Menelisik Jejak Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Bening, liburan semester pengen ke Malang.” Fina melompat ke ranjangku, ikut berbaring di sebelahku yang sedang menekuri lembar makalah.

“Ke rumahku?” Aku meletakkan makalah Ilmu Hadits, menatap Fina.

“Aku orang Lumajang, Laila orang Lamongan, Mita orang Mojokerto, Ima orang Sidoarjo. Terus menurut kamu?” Fina memutar bola matanya, jengah menatapku. Aku menggigit bibir pelan, mendadak jantungku berdebar kencang. Fina ingin berlibur ke rumahku? Yang benar saja. Apa kata gadis Lumajang itu jika ia kubawa ke pesantren milik Buya?

“Ih, Bening. Kok malah ngelamun sih? Gak boleh ya main ke rumah kamu?” Fina mengguncang lenganku, membuatku tergagap.

“Eh, boleh lah. Masak main gak boleh.” Aku menyahut cepat.

“Malang kota dingin ya? Gak kayak Surabaya yang panasnya masyaa Allah ini kan? Aku jadi pengen ikutan.” Laila menghampiri ranjangku, ikut nimbrung.

“Mending sekalian kita sekamar main ke rumah Bening semua. Boleh kan, Ning?” Fina memberi sebuah usulan yang sumpah, membuatku mati kutu. Menolak sungkan, mengiyakan enggan.

“Boleh sih, tapi kan Malang lumayan jauh. Kalian gakpapa ama orangtua?” Aku mencari-cari alasan, sekiranya dapat membuat mereka menggagalkan rencana. Jahat memang, tapi sungguh! Aku belum siap.

“Kalo aku sih gak masalah. Ibuk sama Bapak udah percaya ngelepas aku. Kita udah jadi mahasiswa, Bening.” Fina memukul pelan lenganku.

“Aku juga, Mama Papa gampang kasih izin.” Laila ikut menyetujui.

“Ima ama Mita?” Fina mendongak, menatap Mita dan Ima yang sedang sibuk melipat baju berdua.

“Liburan semester seminggu lagi ya? Kayaknya bisa deh, Mamak nyuruh aku pulang dua minggu lagi.” Ima menganggukkan kepala, ikut menyetujui.

“Aku sih, yes.” Mita ikut mengaminkan.

Oh baiklah, kali ini aku yang terpojokkan. Sungguh! Jika pantas untuk menolak, ingin rasanya kutolak kunjungan ini. Bukan apa-apa, hanya saja aku memang belum pernah mengajak siapa pun ke rumah. Teman Aliyahku juga tak pernah, aku tinggal di pesantren Jawa Tengah, terlalu jauh bagi kawan-kawan Aliyahku itu untuk menapaki tanah sejuk Malang.

“Bening? Gimana? Jadinya kamu pulang kapan?” Fina kembali menyenggol lenganku.

“Eh, ya kalo kalian pada mau maen ke rumah seminggu lagi, ya aku ngikut.” Aku menjawab seadanya. Memang tak ada lagi pilihan untuk menjawab, bukan?

“Oke, begitu UAS berakhir, kita langsung ke Malang. Mari menikmati kota sejuk.” Fina bersorak semangat.

“Yes. I’am coming, Malang.” Laila ikut bersemangat.

“Akhirnya kesampaian ngunjungin Kota Apel.” Kali ini Ima ikut bereuforia.

Aku bisa apa melihat antusias mereka? Oh baiklah, mungkin memang sudah jalannya. Tak selamanya juga aku harus menyembunyikan identitas Buya dan Bunda pada seluruh kawanku.

*****

“Rumah kamu dari terminal masih jauh, Ning?” Mita menatapku begitu kami menuruni bus jurusan Surabaya-Malang.

“Lumayan sih, nunggu Kak Aga jemput ya. Dia udah berangkat dari tadi, tapi kok belom dateng juga ya.” Aku berjalan, menggiring mereka untuk berteduh di bawah pohon.

“Kak Aga? Sumpah demi apa? Aku bakal liat langsung wajah Kak Aga yang ganteng ngalah-ngalahin artis itu? Ya Allah, Bening. Kenapa gak ngomong coba? Kan bisa gitu aku cuci muka dulu, udah kumel ini.” Fina berteriak histeris, membuatku terkekeh.

“Kamu mau cuci muka sampek hidung kamu ikutan hilang juga Kak Aga gak bakal ngelirik, Fin. Kak Aga kan jaga pandangan.” Laila melirik sinis, diikuti kekehan Ima dan Mita.

“Ama Bening aja ngelirik kok, kan bukan muhrim juga harusnya.” Fina bersungut-sungut menatap Laila.

“Kan Bening adeknya, lah kamu?” Laila masih keukeuh menyela.

“Kan bukan kandung juga.” Fina melirik sinis, membuatku menggelengkan kepala.

“Udah sih, ribut mulu. Itu Kak Aga udah dateng.” Aku menunjuk sebuah avanza hitam yang sedang memasuki terminal.

“Ganteng, pinter, bisa nyetir. Ya Allah, Bening. Kamu mau gak punya kakak ipar aku?” Kali ini Ima yang berhisteria.

Aku hanya tertawa menanggapi kalimat Ima. Lebih memilih memperhatikan mobil Kak Aga yang mendekat, kemudian berhenti tepat di hadapan kami. Kak Aga turun dan sigap menemuiku, mengambil ransel besar yang kubawa.

“Cuma berlima? Kirain orang banyak. Kalo cuma lima sih, tadi Kakak jemput pake tossa aja.” Kak Aga berkelakar, membuat keempat kawanku terbahak.

Kami segera memasuki mobil. Percayalah! Sesejuk apapun Kota Malang, di sini tetap ada matahari saat siang hari, dan itu cukup untuk membuat kami berlima meneteskan peluh. Aku duduk di depan, di samping Kak Aga. Sementara keempat gadis yang sejak tadi riuh itu duduk manis di kursi belakang.

“Rumah aku masih lumayan jauh, istirahat aja. Ntar kalo udah sampek aku bangunin, tapi janji gak kaget liat rumahku ya.” Aku menoleh begitu Kak Aga melajukan mobil, memberi intruksi pada keempat kawanku.

“Siap, Kakak Bening. Adek Mita memang sudah mengantuk sejak tadi.” Mita mengangkat jempolnya dengan mata sedikit terpejam, mungkin ia lelah.

“Sayang yang mau meremin mata, ada pemandangan bagus di depan. Tapi ngantuk.” Fina mengerucutkan bibirnya centil, membuat lelaki yang berada di kursi supir terkekeh. Ia merasa ternyata.

“Udah tidur aja, Kak Aga gak bakal ngilang juga sampek besok.” Aku terkekeh.

Fina mengangguk lemah, ia juga lelah sepertinya. Laila dan Ima? Jangan ditanya lagi, mereka sudah terlelap bahkan semenjak Kak Aga masih belum menduduki kursi supirnya.

“Udah bener-bener yakin ngajakin temen main ke rumah?” Kak Aga membuka suara begitu menyadari keempat kawanku terlelap nyaman.

“Mereka pengen main ke Malang, Kak. Masak iya aku tolak? Sombong banget kesannya.” Aku mengerucutkan bibir.

“Ya udah sih, gakpapa. Sekali-kali biar ada yang tau rumah kamu juga.” Kak Aga terlihat tersenyum, tatapannya masih fokus di jalanan.

“Aslinya aku masih ragu, Kak. Takutnya habis ini, mereka jadi sungkan ke aku, gak kayak biasanya. Terus anak-anak pesantren juga jadi pada tau kalo aku anaknya Buya. Ah,  aku gak suka digituin.” Aku menyuarakan kegelisahanku, lagi-lagi Kak Aga tersenyum.

“Kan kamu emang putrinya Buya, kenapa harus ditutup-tutupi?”

“Kan aku gak suka, Kak.” Aku mendengus sebal, membuat Kak Aga terkekeh.

“Iya, Kakak paham. Tapi setiap sesuatu yang kita miliki memang pasti ada resikonya, Hujan. Tergantung bagaimana pandainya kita dalam menyikapi. Bukan masalah besar kalo nantinya emang temen-temen kamu pada tau siapa kamu sebenarnya. Selagi kamu tetap bersikap seperti biasanya, tetap membaur dengan baik, mereka juga gak akan ngerubah sikap ke kamu. Percaya sama Kakak.” Kak Aga mulai berpanjang lebar, aku mengangguk, menyetujui ucapan kakak tampanku itu.

“Oh ya, mbak-mbak yang sukanya berdiri kayak polisi di sepanjang pintu masuk, udah dikondisikan kan, Kak? Pokoknya gak boleh ada mbak-mbak di sana.” Aku mengingat satu hal, menatap Kak Aga antusias.

“Tadi sih udah Kakak bilangin. Gak tau kalo nanti masih bandel aja di sana.”

“Ya udah, semoga aja gak ada. Aku ikutan tidur ya, Kak. Ngantuk.” Aku menggerakkan badan, mencari posisi nyaman.

“Iya, nanti kalo udah sampek, Kakak bangunin.”

Dan setelahnya, entahlah! Aku telah berada di alam bawah sadar.

*****

“Ning, ngapain kita ke pesantren?” Laila mengernyitkan dahi begitu kuajak turun dari mobil.

“Pondok Pesantren Bahrotul Ulum? Pesantren yang terkenal di Malang? Tetangga aku ada yang mondok sini, pinter banget dia. Eh tapi, kita ngapain kesini?” Mita ikut mengernyitkan dahi.

“Kamu alumni sini juga, Ning?” Kali ini Fina yang kebingungan.

“Rumah kamu belakang pesantren?” Ima tak ketinggalan dengan kebingungannya.

“Ayo lah, masuk dulu, ntar juga tau. Tapi janji gak boleh kaget.” Aku tersenyum singkat, enggan menanggapi kebingungan mereka. Kak Aga juga tersenyum sembari menurunkan beberapa ransel.

Aku berjalan mendahului Ima, Laila, Mita dan Fina. Mereka berempat mengikuti langkahku. Namun baru beberapa langkah, aku memilih berhenti. Bisa-bisanya para mbak berdiri berjajar di depan pintu. Dan lagi, ada Bulan disana. Apa yang gadis SMP itu lakukan di depan pintu masuk?

“Ning Rain, Bulan kangen.” Bulan, gadis yang tingginya hampir menyetaraiku itu memelukku erat.

“Panggil Kak Rain, Bulan. Ih.” Aku membalas pelukan Bulan sembari sedikit mencubit pipinya, gemas.

“Sama aja sih, Ning.” Bulan melepaskan pelukan, kemudian menatap sumringah keempat kawanku.

“Hai, Kakak-kakak. Aku Bulan, adiknya Ning Rain ama Kak Aga.” Gadis remaja itu melambaikan tangan pada keempat kawanku yang masih ternganga bingung.

“Ning Rain, biar saya yang bawain ranselnya. Ranselnya mbak-mbak juga.” Mbak Rahma, Mbak yang berdiri paling dekat denganku angkat suara.

“Eh, kalo punyakku gak usah, Mbak. Biar aku yang bawa, sebagian juga udah dibantuin Kak Aga tadi. Mbak Rahma sama mbak-mbak bantuin bawa barangnya temen-temen aku aja.” Aku mengangguk pelan, kemudian memberi intruksi pada Mbak Rahma untuk membantu membawakan ransel Ima, Mita, Laila dan Fina.

Keempat kawanku yang masih tenggelam dengan rasa bingung itu hanya diam saja ketika ranselnya diangkut oleh para mbak. Kebingungan mereka belum tertuntaskan.

“Ke kamar tamu atau kemana, Ning?” Mbak Rahma kembali angkat suara.

“Ke kamar aku aja, Mbak. Kita berlima biasa tidur barengan.” Aku menjawab cepat. Tak mungkin juga kami berlima tidur di kamar yang berbeda. Mbak Rahma mengangguk, kemudian segera melaksanakan intruksi bersama mbak-mbak yang lain.

“Bulan, kok mbak-mbak bisa berdiri disini? Kan Ning Rain udah bilang ke Kak Aga biar mbak-mbak gak perlu ngelakuin ini?” Aku melirik Bulan, pastilah gadis ini biang keroknya.

“Hehe, Bulan yang ajakin. Lagian Bunda ama Buya juga nyuruh kok. Takutnya temen-temen Ning Rain bawa barang banyak.”

“Ih, dasar.” Aku mencubit pelan pipi gadis remaja itu.

“Buya ama Bunda nunggu di ruang tamu.” Bulan berjalan mendahuluiku, melangkah riang memasuki rumah.

“Bening? Kamu?” Pertanyaan Mita menggantung begitu menatap Buya dan Bunda yang tersenyum di sofa ruang tamu.

“Assalamualaikum, Bunda, Buya. Rain pulang. Ini temen-temen Rain.” Aku meraih tangan Bunda dan mengecupnya, keempat kawanku ikut meniru sembari tersenyum canggung.

“Waalaikumsalam, Rain. Udah sana langsung masuk, mereka capek kayaknya. Biar istirahat bentar, terus ajak ke ruang makan, kalian makan dulu.” Buya memberi perintah sembari tersenyum setelah aku mengecup punggung tangan beliau. Aku mengangguk, kemudian melangkah memasuki kamar, keempat kawanku yang masih linglung hanya mengikut.

“Ya Allah, kamu putrinya Buya Rasyid? Pengasuh pesantren Bahrotul Ulum?” Laila membuka suara begitu kami sempurna memasuki kamar.

“Ya Allah, Ning Rain. Maafkan kami selama ini.” Fina memegang tanganku pelan.

“Bening kami, kamu kenapa gak keliatan sama sekali kalo putrinya Buya Rasyid?” Ima ikut takjub.

Mita hanya terdiam, menatapku dengan pandangan yang entah tak kupahami artinya.

“Biasa aja, aku tetap Beningnya kalian. Janji gak alay ke aku ya? Biasa aja sih. Ayo ah jangan serius-serius, biasanya juga gimana. Udah yuk ah, makan. Tadi disuruh makan juga ama Buya.” Aku tersenyum canggung, kemudian melengang keluar.

Baiklah, di depan keempat kawan dekatku ini, kurasa cukup sudah sandiwaraku. Bukan masalah besar mereka tau latar belakang keluargaku. Kak Aga benar, segala sesuatunya tergantung bagaimana kita menyikapi. Dan aku, hanya akan bersikap seperti sebelumnya pada keempat gadis cantik itu. 

*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro