Suara Hujan dan Telaga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Telaga.

“Gus Dewa bilang suka ke Hujan, Hujan harus jawab apa?”

Rasanya seperti seluruh lampu mati mendadak, gelap gulita. Gadis itu dengan lancarnya mengucapkan sebuah pertanyaan yang berhasil menghentikan detak jantungku dalam sekejap. Aku mematung seketika sampai tak sadar jika jariku menyentuh gambar telepon berwarna merah, memutuskan sambungan sepihak.

Aku tergagap ketika mendengar suara pintu terbuka, kawan kontrakanku pulang. Beruntung kedatangannya menimbulkan suara gesekan engsel pintu. Dengan begitu, aku menjadi sadar jika seharusnya aku masih ada dalam sebuah panggilan. Aku melirik ponsel, sambungan telah berhenti. Namun, pertanyaan dari Hujan belum sempat kujawab, maka kuputuskan untuk menghubunginya lagi.

“Kok mati, Kak?” Suara gadis yang beberapa detik lalu berhasil membuatku gemetar itu kembali bergema di ruang dengarku.

“Iya, tadi ada insiden kecil terus gak sengaja kegeser mati, maaf. Hujan ngomong apa tadi?” Aku mencoba mencari alasan. Maaf aku berbohong, Ya Allah.

“Oh, kirain Kak Aga kenapa, Hujan khawatir.” Lagi-lagi ucapan santai gadis itu membuat hatiku menghangat. Sebegitu tak inginnya ia kehilangan aku, namun sebegitu kejamnya pula ia memporak-porandakan hatiku.

“Kakak baik-baik aja.” Aku menjawab singkat.

“Kak, Gus Dewa bilang suka ke Hujan. Hujan harus gimana?” Dia kembali mengutarakan pertanyaan yang sama. Aku menarik napas panjang, mencoba menguatkan hati untuk memberikan jawaban terbaik, seperti biasanya.

“Hujan tau hukum berpacaran? Wa laa taqrobu zina.” Aku membalik pertanyaannya.

“Gus Dewa gak ngajak Hujan pacaran, Kak.” Dia mengeluarkan nada sebal. Kutebak, bibirnya pasti sedang mengerucut menggemaskan saat ini.

“Terus?” Aku ingin mendengarkan jawabannya.

“Gus Dewa cuma bilang kalo dia suka ke Hujan, udah itu aja. Hujan belum bales pesan dia karena Hujan gak tau harus jawab apa. Kan, biasanya Kak Aga yang bantuin Hujan jawab pertanyaan-pertanyaan horor kayak gini.” Dia berpanjang lebar.

‘Abaikan aja, bilang kalo kamu gak ngebolehin dia punya perasaan ke kamu.’ Sungguh! Aku ingin memberinya jawaban itu.

“Jawab aja, kamu masih kuliah dan harus fokus ama studi. Kamu gak nolak perasaan dia, karena cinta itu fitrah, Allah yang beri. Lagian dengan ungkapan Dewa, berarti udah jelas kalo kalian sama-sama suka. Bilang aja ke Dewa, kalo memang jodoh, sejauh apapun pergi pasti akan berakhir di tempat yang sama. Sekarang, cukup aplikasikan perasaan kalian ke hal-hal yang baik. Dan ingat! Tetap jangan mendekati zina. Zina mata, zina tangan, zina apa pun.” Namun, mengapa kalimat sok bijak ini yang keluar dari mulutku? Kontras sekali hati dan mulutku ini.

“Kak Aga memang motivator terbaiknya Hujan, Kakak ter-kerennya Hujan, segalanya buat Hujan. Hujan sayang Kak Aga.” Gadis itu memekik senang. Ya Allah, mengapa rasanya bahagia sekali mendengar tawa gadis itu?

“Yaudah, Kak Aga matiin ya? Hujan lanjutin kegiatan sana. Jangan lupa belajarnya, jangan lupa mengajinya juga. Assalamualaikum.” Aku memilih untuk mengakhiri terlebih dahulu. Memang seperti ini kebiasaannya, gadis itu tak pernah mau mengakhiri panggilan jika bukan aku yang mengakhiri. Ia pandai sekali mencari pembahasan, membuat hatiku semakin ketar-ketir tak karuan. Dan itu, sungguh tak ingin kurasakan.

“Iya, waalaikumsalam. Kak Aga juga semangat kuliahnya.”

Aku mematikan panggilan dengan hembusan napas lelah. Se-tak pandai itu ia membaca rasaku.

*****

Hujan.

Aku menghembuskan napas lega. Kak Aga baik-baik saja atas pertanyaan yang kuajukan. Itu artinya, ketakutan yang beberapa minggu lalu pernah menghampiriku hanyalah ketakutan tanpa alasan. Lagipula, lucu sekali tebakanku itu, mana mungkin Kak Aga memiliki rasa padaku melebihi rasa sayang seorang kakak pada adik kecilnya? Nyatanya, Kak Aga baik-baik saja dengan kabar Gus Dewa yang mengungkapkan perasaannya padaku. Ia masih bisa memberiku nasihat-nasihat keren seperti biasanya. Ah, Kak Agaku yang tersayang, kakaknya Hujan.

Kak Aga hanya sedang memiliki masalah yang aku tak diperbolehkannya untuk tau, dan aku tak keberatan dengan semua itu. Jika Kak Aga bilang aku tak berhak tau, itu artinya aku memang tak berhak tau. Kak Aga tidak sedang bermasalah dengan siapa pun di pesantren, ia pindah murni karena keinginannya. Jadi kurasa, aku tak perlu risau lagi. asal Kak Aga masih mau menghubungiku, kembali menjadi motivator terhebatku, tak mendiamkanku, sungguh! Aku telah baik-baik saja.

Masalah ungkapan Gus Dewa, aku membalasnya sesuai dengan intruksi Kak Aga. Iya! Jika memang kami ditakdirkan berjodoh, Gus Dewa di Sabang dan aku di Merauke pun pasti akan dipertemukan. Apalagi ini hanya Surabaya-Malang? Mudah bagi Allah untuk menyatukan kami. Namun, jika memang tidak, mau aku dan Gus Dewa setiap hari menghabiskan waktu berdua pun, akan ada saja jalan yang memisahkan kita.

Tidak Gus Dewa, tidak pula Firdaus-Firdaus yang tak kukenal itu, tidak siapa pun. Sesungguhnya, Buya, Bunda bahkan aku sendiri pun tak akan pernah tahu dengan siapa aku akan berjodoh. Bukankah perihal jodoh, musibah, maut dan segala sesuatunya adalah ketentuan milik Allah semata? Untuk apa kita sibuk merisaukannya? Kak Aga berkali-kali bilang, tugas kita hanya berbuat baik. Tak perlu mengharap hasil dari hal baik yang telah kita lakukan. Allah Sang Maha Segala telah mengatur dengan rapi segala urusan.

“Bening, besok UAS mata kuliah apa kamu?” Aku tergagap dengan pertanyaan Laila. Ya Allah, aku sampai lupa jika aku sedang berada dalam minggu-minggu ujian akhir saking sibuknya memikirkan perjodohan.

“Filsafat Manusia, La. Kenapa?” Aku menjawab pertanyaan Laila usai melirik sejenak jadwal ujian.

“Kayak santai banget kamu, dari tadi malah teleponan.” Laila menggelengkan kepala sembari tersenyum.

“Aku kalo belajar jam segini malah gak masuk, La. Mending belajar ntar sebelum subuh, fikirannya masih fresh.” Aku memamerkan rentetan gigi, menyengir.

“Filsafat Manusia? Mata kuliahnya pak Tio itu? Gak usah belajar juga aku yakin kamu dapet nilai A, Ning.” Fina terkekeh menatapku, membuatku memutar bola mata sebal.

“Lah? Kok bisa?” Laila bergantian menatapku dan Fina dengan wajah bingung.

“Gak pernah denger gosip Pak Tio dosen Filsafat yang ganteng suka sama anak Psikologi semester dua yang namanya Bening?” Fina kembali terkekeh. Aku sontak melemparkan bantal ke tubuhnya. Ia justru semakin terbahak.

“What? Bening? Kamu baru semester dua dan udah dapet gebetan dosen?” Laila terbelalak.

“Istighfar, La. Omongan ngaconya Fina kamu dengerin?” Aku memajukan bibir sebal.

“Semester dua? Pak Tio suka ama Bening dari semester satu kali, La? Kan Bening diajar Filsafat Ilmu sama Pak Tio juga pas semester satu.” Fina gencar sekali memojokkanku.

“Beneran, Ning?” Laila menatapku, mencoba mengklarifikasi.

“Bener, semester satu aku diajar Filsafat Ilmu ama Pak Tio, terus semester dua ini diajar Filsafat Manusia ama beliau lagi.” Aku menjelaskan sembari mengangkat bahu.

“Ih, Bening. Bukan itunya, bener Pak Tio suka kamu dari semester satu?” Laila menatapku gemas sementara Fina sudah terbahak jahat di ranjangnya.

“Suka banget denger gosip recehan?” Aku memicingkan mata menatap Laila dan Fina bergantian.

“Bening, jawab yang serius ih.” Laila justru bangkit dan menghampiri ranjangku.

“Bodoamat, La. Minggir ih, aku mau tidur biar besok bisa bangun jam setengah tiga.” Aku meletakkan ponsel, menarik selimut menutupi kepala.

“Jangan cantik-cantik sih, Ning. Masak ntar sekampus suka ama kamu semua? Aku kebagian siapa dong?” Laila menarik-narik selimutku, membuatku kalap dan membalasnya dengan tendangan pelan. Laila mendengkus sebal melihat aksiku. Aku hanya terkekeh di balik selimut.

Ya Allah, terimakasih. Rasanya menyenangkan sekali memiliki mereka yang masih bisa membuatku tersenyum dalam masa-masa seperti ini. Allah, terimakasih untuk malam ini.

*****
Jadi, siapa yang di sini sama kayak Raina? Se-gak peka itu. Duh, orang yang gak peka itu emang bikin gemes ya.
Eh, curcol, Nay? Haha.
.
.
Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar😘.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro