Dewa Menggenap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kulo puter kursinipun nggeh, Ning.” (Saya putar kurinya ya, Ning)  Aku mengangguk sembari tersenyum. Sedetik kemudian, terlihat tampilan wajahku di cermin. Sekilas, aku seperti tak mengenali wajahku sendiri.

“Ini kok kayak bukan saya, Mbak.” Aku meraba pelan mata yang terasa berat sebab bulu mata palsu.

“Ning Rain niki ayune mboten kantenan, mboten dipacaki mawon sampun ayu, nopo maleh dipacaki. Dados e mangklingi sanget.” (Ning Rain ini cantik sekali, gak dirias aja cantik, apalagi dirias. Jadinya keliatan beda banget) Seorang perempuan tiga puluh tahunan tersenyum di belakangku. Ia adalah periasku tadi.

“Ada-ada aja sih, Mbak.” Aku terkekeh kali ini.

“Beneran, untung Ning Rain ini cuma pake gamis broklat, coba pake kebaya juga, pasti malah dikira pengantinnya.” Kali ini, aku hanya tersenyum tanpa menanggapi berlebih. Entah mengapa hatiku sedang sensitif sekali mendengar kata pengantin.

“Ning Rain udah? Kita nemenin Ning Bida di kamarnya yuk.” Aku menoleh ke arah pintu. Ada Ning Sabiya di sana. Ning Sabiya ini sahabat dekat Ning Bida, wajar jika hari ini ia juga dirias. Kami berdua yang akan menggiring Ning Bida keluar kamar usai akad nanti.

“Udah, Ning. Sebentar.” Aku bangkit dari kursi. Segera keluar kamar usai berpamitan dan berterimakasih pada perias wajahku tadi.

Kamar Ning Bida berada di samping kamar tempatku dirias. Tak ada yang kuobrolkan dengan Ning Sabiya sebab kami hanya berjalan bersama beberapa langkah saja. Ning Sabiya ini putri dari Kyai Adnan, pengasuh pesantren di Lamongan juga, tetangga desa Ning Bida. Berbeda dengan Ning Bida yang pendiam dan terlihat malu-malu ketika bertemu orang baru, Ning Sabiya justru pandai sekali mengawali perkenalan. Ia begitu ceria dan ramai. Tipe orang yang menyenangkan bagiku. Sama menyenangkannya dengan Ning Bida, hanya saja dibalut dengan perangai yang berbeda.

“Bidaaaaaaa, masyaa Allah. Cantik banget sih.” Apa kubilang? Ning Sabiya ini tipe orang yang ramai dan pandai menghebohkan suasana. Baru memasuki kamar Ning Bida saja, ia sudah seheboh ini.

“Biya ih, lepasin. Make up aku bisa rusak.” Ning Bida kulihat terkekeh sembari melepas pelukan heboh dari sahabatnya.

“Eh, Ning Rain juga cantik banget. Makasih udah mau nemenin saya ya, Ning.” Pandangan Ning Bida beralih padaku yang masih berdiri di ambang pintu.

“Tetap lebih cantik pengantinnya.” Aku tersenyum dan mengangguk sembari berjalan menghampiri Ning Bida dan memeluknya.

“Ning Rain aja yang cantik? Aku gak?” Ning Sabiya berpura-pura cemberut, membuat aku dan Ning Bida tergelak. Ning yang satu itu benar-benar penghidup suasana.

“Ning Bida, ngapunten. Acara akad sampun badhe dimulai.” (Ning Bida, maaf. Acara akadnya udah mau dimulai) Seorang Mbak Ndalem yang paling dipercayai Ummi tiba-tiba masuk kamar dan mengatakan kalimat sakti yang sontak menghentikan tawa kami.

“Oh, iya, Mbak. Terimakasih.” Ning Bida mengangguk pada Mbak Ndalem. Setelahnya, perempuan itu berpamitan keluar kamar.

“Biya, aku kok deg-degan banget ya.” Ning Bida meremas jemarinya. Ia terlihat luar biasa gugup.

“Tenang, tarik napas. Semoga Gus Dewa lancar ngucapin lafaz akadnya. Gak sampek diulang-ulang. Kita berdoa dari sini.” Ning Sabiya mengusap lengan Ning Bida, menenangkan. Aku hanya mengangguk, menyetujui kalimat-kalimat Ning Sabiya.

Aku menarik napas pelan, kemudian mengembuskannya. Sesungguhnya, aku pun sama berdebarnya dengan Ning Bida. Debar tanpa alasan. Entah mengapa aku merasa sensitif sekali. Berhari-hari ini moodku benar-benar memburuk. Aku tak banyak bicara dan sering menyendiri. Aku merasa butuh banyak sekali waktu untuk mengenali diriku sendiri lebih dalam.

Kamar ini mendadak hening. Kami bertiga tengah sibuk dengan pikiran masing-masing sembari mendengarkan doa pra-akad yang sedang terlantun di luar sana. Aku duduk di sofa kamar sembari menatap wajah cantik Ning Bida. Hari ini, mempelai wanita itu kulihat bagai gadis-gadis dalam serial film turki yang sering kutonton. Bedanya, wajah Ning Bida tak hanya cantik, namun juga menenangkan. Kurasa, siapa pun yang menatap wajah Ning Bida tak akan memiliki perasaan cemas. Wajar jika Ummi menjodohkan gadis cantik itu dengan putra bungsunya. Ning Bida pantas mendapatkan yang terbaik. Ia pribadi yang baik dan menyenangkan.

“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bilmahril madzkur.” Dalam sekali tarikan napas, lafaz keramat itu meluncur mulus dari lisan Gus Dewa dan sampai di ruang dengarku. Aku yang sebelumnya sibuk mengagumi pribadi Ning Bida seketika menunduk.

“Bening, bagaimana jika aku ke Malang?”

“Keluarga kamu ada masalah dengan nikah muda?”

“Aku juga paham jika kedekatan kita salah, Bening. Sudah saatnya ini semua diakhiri. Aku berniat baik, ingin ke Malang kemudian memintamu ke Buya Rasyid. Terlalu awalkah?”

“Kita belum sejauh itu, Gus. Untuk saling melupakan, tidak sesulit yang dibayangkan selagi kita benar-benar memantapkan hati. Mungkin butuh waktu, tapi aku yakin gak akan lama.” 

Kalimat-kalimat itu mendadak berputar dalam pikiranku. Aku memejamkan mata, berusaha mengusir seluruh kelebat bayangan bersama Gus Dewa. Entah mengapa detik ini hatiku terasa sesak sekali. Aku begitu membenci keadaan ini. Aku membenci perasaanku yang mendadak rapuh setelah 1,5 tahun merasa baik-baik saja. Aku sungguh ingin pergi dari tempat ini, menjauh dari ingar bingar pesta pernikahan yang terlihat begitu menyedihkan di mataku.

Lihatlah! Lihatlah di depan sana. Gus Dewa telah menggenapkan hidup, menyempurnakan iman, mengikat janji, dengan seseorang yang bukan aku. Padahal dulu, dulu sekali, 1,5 tahun yang lalu, Gus Dewa berkata ingin ke Malang. Gus Dewa berkata ingin memintaku pada Buya. Gus Dewa bertanya perihal menikah muda dalam pandangan keluargaku. Gus Dewa bersikeras memilihku meski aku kukuh menolaknya. Bahkan tiga minggu yang lalu, Gus Dewa kembali mengungkapkan rasanya padaku, menceritakan betapa berantakannya ia tanpaku, memaksaku paham bahwa kami berdua tak pernah benar-benar mengikhlaskan. Dan lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, aku menolak. Dengan begitu tegasnya aku menolak perasaan Gus Dewa, dan perasaanku sendiri. Aku yang menolak, aku yang enggan. Lalu kini, untuk apa aku merasa sesesak ini?

“Eh, kok Ning Rain juga nangis kayak Bida?” Suara Ning Sabiya menyadarkanku. Aku membuka mata dan serta merta mengusap air yang mengalir di pipi. Bahkan, aku menangis tanpa sadar.

“Duh, iya. Kok saya jadi ikutan nangis. Rasanya terharu aja denger Gus Dewa ngucapin lafaz akad setegas itu, Ning. Satu tarikan napas pula, keren.” Aku terkekeh sumbang. Aku harus memasang topeng bahagia untuk sehari ini. Iya, aku harus bahagia sebab wajahku akan dilihat banyak orang. Aku harus bahagia untuk Ning Bida, untuk Gus Dewa.

“Buruan nyusul, Ning. Biar gak baper sendiri.” Ning Sabiya menggodaku dan hanya kutanggapi dengan senyuman.

“Ayo keluar, Bid. Ya Allah, gak nyangka sahabat aku dari kecil udah nikah.” Ning Sabiya memeluk Ning Bida yang kini telah berdiri.

“Alhamdulillah, Biya. Semoga kamu cepet nyusul.” Ning Bida tersenyum. Matanya masih berkaca-kaca, tangis harunya belum tuntas sepenuhnya.

Ning Sabiya terkekeh sembari mengaminkan. Ia berdiri di sisi kiri Ning Bida. Aku ikut berdiri dan memposisikan diri di samping kanan pengantin baru itu. Bismillah, saatnya aku bertugas memasang senyum terbaik untuk seluruh tamu undangan.

Kami bertiga berjalan keluar dan disambut dengan senyum semringah serta riuhnya ucapan selamat untuk kedua mempelai. Untuk Ning Bida dan Gus Dewa, bukan untukku. Ah, apalagi yang aku pikirkan? Aku hanya pengiring mempelai wanita, tidak lebih!

‘Barakallah, barakallah.’

‘Mabruk alaikuma.’

‘Masyaa Allah cantiknya.’

‘Pinter Gus Dewa cari istri.’

‘Masyaa Allah, putri Kyai Hamdan cantiknya.’

Ning Bida tersenyum mempesona, ia terlihat begitu bahagia. Tentu saja, ia menjadi ratu hari ini. Di sampingnya, aku terus merapal zikir di dalam hati. Sungguh, aku butuh ketenangan dan kelapangan hati. Aku tak boleh terlihat menyedihkan, apalagi sampai meneteskan air mata di tempat ini. Tak pernah ada yang paham tentang kisahku dan Gus Dewa di sini, kecuali kami berdua. Maka, tak perlu ada drama apapun di acara besar ndalem hari ini.

“Assalamualaikum, Mas Dewa.” Ning Bida berada tiga langkah di depanku. Aku jelas masih bisa mendengar suara lirihnya.

“Waalaikumsalam, Dek Bida.” Aku menunduk mendengar suara Gus Dewa. Lelaki itu juga berada tiga langkah di depanku.

"Allahumma inni as'aluka khairaha, wa khaira ma jabaltaha alaihi, wa a'udzubika min syariha, wa min syari ma jabaltaha alaihi ." Gus Dewa berbisik lirih tepat di atas ubun-ubun Ning Bida. Aku memang menunduk, tapi aku dapat melihat Gus Dewa yang tengah meniup ubun-ubun Ning Bida, kemudian Ning Bida yang mengecup takzim tangan Gus Dewa. Indah, sungguh pemandangan indah jika saja bukan Gus Dewa dan Ning Bida yang melakukan adegan itu di hadapanku.

“Ning Rain, kita ngapain setelah ini? Ngikutin mempelai naik ke pelaminan?” Bisikan dan senggolan tangan Ning Sabiya membuatku mengangkat kepala. Sayangnya, bukan Ning Sabiya yang pertama kali kulihat menatapku, namun mempelai lelaki yang baru saja mengucapkan lafaz ijab kabul dengan tegas beberapa menit lalu.

Dalam beberapa detik, aku terpaku pada Gus Dewa. Ia tersenyum menatapku dengan mata yang terlihat berkaca-kaca. Aku paham ada banyak kata yang ingin ia utarakan padaku. Aku paham jika hatinya tak sepenuhnya baik-baik saja. Aku paham bahwa dari balik tubuh istri sahnya, dari balik senyumnya, ada luka yang menganga lebar. Dan sebelum banyak hal yang kupahami itu semakin mengusik hatiku, aku memilih membalas senyumnya, dengan mata yang juga berkaca-kaca.

“Barakallah, Gus.” Aku membuka mulut tanpa suara, kemudian kembali menunduk dan menggumamkan istighfar berulang kali. Ada setetes air yang luruh dari kedua bola mataku, dan segera kuhapus. Aku tak boleh lemah, aku tak boleh rapuh. Barangkali, Gus Dewa berkaca-kaca sebab terharu telah berhasil mempersunting anak orang. Atau barangkali, lelaki itu bekaca-kaca sebab telah dihadapkan pada tanggungjawab maha besar yaitu membimbing seorang istri. Iya, Gus Dewa bukan berkaca-kaca sebab menatapku berada di hadapannya usai mengucapkan lafaz akad, namun bukan sebagai mempelai wanita. Bukan, bukan itu sebabnya. Aku yang terlalu merasa tinggi hati.

Seremonial pernikahan berlanjut. Kali ini aku dan Ning Sabiya menggiring kedua mempelai memasuki aula besar ndalem. Kami berjalan pelan di belakang Ning Bida dan Gus Dewa sembari ikut menebar senyum pada seluruh tamu. Tiba-tiba mataku terkunci pada salah satu tamu yang berada di ujung ruangan. Seorang lelaki dengan sarung hitam dan baju koko serta kopyah putih. Lelaki itu berdiri membelakangi khalayak dengan telepon yang diapit oleh telinga dan pundak. Ia terlihat kerepotan mengangkat telepon sebab kedua tangannya sibuk mencari sesuatu di kantong baju koko. Aku seperti mengenali lelaki itu meski hanya melihat punggungnya saja. Dan ketika lelaki itu membalikkan tubuh, aku terbelalak seketika.

“Kak Aga...” Aku berbisik lirih. Sungguh, aku ingin segera berlari menghampiri lelaki itu, meminta kejelasan pesannya yang tiga minggu lalu berhasil memporak-porandakan kehidupanku. Namun, ketika ia mendongak dan tatapan kami bertemu, entah mengapa Kak Aga justru terlihat gugup dan segera menyingkir dari tempatnya. Bahkan ia sedikit berlari demi menjauhi jarak pandangku. Aku sungguh ingin mengejarnya, namun posisiku benar-benar tak menguntungkan.

“Maaf, Ning Rain. Langkahnya dipercepat sedikit ya, kayaknya kita terlalu berjarak ama mempelainya deh.” Ning Sabiya menyenggol lenganku sembari berbisik pelan.

“Astaghfirullah, Ning. Iya, maaf.” Aku segera meluruskan pandangan dan berjalan sesuai intruksi dari Ning Sabiya. Berkali-kali aku harus menarik napas panjang demi fokus pada kegiatan yang tengah kujalani. Sungguh, hari ini aku merasa hatiku benar-benar kacau.

*****
Selamat pagi, selamat tahun baru, selamat weekend, selamat membaca.
Semoga kita selalu bertambah baik setiap detiknya.
Jangan lupa! Tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 🤗.



Salam patah hati ditinggal nikah Gus Dewa,

Naya_Zayyin

*Asli Naya mewek ngetik part ini 🥺

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro