Rasa Hujan yang Memekar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Assalamualaikum, Kakak Gantengnya Hujan.” Aku melambaikan tangan di depan layar ponsel, ada Kak Aga di dalam sana.

“Waalaikumsalam, lagi di kampus itu?” Kak Aga mengedarkan pandangan, seolah meneliti keadaan sekitarku.

“Iya, lagi ada jam sebenernya, tapi dosennya gak hadir, ya udah aku video call Kakak.”  Kak Aga terlihat mengangguk-anggukan kepalanya.

“Apa kabar? Lancar di jurusan psikologi?” Kak Aga tersenyum, membuat kadar ketampanannya meningkat berkali-kali lipat.

“Masih semester satu, Kak. Alhamdulillah lancar sejauh ini. Mata kuliah masih umum semua, kayak pas Aliyah. Cuma beberapa aja yang udah menjurus ke psikologi.” Aku mengambil beberapa buku Kayla dan menumpuknya, menjadikan tumpukan itu sebagai sandaran ponselku.

“Ya Allah, Bening. Itu Kak Aga ya? Kakak yang sering kamu ceritain? Ganteng banget. Masih jomblo kan? Kenalin ke aku kek, Ning.” Kayla yang merasa beberapa bukunya ku ambil menoleh, kemudian berteriak histeris memandang layar ponselku. Aku memang sering menceritakan tentang Kak Aga pada banyak orang, Kayla salah satunya. Namun, baru kali ini aku menghubungi Kak Aga via video call di kampus, biasanya aku selalu melakukannya di Pesantren.

“Ya Allah, Bening. Kak Agamu ketawa. Fix, limited edition yang kayak gini, Ning. Sumpah! Kamu harus kenalin Kak Aga ke aku.” Kak Aga semakin terbahak melihat ekspresi takjub Kayla. Kayla memang seperti itu, jiwa penikmat ketampanan wajah seorang lelaki sepertinya memang sudah mendarah daging pada tubuhnya.

“Hai, assalamualaikum. Aku Aga, kamu?” Kak Aga justru memperkenalkan diri, membuat Kayla jejingkrakan macam orang yang baru saja mendapat rejeki uang kaget satu milyar.

“Kayla, Kak. Kayla Rasiana. Eh lupa, waalaikumsalam.” Kayla terkekeh sendiri dengan tingkahnya, membuat Kak Aga menggeleng geli.

“Salam kenal, Kayla.” Lagi-lagi, jiwa norak seorang Kayla muncul. Ia tersenyum sok manis sembari mengusap-usap layar, seolah Kak Aga benar-benar ada di hadapannya.

“Kak, aku temen Bening yang paling deket loh, Kakak bisa kepoin Bening yang jadi mahasiswa lewat aku.” Aku menepuk jidat, Kayla benar-benar gadis dengan bakat modus yang mendalam. Kak Aga hanya tertawa menanggapi kalimat Kayla, kemudian beralih menatapku.

“Kak Aga gimana S2nya? Lancar?” Aku merebut kembali obrolan yang sempat disabotase oleh teman sebangkuku yang kelewat aktif itu.

“Alhamdulillah lancar, sedang banyak tugas akhir-akhir ini. Kakak jadi sering main ke Perpustakaan UIN buat nyari referensi buku.” Kak Aga terlihat merubah posisinya.
Mendengar Kak Aga menyebut kata UIN,  ingatanku mendadak tertuju pada Gus Dewa. Bukankah Kak Aga dan Gus Dewa berada dalam satu almamater? Ah, lelaki putra Abah Yai itu benar-benar menyita ruang fikirku akhir-akhir ini. Kami semakin dekat semenjak Gus Dewa memiliki nomor ponselku. Ada saja obrolan lewat aplikasi hijau yang kami lakukan setiap hari. Sesuai perjanjian, ia benar-benar menjadi teman yang baik. Aku juga menepati janjiku, tak menunjukkan raut canggung padanya.

Kami saling mengenal dengan baik. Segala sesuatunya baik-baik saja, kecuali hatiku.
Dewa Faishal Abdillah. Putra ketiga dari Abah Yai, pengasuh pesantren yang saat ini kutinggali. Lelaki yang saat ini sedang bersiap menunggu wisuda S1 sebulan mendatang. Lelaki tampan yang pandai membaca berbagai kitab kuning berikut penjelasannya. Aku merasa semakin dekat, semacam ada yang kurang jika dalam sehari saja tak ada pesan darinya. Katakan aku sudah gila, tapi memang itu yang aku rasakan. Gus Dewa sempurna membuat hatiku menghangat, bahkan hanya dengan mengingatnya.

“Kenapa jadi ngelamun? Itu pipinya kenapa memerah?” Aku terkesiap. Ah, hanya karena mengingat Gus Dewa bahkan aku mengabaikan kakak tampanku yang masih berada di seberang sana.

“Bukan apa-apa, Kak. Oh ya, UIN Malang mau ada wisuda akbar sebulan lagi ya?” Aku tersenyum canggung, kemudian mencari pembahasan lain. Lumayan, mengalihkan rasa canggung sekaligus menggali info tentang Gus Dewa. Aku terlalu pandai bukan?

“Iya. Kok tau kalo mau ada wisuda akbar di UIN Malang?” Kak memicingkan mata, menatapku curiga.

“Dikasih tau Gus Dewa.” Aku menjawab singkat, menetralisir degup jantungku setiap usai menyebut namanya.

“Oh, jadi sekarang deket ama Dewa? Sampek bisa berbagi kabar gitu?” Kak Aga terlihat menggodaku, lagi-lagi aku hanya tersenyum canggung.

“Kayaknya Dewa bakal jadi lulusan tebaik di Fakultasnya deh. Udah keliatan roman-romannya.” Kak Aga justru kembali menyebut nama Gus Dewa.

“Beneran, Kak? Emang bisa ditebak ya roman-roman wisudawan terbaik.” Aku berpura-pura memasang tampang datar, menutupi euforiaku pada hipotesis Kak Aga. Bahagia rasanya membayangkan Gus Dewa tampil dengan toga dan selempang bertuliskan kata cumloude. Ah, bukankah Gus Dewa yang akan menjadi lulusan terbaik? Kenapa justru aku yang bereuforia? Aku ini kenapa?

“Dia cuma tiga kali bimbingan ke dosen pembimbing dan skripsi langsung kelar. Dosen mana yang gak seneng dapet mahasiswa bimbingan kayak gitu? Sidang dan segala tetek bengek skripsi juga lancar semua. Dia jadi gosip paling hot di kampus sekarang. Sosok lelaki idaman kalo kata orang-orang.” Kak Aga terkekeh.

“Duplikatnya Kak Aga setahun lalu dong? Dulu kan yang menempati posisi gitu di kampus Kak Aga. Jadi inceran banyak wanita, sampek Bunda geleng-geleng kepala. Bikin Bunda nangis haru pas Kakak dipanggil jadi wisudawan terbaik.” Aku ikut terkekeh.

“Begitulah, Hujan. Hidup itu terus berjalan. Kamu gak mungkin terus menempati posisimu yang saat ini, maka jangan mudah merasa nyaman. Suatu saat posisimu akan diambil oleh generasi selanjutnya. Tak ada yang perlu disalahkan, memang sudah seperti itu jalan takdirnya.” Aku menegakkan posisi tubuh, Kak Aga sudah memulai sesi berbagi motivasinya. Hal yang selalu aku suka.

“Maka dari itu, Jangan terlalu nyaman dengan sesuatu yang telah lewat, jangan pula terlalu lama meratapi. Ada banyak hal yang harus kamu selesaikan di depan sana. Saatnya generasi baru menempati titik nyamanmu. Ikhlaskan, dan terus melangkah. Akan ada banyak sekali titik lebih nyaman yang akan menyambutmu.” Kak Aga melanjutkan nasihatnya. Kak Agaku benar-benar tak terduakan.

“Kalo aku udah jadi sarjana Psikologi ntar, aku bisa jadi motivator handal kayak Kak Aga gak ya?” Aku bergumam sendiri, membuat Kak Aga tertawa.

“Kak Aga guru madrasah, Hujan. Bukan motivator.”

“Motivator buat aku, motivator terhebat ngalah-ngalahin semua motivator terkenal yang ada di sosial media ama tv.” Aku berucap semangat. Tak pernah bosan rasanya memuji Kak Aga.

“Kak Aga harusnya udah jadi artis ya?” Kak Aga justru berkelakar, membuatku terbahak.

“Jangan jadi artis, aku gak ikhlas.” Aku pura-pura memasang wajah serius.

“Kenapa?” Kak Aga mengernyitkan dahi, ekspresi bingung yang membuatku tertawa.

“Kalo jadi artis, ntar berarti kasih motivasi ke orang banyak. Aku dilupain, Kak Aga bukan lagi  Kak Aganya Hujan.” Aku tersenyum. Kulihat wajah Kak Aga sedikit memerah, mungkin cuaca Malang sedang panas. Eh, tapi bukankah Malang kota yang sejuk? Lalu alasan memerahnya wajah putih Kak Aga itu apa? Entahlah! Aku enggan banyak berfikir. 

“Kak Aga gak mungkin lupain kamu, Hujan. Gak akan pernah dan juga gak akan bisa. Ingat itu! Jadi jangan khawatir Kak Aga pergi.” Kak Aga menatapku dengan senyumannya yang selalu kusuka.

“Pokoknya Kak Aga harus janji kalo gak bakal pergi dari aku. Bukan cuma dari aku, tapi juga dari Buya, Bunda dan Bulan. Kita kan keluarga.” Kak Aga mengangguk. Tatapannya terlihat berbeda. Ah, Kak Agaku memang mudah sekali berganti ekspresi.

“Udah dulu ya, Kakak mau ada rapat guru. Jaga diri kamu baik-baik. Semangat menuntut ilmu umum dan agama, biar seimbang. Assalamualaikum.” Ah, Kak Aga telah mengakhiri panggilan. Tak rela rasanya, tapi seperti wejangan Bunda, aku tak boleh sering merepotkan Kak Aga. Kak Aga memiliki banyak kesibukan. Memaksa Kak Aga untuk menjadi kawan bicaraku ketika sedang ada jadwal rapat, tentu saja termasuk kategori merepotkan.

“Waalaikumsalam, Kak. Kakak juga jaga diri baik-baik. Semangat jadi supermannya para mujahid mungil, semangat mengerjakan tugas-tugas S2 juga.” Aku ikut mengakhiri panggilan. Kak Agaku sudah saatnya kembali menjadi orang sibuk untuk masa depannya.

*****
~Jangan lupa! Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro