bulan ikut terlihat bingung.

“Alasan Kak Aga pindah kenapa? Kak Aga ada masalah sama Buya?” Aku serius menatap Bulan.

“Gak ada kok. Katanya mau fokus S2, biar deket ama kampus, terus deket ama sekolah tempat dia ngajar juga. Awalnya Buya malah ngelarang, tapi Kak Aga ngeyel. Ya udah, Buya juga gak bisa maksa. Toh, Kak Aga masih tetep mau ngajar madrasah diniyah di pesantren.” Bulan berpanjang lebar. Aku semakin pusing, sebenarnya apa yang sedang terjadi di rumah ini?

“Cerita lain gak ada?” Aku mencoba mengorek informasi lain. Barangkali ada hal baru lain yang Bulan ketahui. Sayangnya, Bulan menggeleng.

“Bentar ya, Ning balik ke kamar dulu. Ada urusan. Kamu lanjutin bikin tugasnya, ntar kalo Ning mau berangkat ke Bunda, Ning kasih tau.” Aku berdiri, beranjak dari kamar Bulan.

“Siap. Pokoknya Ning harus ajakin Bulan. Bulan kangen Bunda.” Aku mengangguk sejenak sebelum benar-benar menghilang dari kamar Bulan.

Aku melangkah gontai menuju kamarku. Sungguh! Aku merasa sebal luar biasa. Ada apa sebenarnya? Mengapa aku merasa dikecualikan dalam banyak hal. Dan Kak Aga, ada apa dengan putra kesayangan Buya itu? Ia tak lagi tinggal di pesantren dan tak menceritakannya padaku? Lelucon apa itu? Sebenarnya dianggap apa aku olehnya? Kenapa mendadak semua terasa semenyebalkan ini?

Aku kembali merebahkan badan di atas ranjang, kali ini sembari mengotak-atik ponsel. Aku harus menghubungi Kak Aga, meminta penjelasan. Kami tak boleh tersekat macam ini. Kami memang tak sedarah, tapi kami memiliki ikatan yang kurasa lebih agung daripada hubungan itu. Kak Aga harus menjelaskan banyak hal.
Belum sempat kutekan gambar telefon warna hijau di layar ponsel, pintu kamarku diketuk.

“Assalamualaikum, Ning Rain. Ini Mbak Rahma.”

“Iya, Mbak. Waalaikumsalam.” Aku bergegas bangkit dan membukakan pintu.

“Ada apa, Mbak?” Aku tersenyum menatap santri kesayangan Bunda itu.

“Cuma mau nganterin baju yang habis di cuci, Ning.” Mbak Rahma menunduk.

“Ya Allah, Mbak. Harusnya Rain aja yang ambil, Mbak Rahma gak perlu repot-repot.” Aku melebarkan pintu, memberi jalan masuk pada Mbak Rahma.

“Ning Rain udah nyuci baju sendiri, masak mau ngambilin sendiri juga di jemuran?” Mbak Rahma tersenyum, aku hanya menggelengkan kepala pelan.

Tiba-tiba, semacam ada lampu yang berpijar di kepalaku. Bukankah Mbak Rahma setiap harinya hidup di dalam rumah? Mengapa aku tak bertanya pada perempuan itu saja? Sedikit-banyak, ia pasti tau kan? Aku tak perlu menghubungi Kak Aga lebih dulu. Barangkali, Mbak Rahma memiliki cerita yang nantinya bisa kurangkai sendiri dengan beberapa kenyataan yang kudapati tiga hari ini.

“Mbak, Rain boleh tanya sesuatu?” Aku mengikuti gerakan Mbak Rahma yang sedang membuka lemariku.

“Eh, tanya apa, Ning?” Mbak Rahma menoleh, mengernyitkan dahi.

“Sebulan terakhir ini, ada kejadian apa aja di rumah, Mbak?” Aku menatap Mbak Rahma serius.

“Maksudnya, Ning? Ada banyak sekali kejadian. Ning Rain minta diceritakan yang mana?” Mbak Rahma menatapku dengan ekspresi tak mengerti.

“Kejadian yang menurut Mbak Rahma paling menggemparkan.” Aku menjawab asal.

“Eh, apa ya? Emm.. Ning Rain sudah tau kan kalo Ning dijodohkan dengan seseorang?”

Dan mendadak, jantungku seperti berhenti berdetak. Pertanyaan polos Mbak Rahma sempurna menjadi kabar terburuk dari rangkaian kejadian buruk yang sedang kuduga-duga. Aku mematung seketika.

*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar😘.~





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro