Telaga Meluap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Telaga

"Ternyata Rain sudah besar ya, Ga?"

"Eh, Buya."

Aku menoleh dan mendapati Buya berdiri di sampingku. Aku yang tengah mengamati kegiatan sore para santri dari balkon ndalem seketika tersenyum. Sebenarnya aku sedikit bingung. Perihal apa yang membuat Buya tiba-tiba muncul di sampingku dan membahas Rain? Padahal, kegiatan yang saat ini tengah aku lakukan sungguh tak ada hubungannya sama sekali dengan putri sulung Buya itu.

"Raina Putri Bening. Gadis kecil keras kepala itu sekarang sudah besar ternyata, Ga." Buya berjalan menuju kursi di teras balkon dan duduk.

"Iya, Buya. Rain sudah besar." Aku menyusul beliau dan ikut duduk di sampingnya.

"Dulu, pertama kali kamu dateng ke sini, Rain masih suka dikuncir dua. Lari-lari ke sana-ke mari gak pakai jilbab. Kamu sering gandeng dia ke mini market buat beliin es krim tiap dia nangis." Buya melanjutkan ucapannya sembari menerawang. Masih tentang Rain.

"Iya, Buya." Aku menjawab singkat. Lagipula, aku juga bingung harus menjawab seperti apa.

"Sekarang Rain sudah besar, Ga. Dia masih saja suka ngajak kamu ke mana-mana. Anak itu memang hobi sekali merepotkan orang." Buya terkekeh lirih.

"Sama sekali tidak, Buya. Saya tidak pernah merasa direpotkan oleh Rain." Aku tersenyum. Memang benar, aku tak pernah merasa direpotkan oleh Rain, sama sekali. Aku justru senang ketika gadis itu meminta tolong padaku.

"Buya yang merasa direpotkan, Ga. Bukan kamu." Buya lagi-lagi terkekeh. Kali ini, entah mengapa terdengar sumbang di telingaku.

"Maksudnya, Buya?" Aku mengernyitkan dahi. Sebenarnya arah bicara Buya ini ke mana?

"Buya punya janji sama salah satu sahabat, Ga. Kami akan menjodohkan anak-anak kami. Kebetulan sekali, Rain lah yang cocok untuk Buya jodohkan dengan putra sahabat Buya itu. Bulan masih terlalu kecil. Tapi, mendadak Buya mengkhawatirkan satu hal," Buya menghentikan ucapannya sebelum selesai, seolah memancing aku untuk bertanya kelanjutan kalimatnya.

"Khawatir kenapa, Buya?" Akhirnya aku memang harus bertanya. Toh, aku benar-benar penasaran dengan kelanjutan kalimat beliau.

"Kamu paham kalau Raina itu gadis yang keras kepala. Sejak awal, dia sudah membenci perjodohan ini. Buya paham jika Buya yang salah karena terlalu mudah berjanji. Tapi, bagaimana lagi, Ga? Semuanya sudah terlanjur. Janji itu hutang, bukan? Buya tetap harus melaksanakan perjodohan ini. Dan, melihat kedekatan kalian, mendadak Buya semakin khawatir jika Rain akan benar-benar menolak perjodohan ini, bahkan nekat melakukan hal-hal yang tidak terduga." Buya mengembuskan napas panjang.

"Memangnya kenapa, Buya?" Aku masih bingung mengimbangi obrolan Buya, sungguh!

"Bagaimana jika Rain menyukai kamu, Aga? Bukan sebagai abangnya, tapi sebagai yang lain. Buya tak perlu khawatir pada kamu. Kamu pasti bisa membedakan rasa dengan benar. Tapi, bagaimana dengan Rain?" Buya mengusap wajah, terlihat risau. Aku mendadak tersenyum getir.

"Tidak akan, Buya. Rain selalu menganggap saya abangnya. Tidak pernah lebih. Buya tak perlu sekhawatir itu." Aku masih tersenyum getir. Dugaan Buya sungguh terbalik. Justru aku yang tak pandai memilih rasa untuk seorang Raina Putri Bening. Aku yang kewalahan menyeimbangkan posisi, kebingungan menentukan bahwa lebih pantas mana antara menjadi abang atau pasangan untuk gadis itu.

"Tidak ada yang bisa menebak hati seseorang, Aga." Buya masih menunjukkan raut khawatir.

"Benar, Buya. Tapi, untuk hal yang satu ini, saya berani menjamin. Rain tak pernah menganggap saya lebih dari sekedar abang." Lagi-lagi aku tersenyum getir. Memang begitu kebenarannya, bukan?

"Oh iya, Buya. Sebenarnya nanti malam saya mau pamit ke Buya. Saya harus pulang ke rumah. Sudah tiba masanya saya kembali. Kebetulan sore ini sedang ngobrol dengan Buya, jadi sekalian pamit saja." Merasa Buya tak akan menanggapi ucapanku, jadi aku meneruskan pembicaraan.

"Kamu mau pulang ke mana?" Buya seketika menatapku dengan dahi mengernyit.

"Saya punya rumah, Buya. Maaf jika selama ini saya banyak merepotkan. Saya mohon maaf sekali belum bisa ajak Buya bertemu dengan keluarga. Suatu saat nanti, pasti saya akan mengenalkan Buya pada mereka." Aku meraih tangan Buya, mengecupnya takzim. Beliau adalah ayah kedua bagiku.

"Kamu sudah Buya anggap anak, Aga. Buya pikir, ya pesantren ini rumah kamu, tempat kamu pulang." Buya menatapku dengan raut sedih.

"Saya juga anggap Buya ayah saya sendiri. Tapi, saya memang sudah harus kembali ke asal saya, Buya. Jadi saya mohon maaf sekali." Aku mencium tangan Buya sekali lagi. Rasanya berat sekali meninggalkan Buya dan pesantren ini. Aku besar di tangan beliau dan tumbuh di lingkungan ini.

"Buya juga gak bisa mencegah, kan? Kamu nanti pamit sama Ummi, Bulan, dan para santri sekalian ya. Jangan lupa ke Rain juga." Buya mengusap kepalaku lembut. Aku sungguh merasakan kasih sayang yang luar biasa tulus.

"Iya, Buya. Pasti." Aku mengangguk mantap.

"Sudah mau azan maghrib. Sana ke masjid, kamu ngimamin solat maghrib para santri. Terakhir sebelum pulang." Buya tersenyum.

"Iya, Buya." Dan, kami pun beranjak, berjalan bersisian menuju masjid.

*****

Hujan:

Assalamualaikum, Hujan. Kakak pamit pergi untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Kamu tetap semangat kuliah dan ngaji. Mandiri ya mulai sekarang. Selesaikan masalah dengan baik. Kakak percaya kamu, kamu gadis paling bijak yang pernah Kakak kenal. Jaga diri baik-baik. Jaga Ummi, Buya, dan Bulan juga. Semoga kamu jadi psikolog yang hebat. Makasih udah jadi adik yang baik selama ini. Semoga Allah masih ngasih kita kesempatan buat ketemu lagi, entah kapan.

Aku berkali-kali mengeja pesan yang telah kuketik sebelum mengirimkannya pada Rain. Rasanya sulit sekali menekan gambar kirim pada aplikasi hijau ini. Sebenarnya, aku ragu. Apa tanggapan gadis keras kepala itu setelah membaca pesanku nanti? Bingung dan merasa kehilangan, kurasa itu pasti. Namun, menangisi kepergianku rasanya tidak mungkin. Raina Putri Bening gadis yang pandai menguasai keadaan. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Maka, aku memutuskan untuk menekan tombol kirim, kemudian memblokir aplikasi whatsapp dalam ponsel, serta membuang kartu perdana.

Aku rasa semuanya cukup.

Aku memang tinggal dengan Buya sejak remaja. Sejak Rain masih suka dikuncir dua dan Bulan belum pandai berbicara. Namun, aku punya rumah. Selama ini, aku memang menguatkan diri untuk tidak pulang. Sebab, aku memiliki ikatan janji pada bapak untuk tidak pulang ke rumah minimal 10 tahun sejak aku melangkahkan kaki keluar. Aku telah jauh melewati tenggat itu. Aku bahkan telah berada di pesantren ini selama 13 tahun tanpa sekalipun pulang, dan aku baik-baik saja. Justru bapak dan ibu yang mulai gusar, memintaku cepat-cepat pulang.

Aku selalu meyakinkan mereka bahwa aku pasti pulang, entah kapan. Aku sungguh betah berada di pesantren ini. Tenggat waktu 10 tahun yang dulu kuanggap sulit, bahkan sama sekali tak terasa. Aku pasti pulang. Kukira, aku akan pulang barang satu atau dua tahun lagi. Menggenapkan hitungan menjadi 15 tahun, pikirku.

Sayangnya, obrolan sore tadi dengan Buya mendadak membuat aku sadar. Barangkali, aku terlalu jauh masuk dalam keluarga ini. Aku sungguh menghormati Buya setulus-tulusnya. Aku berhutang harta, ilmu, dan banyak hal pada beliau. Hutang yang tak pernah bisa kulunasi, dan justru kubayar dengan sikap yang tak pantas. Aku mencintai sulungnya yang telah dijodohkan dengan seseorang. Betapa tak beradabnya aku.

Maka, sebelum semuanya terlanjur jauh, aku memutuskan untuk pulang. Aku harus menghentikan ketidak sopanan ini. Lagipula, semakin lama berada di sini, aku akan semakin jauh membersamai Rain, dan itu bukan pilihan yang baik. Aku seperti menyambut bom waktu yang akan meledakkan tubuhku sendiri.

Aku menarik napas panjang. 15 tahun yang tak terrealisasikan. Nyatanya, aku hanya bertahan selama 13 tahun. Mungkin, doa bapak dan ibu yang memintaku untuk segera pulang ikut andil dalam perkara ini. Namun, sungguh takpapa. Toh, cepat atau lambat, aku memang harus pulang, bukan? Ini hanya soal waktu dan keadaan.

Aku menarik napas dalam, kemudian berdiri hendak keluar dari kamar ndalem yang sudah setahun ini tak kutempati. Setahun yang lalu aku membeli rumah dan tak lagi menginap di kamar ini. Sejenak sebelum keluar, aku kembali mengedarkan pandangan pada seisi kamar. Ruangan penuh kenangan ini sungguh akan kutinggalkan dalam jangka yang tak terduga. Setelah puas memandangi kamar, aku memutuskan untuk benar-benar keluar dan pamit pada Ummi dan Bulan.

Aku memang sudah harus pergi dari kota ini. Malang yang penuh kenangan.

Hujan, Kak Aga pamit.

*****
Siapa yang hobinya nanyain kapan Rain-Aga-Dewa up? Ayo ngaku! Udah update nih. Awas kalo gak di komen ama dikasih bintang yaaaaa.

Naya ngetik di sela-sela kesibukan KKN loh ini. Wajib dibintangin ama dikasih komentar yang banyak pokoknya. Maksa banget yak 🤣🤣.

Oh yaaa, doain KKNnya Naya lancar ya, segera lulus kuliahnya jugaa.

Jangan lupa!
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar ❤️.

Salam cinta,

Naya_Zayyin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro