Rahasia Tentang Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Jadi begini, Buya. Maksud kedatangan kami kesini adalah untuk meminang putri Buya, Raina Putri Bening, untuk kemudian kami sandingkan dengan putra kami, Ahmad Faishal Ghani. Dalam hal ini, kami sangat berharap Buya menerima pinangan ini. Bila pun ditolak, kami memohon alasan yang benar-benar masuk akal.” Seorang lelaki paruh baya berucap mantap. Di sampingnya, sang istri menganggukkan kepala, mengaminkan ucapan sang suami.

“Baiklah, Pak. Sebelumnya, kami sangat tersanjung sekali dengan tujuan kedatangan njenengan. Namun, kami minta maaf sekali, beribu-ribu maaf kami haturkan. Putri kami Raina telah kami jodohkan dengan seseorang, putra kawan kami. Kami telah melakukan perjodohan ini bahkan sebelum keduanya terlahir. Mohon maaf sekali.” Rasyid menghembuskan napas pelan.

Malam itu, pesantren kedatangan tamu agung, seorang pengusaha batu bara terkenal di kota Malang beserta istrinya. Rasyid dan sang istri tersanjung luar biasa, mereka betanya-tanya gerangan apakah yang menggiring sepasang pengusaha sukses itu melangkahkan kaki di pesantrennya. Setelah beberapa jenak berbasa-basi, pasangan itu kemudian mengutarakan maksud kedatangannya, membuat Rasyid menghembuskan napas lelah.

“Oh baiklah, barangkali memang kita tak berjodoh menjadi besan. In syaa Allah kami lapang dada. Terimakasih sudah menyambut niat kami dengan baik. Kami pamit.” Lelaki paruh baya itu tersenyum singkat sebelum kemudian berlalu dari ruang tamu setelah berbasa-basi sejenak.
Rasyid dan Rumaisha mengantar tamu agung mereka hingga keluar pagar, adab yang telah biasa mereka lakukan.

Berminggu-minggu setelah kedatangan tamu agung itu, hubungan Rasyid dan Rumaisha tak bisa dikategorikan dengan kata baik-baik saja. Selalu saja ada perdebatan yang ada dalam pembicaraan mereka, seperti malam ini.

“Seharusnya alasan penolakan Mas atas khitbah yang diajukan ke Rain bukan seperti itu. Rain masih kuliah, dan kita harus menunggu Rain lulus. Alasan itu saja sudah cukup.” Rumaisha membuka suara begitu ia dan sang suami memasuki kamar, usai mengajar madrasah diniyah. Entah mengapa, perkara Rain dan khitbah dadakan itu lewat begitu saja di kepalanya. Perempuan itu masih tak setuju dengan alasan sang suami.

“Terlalu berbelit-belit, Dek. Kalo Mas kasih alasan itu, mereka pasti mengajukan permintaan lagi buat nunggu Rain sampai lulus.” Rasyid melepas kopyah, meletakkannya di atas rak kitab.

“Ya, barangkali jodoh Rain memang putra beliau berdua. Kita tidak bisa membatasi kehidupan Rain, Mas.” Rumaisha menghampiri suaminya yang kini sedang duduk di tepi ranjang.

“Kamu gak boleh lupa sama janji Mas ke Kyai Fathur. Kita udah sepakat tentang masalah ini sejak bertahun-tahun yang lalu, bahkan sebelum Rain lahir.” Rasyid menatap istrinya tajam.

“Kesepakatan apa yang sedang Mas maksud? Aku gak pernah menyetujui kesepakatan apa pun. Rain bebas menentukan dengan siapa dia akan berakhir, Mas. Rain yang akan menjalani, seharusnya kita gak berhak ikut campur.” Rumaisha menggelengkan kepala, tak menyetujui kalimat suaminya.

Bertahun-tahun yang lalu, perjanjian konyol itu memang benar-benar ada. Tepat ketika kandungan Rumaisha menginjak usia 23 minggu, Fathur sahabat suaminya berkunjung ke rumah. Pengasuh pesantren di Kediri itu mengajaknya berbesan. Rasyid tentu saja mengangguk setuju, Fathur orang yang baik dan hampir tanpa kekurangan, pastilah keturunannya tak perlu diragukan. Namun, Rumaisha menggeleng. Ia tak mau membuat putrinya yang bahkan belum terlahir di bumi ini terbatasi. Perihal jodoh, bukankah hanya Allah yang tau? Mereka hanya makhluk yang sungguh tak berhak ikut campur pada takdir yang satu itu.

Rasyid kukuh mempertahankan perjodohan itu, tak peduli pada penolakan istrinya. Rumaisha tak mampu melakukan banyak pembelaan, ia wanita dan tentu harus menuruti perintah suaminya. Rumaisha hanya mampu terdiam, tidak menolak, tidak pula menyetujui.

Bertahun-tahun setelah hari itu, masalah perjodohan tak lagi menjadi pembicaraan hangat pasangan Rasyid-Rumaisha. Fathur masih sering menghubungi, menyambung silaturahmi, mengingatkan janji-janji perjodohan, meski tak lagi pernah berkunjung ke Malang. Rumaisha enggan mencari masalah, ia memilih diam tanpa peduli dengan perjodohan putrinya. Ia hanya berharap, barangkali di suatu hari ada celah yang membuat suaminya memahami penolakan yang ia berikan. Lagi pula, mereka bahkan belum pernah bertemu dengan putra Fathur sekali pun.
Sampai beberapa minggu yang lalu, permasalahan itu kembali dikuak. Ternyata sampai detik ini, suaminya masih saja kukuh pada perjodohan itu.

“Kita berhak ikut campur, Dek. Rain putri kita, kebahagiaan Rain ada di tangan kita. Dengan memberikan pasangan yang baik untuk dia, otomatis kita telah membahagiakan putri kita itu.” Rumaisha mendongak mendapati suaminya kembali bersuara.

“Bahagia yang kita maksudkan belum tentu menjadi bahagia juga bagi Rain, Mas.” Rumaisha menyahut. Sungguh! Ia tak ingin mendebat suaminya. Ia dididik untuk menjadi istri yang santun dan penurut. Namun, segala sesuatu yang berkaitan dengan putrinya tentu saja tak bisa ia biarkan.

“Firdaus anak yang baik. Mas yakin Rain pasti bahagia.” Rasyid menghela napas panjang.

“Kita bahkan belum pernah bertemu dengan Firdaus, Mas. Bagaimana bisa kita tau jika Firdaus anak yang baik?” Rumaisha mengatur napasnya yang mulai memburu. Tangannya mendingin.

“Apa kamu masih meragukan keilmuan Fathur? Induk yang baik akan melahirkan bibit-bibit yang baik pula, Rumaisha.” Rasyid meninggikan suaranya, bahkan menyebut sang istri dengan namanya langsung. Sebelumnya, ia tak pernah bersikap seperti ini.

Rumaisha berjengit, ia terkejut dengan sikap suaminya. Tangannya semakin mendingin, dan napasnya mulai tak teratur. Ia pengidap asma akut, pantang baginya berpikir keras dan bekerja melampaui batas. Dan kali ini, fikirannya sedang benar-benar penuh.

“Dek, Rumaisha.” Rasyid menyadari perubahan istrinya. Perempuan yang menemani sisa harinya itu terlihat sedang kesulitan mengatur napas sembari mengepalkan tangan.

“Asma kamu kambuh?”
Rumaisha tak sanggup menjawab, ia lemas.

“Astaghfirullah, kita ke rumah sakit sekarang.” Rasyid sigap menyambar kunci mobil dan membopong tubuh istrinya.
Rumaisha harus segera diberi pertolongan.

*****

Seorang lelaki menunduk dalam.
Seharusnya ia paham jika rasa yang ada di hatinya tak sepatutnya ia pupuk. Ia bukan siapa-siapa, pasangan baik hati yang telah menganggapnya sebagai putra itu memang menerimanya. Namun, menerima sebagai murid yang dianggap putra tak lantas bisa disamakan dengan penerimaan sebagai menantu. Jika boleh sombong, ia memang pandai, bijak, dan memiliki banyak kebaikan lainnya. Namun, semua itu bukanlah patokan untuk dijadikan sebagai kandidat menantu, bukan? Ia menyesal telah berlaku seteledor itu. Membiarkan hatinya jatuh terlalu dalam pada seorang gadis yang harusnya hanya boleh ia anggap sebagai adik, tidak lebih.

Lelaki itu masih menunduk. Ia telah berribu-ribu kali mencoba untuk tau diri. Namun, hatinya memang selalu menghangat ketika melihat gadis cantik berbulu mata lentik itu ada di sekitarnya, tertawa bersamanya, memberikan tatapan kagum kepadanya. Ia suka pada semua yang gadis itu miliki. Mata lebarnya, bulu mata lentiknya, hidung mancungnya, semuanya. Gadis yang bertahun-tahun lalu masih setia dengan kepang duanya. Gadis yang kini telah bertransformasi menjadi gadis dewasa yang menggemaskan. Sulung yang membanggakan.

Lelaki itu memendam, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan. Namun, waktu yang tepat itu tak memihak padanya. Beberapa minggu yang lalu, ia justru mendengar tentang perjodohan gadisnya dengan seorang lelaki yang tak ia kenali. Patah? Tentu saja! Jika putra sang pengusaha saja tak mampu menggagalkan perjodohan itu, apalagi dia yang bukan siapa-siapa.

Lelaki itu akhirnya sampai di sebuah titik yang mengharuskan ia untuk berhenti berharap dan pergi. Maka, ia memilih memulai kehidupan barunya, meninggalkan tempat yang selama bertahun-tahun ini menjadi candu baginya. Ia cukup tau diri, tak pantas untuk selamanya tinggal di sana. Ia harus membiasakan diri untuk tidak peduli lagi pada keseharian sang gadis. Namun, hatinya terusik. Ia tak bisa mengabaikan gadis itu terlalu lama. Ia terlalu naif.
Lelaki itu mengusap wajahnya kasar,

“Hujan, maaf Kakak ingin menjadi lebih dari sekedar Kak Aganya Hujan.”

*****
Eh, Naya pingin bilang sesuatu, hehe. Kemarin ada yang bilang,
"Ceritanya kok sama aja, Kak Nay? Gak dirubah ya?"
Iya! Alurnya emang gak dirubah. Yang dirubah kerapian penulisannya ama beberapa hal kecil. Kalo kalian peka, bakal sadar kok kalo ada beberapa keadaan yang beda dari cerita awal, hehe.
Udah, gitu aja.
Oh ya, ada fansnya Ilham-Nisa gak di sini? Mereka udah bisa dipeluk loh. Gih, cek infonya di lapak sebelah.
.
.
Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro