Telaga dan Hujan Berdamai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Bening, Bunda kamu parah banget ya sakitnya?” Aku tergagap mendengar suara Fina, ia menyentuh lembut lenganku.

“Eh, gak parah-parah banget kok, Fin. Bunda emang punya asma akut. Kalo kecapekan ya kambuh. Tapi kemarin sehari sebelum aku balik ke Surabaya, Bunda udah keluar dari rumah sakit kok.” Aku tersenyum menatap Fina.

“Tapi semenjak kamu habis pulang dari Malang, kamu jadi sering ngelamun. Ada masalah kah?” Fina menatapku dengan raut khawatir. Aku bisa paham itu.

“Ah, kamu perhatian banget sih ama aku, jadi terharu.” Aku tertawa, berpura-pura terlihat baik-baik saja.

“Bening, aku serius ih. Kamu bisa cerita ke aku kalo punya masalah. Aku emang belum tentu bisa bantu sih, tapi mungkin aja kamu jadi bisa lebih lega.” Fina menatapku serius, aku hanya tersenyum dan mengendikkan bahu.

“Enggak kok, Fin. Aku gakpapa, makasih kamu udah perhatian ke aku.” Aku tersenyum tulus.

Bukan tak ingin berbagi, hanya saja aku belum siap bercerita pada siapa pun. Barangkali, Fina memang orang yang tepat, tapi bukan secepat ini aku akan bercerita.
Dua minggu berlalu semenjak kepulanganku dari Malang, dan pikiranku tak pernah merasa baik-baik saja dengan kabar perjodohan yang telah disampaikan Mbak Rahma. Rasanya, aku seperti bermimpi. Seorang Buya yang kukagumi mati-matian, lelaki yang kukira begitu menjunjung tinggi rasa demokrasi, ternyata adalah orangtua yang masih menganut paham Siti Nurbaya. Lelucon apa ini?

Dan lagi, Firdaus. Siapa pula lelaki bernama Firdaus itu? Mengenalnya saja aku tidak. Mbak Rahma menjelaskan jika aku akan dijodohkan dengan putra sulung Kyai Fathur, pengasuh pondok pesantren di Kediri. Aku mengenal Kyai Fathur, beliau seorang Kyai yang amat di kenal di Jawa Timur, sama seperti Buya. Namun, terkenalnya Kyai Fathur tak lantas membuat putranya terkenal juga bukan? Nyatanya, sulung Kyai Fathur itu tak pernah sekali pun muncul di media. Baiklah, untuk satu hal itu, lelaki yang tak kukenali itu sama denganku. Sama-sama tak pernah muncul di media mana pun. Namun setidaknya, Buya harus mengenalkanku pada lelaki itu jauh-jauh hari, bukan sekarang. Jika telah begini, bagaimana caranya aku mengenal seseorang bernama Firdaus itu? Kenal saja tidak, apalagi untuk membina rumah tangga?

“Tapi Ning Rain tenang saja, kata Ummi pernikahan harus tetap dilakukan setelah Ning Rain lulus kuliah.”

Aku menghela napas mengingat ucapan Mbak Rahma kala itu. Kata Bunda bukan kata Buya. Bunda memang menghendaki sulungnya untuk meraih gelar sarjana terlebih dahulu. Namun, Buya? Jika Buya telah berkata iya, maka itu artinya Bunda juga harus meng-iyakan. Ah, mengapa mendadak kehidupanku menjadi serumit ini? Tak bisakah segala sesuatunya menjadi baik-baik saja seperti berbulan-bulan yang lalu?

*****

Gus Dewa Faishal Abdillah:

Bening, sedang banyak tugas kah?

Gus Dewa mengirim pesan. Entah mengapa, mendapat pesan singkat dari lelaki itu membuat hatiku menghangat. Saling bertukar pesan adalah hal sederhana yang setiap harinya kami lakukan. Dan itu, sungguh membuatku merasa nyaman. Pesan-pesan Gus Dewa selalu berhasil membuat pikiranku beristirahat dari lelahnya kabar perjodohan dan tugas kuliah yang menggunung.

Aku mengetikkan balasan, kemudian mengirim dengan senyuman. Semuanya berjalan seperti biasanya, aku mengerjakan makalah sembari beberapa kali memegang ponsel untuk membalas pesan dari putra Abah Yai itu. Sampai sebuah pesan yang baru saja masuk membuat konsentrasiku pada makalah mendadak buyar.

Gus Dewa Faishal Abdillah:

Bening, bagaimana jika ternyata aku jatuh hati sama kamu? Sepihakkah?

Tanganku gemetar seketika. Jantungku? Jangan ditanya, detaknya benar-benar sedang tak terkendali. Harus kujawab apa pesan ini? Jelas saja rasa miliknya itu tak sepihak, hatiku sama terjatuhnya. Namun, ini terlalu cepat dan berada di waktu yang sangat tidak tepat. Pikiranku sedang penuh dengan masalah perjodohan dan lelaki yang selalu berhasil membuat jantungku tak beraturan itu mengungkapkan rasanya. Permainan baru lagi? Hidupku benar-benar sedang dipermainkan.

Aku benar-benar tak tau harus menjawab apa. Aku harus berkonsultasi pada seseorang. Percayalah, meski seorang calon psikolog, aku masih membutuhkan seseorang yang lain sebagai tempatku meminta persetujuan atas banyak hal. Dan saat ini, siapa yang hendak kujadikan konsultan dadakan?

Kak Aga. Satu nama itulah yang muncul dalam pikiranku. Memangnya siapa lagi? Selama ini, memang Kak Aga lah konsultan pribadiku. Aku ingin segera menghubungi Kak Aga sampai sebuah kenyataan menghentikan jemariku yang akan menyentuh layar telepon. Aku dan Kak Aga belum berbaikan semenjak dua bulan terakhir ini. Kami memang tak sedang bertengkar, tapi kami saling mendiamkan. Kak Aga masih rutin menanyakan kabarku, namun tak sesering dulu. Hubungan kami juga tak sebaik dulu. Entah, aku bahkan tak tau kami berdua ini sedang kenapa.

Lalu kepada siapa lagi? Fina, Mita, Ima atau Laila? Bercanda saja, meski kuyakin rahasia ini akan terjamin, tapi aku tak ingin menarik perhatian berlebih. Oh ayolah, mereka santri Gus Dewa juga. Memang hanya Kak Aga. Baiklah, aku harus menghubungi Kak Aga, tak peduli apapun yang akan terjadi. Jujur saja, aku juga rindu kakakku yang satu itu. Aku juga harus meluruskan sebuah perkara yang membuat kami seolah berjarak. Diamku pada Kak Aga sudah terlalu lama, dan kurasa malam ini lah saatnya drama itu kuakhiri.

“Waalaikumsalam, Kak.” Telepon tersambung, Kak Aga mengucap salam dari seberang sana.

“Ada apa, Hujan?”

Ada apa? Sapaan apa itu? Yang benar saja, setelah beberapa minggu tak saling menelefon, lalu kini ia bertanya ada apa? Memangnya harus ada alasan untukku menelpon? Bukankah berbulan-bulan sebelumnya, kami memang rajin bertukar suara setiap malamnya? Ah, Kak Aga memang benar-benar berbeda. Namun tak apa lah, setidaknya ia masih memanggilku Hujan, bukan Rain atau malah Bening.

“Kak Aga sehat? Gimana kuliahnya? Lancar?” Aku memulai berbasa-basi.

“Sehat alhamdulillah, kuliah juga lancar.” Jawaban yang amat sangat singkat. Kak Aga bahkan tak berinisiatif untuk balik menanyaiku.

“Kak Aga sehat lahir bathin?” Aku bertanya dengan nada yang sengaja kutekan pada kata bathin.

“Apa maksudnya, Hujan?”

“Seharusnya Hujan yang tanya apa maksudnya Kak Aga. Apa maksudnya Kak Aga pindah ke kontrakan dan gak tinggal lagi di pesantren tanpa cerita ke Hujan? Apa maksudnya Kak Aga gak pernah lagi telepon Hujan setiap malam? Apa maksudnya Kak Aga gak pernah kabarin Hujan apa pun tentang rumah lagi? Apa maksudnya, Kak? Hujan capek nebak-nebak sendiri.” Aku lelah berbasa-basi. Kenapa lelaki serumit ini? Bukankah harusnya wanita yang rumit?

“Hujan...”

“Kita kayak dua orang yang bertengkar tanpa memiliki masalah, Kak.” Aku menghela nafas lelah.

“Dengerin Kak Aga, Kak Aga gak kenapa-kenapa. Kak Aga cuma lagi butuh ketenangan. Akhir-akhir banyak sekali masalah yang ada. Maaf.” Kak Aga terdengar seperti memberi penjelasan.

“Kak Aga bisa cerita ke Hujan. Biasanya kan juga gitu.” Aku mendengkus sebal.

“Maaf, kali ini Kak Aga gak bisa cerita.” Kak Aga juga terdengar menghela napas.

“Tapi gak seharusnya juga Kak Aga diemin Hujan.” Aku masih terbawa emosi.

“Maaf, maaf sekali. Hujan mau maafin Kak Aga?”

“Kak Aga mau balik tinggal di pesantren lagi?” Aku memberi pertanyaan balik.

“Gak bisa kalo itu. Kak Aga udah cukup banyak ngrepotin Buya, Hujan. Udah saatnya Kak Aga balas budi, gak lagi ngrepotin.” Kak Aga menjawab lembut.

“Buya gak pernah merasa direpotin sama Kak Aga.” Aku memohon. Tak nyaman rasanya ketika Kak Aga tak ada di peredaranku.

“Ada saatnya kita harus tahu diri, Hujan. Hidup terus berputar, setiap orang akan berubah. Buya dan Bunda tetap saja menjadi orang yang baik, barangkali justru Kak Aga yang berubah menjadi orang yang jahat.” Kak Aga terkekeh pelan pada ucapannya.

“Hujan masih gak paham sama Kak Aga. Jelasnya, Hujan gak bisa diem-dieman sama Kak Aga. Hujan gak bisa kalo gak liat Kak Aga di pesantren. Kak Aga harus sama Hujan terus.” Suaraku terdengar merengek. Aku memang adik kecilnya Kak Aga bukan? Boleh-boleh saja kan aku merengek padanya?

“Kita akan selalu baik-baik saja, Hujan. Kak Aga janji, meski Kak Aga gak tinggal lagi di pesantren. Kak Aga tetep aja Kak Aganya Hujan.” Kak Aga terdengar begitu mantap mengucapkannya.

“Kak Aga harus menepati janji itu.” Aku menggumam pelan, Kak Aga menjawab iya dengan gumaman yang sama pelannya.

“Kak,”

“Iya?”

“Hujan masih boleh curhat ke Kak Aga? Minta pendapat Kak Aga?” Aku kembali ke topik utama, ingin berkonsultasi pada Kak Aga.

“Tentu saja.”

“Gus Dewa bilang suka ke Hujan. Hujan harus jawab apa?” Pertanyaanku meluncur mulus.

Hening, tak ada sahutan apa pun dari seberang sampai beberapa menit kemudian, sambungan mendadak terputus. Entah, karena apa.

*****
Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 💗.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro