Tangisan Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Eh, Ning, ntar sore kamu ada acara gak?” Kayla memasukkan buku batiknya ke dalam tas sembari menatapku. Kami baru saja menyelesaikan mata kuliah Psikologi Konseling beberapa menit yang lalu.

“Kayaknya gak ada sih. Kenapa emang?” Aku menjawab pertanyaan Kayla sembari berdiri, gadis yang telah selesai mengemasi barangnya itu mengikutiku.

“Ada bazar buku di gramedia. Ke sana yuk.” Kayla menggamit lenganku, kami berjalan bergandengan.

“Kenapa harus ntar sore? Kenapa gak sekarang aja?” Aku menatap Kayla sembari mengernyitkan dahi. Gadis itu menatap jam tangannya sejenak, kemudian membalas tatapanku.

“Pukul 14:00 wib. Surabaya panas amat, Ning. Males ih.” Kayla bergidik membayangkan kami harus berdesak-desakan di bazar buku siang-siang begini. Aku terkekeh menatapnya.

Aku masih saja betah ke mana-mana dengan Kayla. Entah mengapa tak ada rasa bosan bepergian dengan manusia satu itu. Kami bahkan selalu janjian ketika akan mengisi jadwal kuliah tiap semester, sengaja mengambil jam dan kelas yang sama agar bisa sering pergi berdua.

“Tapi ntar sore kamu beneran gak ada acara, kan? Ntar tiba-tiba batalin janji, ada apalah apalah.” Kayla menatapku dengan raut menyelidik. Aku lagi-lagi terkekeh dengan ekspresi gadis yang satu ini. Kayla adalah orang yang paling sering menjadi korban PHPku. Wajar jika saat ini ia merasa was-was.

“Nah, itu masalahnya. Aku gak tau kalo tiba-tiba ntar sore ada acara dadakan. Kamu tau sendiri Ummi suka tiba-tiba manggil aku ke ndalem.” Aku mengendikkan bahu. Memang begitu kenyataannya. Para pengurus sering tiba-tiba dipanggil ke ndalem oleh Ummi, dimintai tolong untuk membantu beberapa hal.

“Ummi sering banget sih manggil kamu ke ndalem. Ati-ati dijadiin menantu.” Kayla tertawa. Aku hanya tersenyum tipis. Dulu, aku hampir menjadi menantu beliau seandainya permintaan Gus Dewa kuiyakan. Ah sudahlah, aku malas mengenang masa-masa itu lagi.

“Ngawur kamu. Yang sering dipanggil itu bukan cuma aku. Semua pengurus juga sering dipanggil Ummi.” Aku tak berbohong. Memang bukan hanya aku yang sering dipanggil, kan? Meski semenjak aku mengiyakan permintaan Ning Bida, aku jadi lebih sering dipanggil Ummi. Beliau sering meminta pendapatku ketika akan memesan beberapa hal terkait pernikahan putranya. Kadang aku berpikir kenapa Ummi justru meminta pendapatku, bukan pendapat calon menantunya. Tapi lagi-lagi, aku merasa tak butuh banyak bertanya. Sebagai murid, aku diajarkan oleh Buya dan Bunda agar selalu taat pada guru.

“Jadi gimana? Kalo ntar sore beneran gak bisa?” Kayla menatapku dengan raut kecewa.

“Bukannya gak bisa, Kay. Cuma, daripada ngandelin yang gak pasti, mending kita ambil yang pasti aja, kan? Ke bazarnya sekarang aja yuk.” Aku nyengir, berusaha membujuk Kayla.

“Ish, ya udah deh sekarang aja. Tapi bentar, aku pake body lotion dulu, biar gak item.” Kayla mengambil body lotion dari tas, kemudian mengoleskannya di kulit sembari berjalan menuju parkiran.

“Centil.” Aku tertawa mengejeknya. Ia hanya mengendikkan bahu, tak acuh pada ejekanku.

*****

Lau kanaa bainanal habib

La danaa qosii wal qoriib

Min thoibatin qoblal maghib

Tholiban qurbal habib

082235980*** memanggil.

Aku mengambil ponselku yang berbunyi di dalam tas. Siapa pula yang menelponku di tengah keramaian bazar buku begini?

“Eh, bawain bentar dong, Kay. Ada telpon nih.” Aku menyerahkan tiga buku yang baru saja kubayar di kasir pada Kayla.

“Siapa?” Kayla mengernyitkan dahi sembari memegangi bukuku. Ia terlihat kerepotan membawa lima buku yang tak tertumpuk rapi. Tiga milikku, dua miliknya.

“Gak tahu, nomer baru. Bentar aku ke pojok dulu.” Aku segera menepi dari keramaian bazar setelah Kayla mengangguk.

“Assalamualikum. Maaf, ini siapa ya?” Aku mengucapkan salam setelah menggeser gambar telepon hijau di ponsel.

“Waalaikumsalam. Ning Rain, ini Bida.”

“Oh, Ning Bida. Ada apa, Ning.” Ning Bida ternyata, lembut sekali suara Ning yang satu ini.

“Ning Rain sedang sibuk ya? Duh, maaf saya jadi ganggu.” Suara di seberang terdengar canggung. Suasana bazar yang ramai dan bermacam-macam suara yang ada menjadi backsound telepon kami.

“Oh gak, Ning. Saya sedang di bazar, tapi ini udah mau pulang kok. Ada apa, nggeh?”

“Sebelumnya saya minta maaf sekali sudah menganggu kesibukan Ning Rain. Saya baru saja datang ke pesantren Ummi dan beliau sedang tidak ada di ndalem. Sebenarnya mau minta temani sampai Ummi pulang. Tapi Ning Rain sedang tidak di pesantren ya? Ya sudah, gakpapa.” Ah, Ning yang satu itu. Benar-benar mudah sekali merasa tak enak hati. Sedikit-sedikit minta maaf karena merasa mengganggu. Padahal sungguh, aku tak sedikit pun merasa terganggu.

“Oh, begitu. Gak papa, Ning. Ini saya udah selesai kok. Nanti saya langsung ke ndalem begitu sampai pesantren.” Aku melambaikan tangan pada Kayla, meminta gadis itu untuk mendekat.

“Beneran, Ning? Duh, saya beneran gak enak. Maaf ya, Ning.” Untuk kesekian kalinya, Ning Bida meminta maaf.

“Beneran gakpapa, Ning. Sudah saya matikan dulu ya.”

“Iya, terimakasih sekali, Ning Rain. Njenengan benar-benar baik.”

“Sama-sama, Ning Bida. Assalamualaikum.” Aku segera memutus panggilan begitu Ning Bida menjawab salamku.

“Kita pulang sekarang ya, Kay? Udah selesai, kan?” Aku beralih menatap Kayla sembari mengambil bukuku.

“Udah sih. Siapa yang telpon? Kok langsung mau pulang aja?” Kayla menyerahkan bukuku setelah aku menyimpan kembali ponsel di dalam tas.

“Ning Bida, suruh ke ndalem. Udah yuk.” Aku mengeluarkan kontak motor dan berjalan tergesa menuju parkiran. Kayla mengikuti langkahku. Ia tak banyak bertanya tentang dunia pesantren, jadi tak perlu kujelaskan siapa Ning Bida padanya.

“Untung aja ke bazarnya jadi siang. Coba sore, dijamin kecewa lagi aku.” Kayla memasang helm di sampingku sembari menggerutu.

“Nah kan, makanya nurut ama aku.” Aku tertawa.

“Udah ah, aku duluan ya, Kay. Assalamualaikum.” Aku menstater sepeda motor, bersiap melajukannya.

“Iya, waalaikumsalam. Hati-hati.” Kayla melambaikan tangannya dan aku segera melaju, membelah jalanan macet Surabaya menuju pesantren.

*****

“Makasih ya, Ning Rain. Njenengan baik sekali mau menemani saya menunggu Ummi.” Ning Bida menyalamiku di depan ndalem, Ummi sudah datang beberapa menit yang lalu. Aku langsung pamit sebab ini sudah ba’da isya. Aku harus segera berangkat sekolah malam. Tadi sore, Ummi mengabari jika beliau tak bisa pulang cepat. Jadilah aku menemani Ning Bida sampai isya, sekaligus jamaah berdua bersamanya.

“Iya, Ning, sama-sama. Saya gak keberatan kok. Ning Bida seru, kita jadi gak kehabisan bahan obrolan, saya suka.” Aku tak berbohong. Ning yang satu itu benar-benar teman mengobrol yang menyenangkan. Selain cantik dan santun, wawasannya juga luas, terlebih dalam hal kepesantrenan. Sungguh sangat berbanding terbalik jika disandingkan denganku.

“Besok kalo saya sudah resmi jadi istri Mas Dewa, Ning Rain sering-sering ke ndalem ya, temenin saya ngobrol kalo pas gak ada kesibukan.” Ning Bida tersenyum dengan wajah tersipu. Lihatlah, hanya dengan menyebut nama Gus Dewa saja ia tersipu. Sebegitu cintanya ia pada putra ketiga Abah Yai itu.

“Insyaa Allah, Ning.” Aku mengangguk sembari tersenyum.

“Ya sudah, saya duluan ya, Ning Bida. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, Ning Rain.” Dan, aku segera berlalu setelah mengangguk takzim pada Ning Bida.

Di garasi ndalem, aku melihat Cak Ghofur yang baru saja keluar dari mobil. Sepertinya, ia baru saja mengantar atau menjemput salah satu anggota ndalem, entah siapa. Selain menjaga gerbang depan ndalem, Cak Ghofur sering dimintai tolong keluarga ndalem untuk mengantar ke beberapa tempat.

“Baru pulang, Cak?” Aku menyapa Cak Ghofur. Lelaki yang telah menahun di pesantren itu tersenyum mendengar sapaanku.

“Iya, Bening. Kamu di ndalem dari tadi sore baru keluar sekarang?” Cak Ghofur mengernyitkan dahi, ia seperti tak percaya jika aku berada di ndalem selama itu.

“Iya, Cak. Aku duluan ya.” Aku mengangguk dan segera berpamitan. Tak enak jika terlalu lama mengobrol dengan Cak Ghofur. Lagipula, aku harus segera berangkat sekolah malam. Tak ada yang akan mengawaniku berjalan di area asrama santri putra jika aku terlambat. Ini bukan 1,5 tahun yang lalu. Ah, lagi-lagi apa yang tengah aku ingat.

Aku berjalan pelan meninggalkan ndalem setelah Cak Ghofur mengangguk. Aku terus berjalan hingga melewati taman pesantren. Tak sengaja, mataku menatap seseorang yang tengah duduk di salah satu bangku taman. Siapa pula yang malam-malam begini duduk di taman? Seluruh santri harusnya sedang bersiap untuk berangkat sekolah malam. Lampu penerangan taman yang redup semakin membuatku tak mampu mengenali seseorang itu.

Aku berjalan mendekat. Siapa pun dia, aku harus menegurnya. Aku pengurus bagian keamanan dan memiliki amanah untuk menertibkan seluruh santri. Maka, meski seseorang itu lelaki, aku tetap harus menegurnya. Nantinya, jika ia tetap tak mau mengikuti sekolah malam, aku tinggal melaporkannya pada Cak Kholid, ketua keamanan putra.

“Assalamualaikum, maaf, Cak. Kenapa ba’da isya masih di sini? Kenapa gak bersiap sekolah malam?” Aku berada beberapa meter di belakang lelaki itu, namun kupastikan ia mendengar suaraku.

Sebenarnya, aku sedikit takut jika lelaki itu santri putra yang kelasnya berada di atas tingkatanku. Postur tubuhnya jelas terlihat jika ia bukan santri kelas bawah. Namun lagi-lagi, siapa pun dia, aku harus tetap menegakkan peraturan.

Hening, tak ada suara apa pun. Apa iya lelaki itu tak mendengar suaraku? Aku memilih untuk maju dua langkah dan kembali menegurnya, kali ini dengan suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya.

“Assalamualaikum, Cak. Kenapa habis isya gak sekolah malam ya? Kok malah di taman?” Kulihat, lelaki itu bangkit dari duduknya, kemudian berbalik.

“Waalaikumsalam, Bening.”

“Astaghfirullah, Gus Dewa.” Demi apa pun, aku sungguh terkejut. Reflek, aku menunduk dan memundurkan langkah,  menciptakan jarak sejauh mungkin dari seseorang itu.

“Maaf, Gus. Saya gak tau kalo itu njenengan. Saya balik ke kamar dulu.” Kali ini tak hanya mundur, aku sudah bersiap untuk pergi. Namun, sebelum aku benar-benar melangkah, Gus Dewa justru kembali bersuara.

“Seberapa berubahnya aku sampai kamu tak mengenaliku lagi, Bening?”

Aku terpaku, tak mampu menjawab pertanyaan lelaki itu. Postur tubuh Gus Dewa berubah. Ia terlihat lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya. 1,5 tahun yang lalu, Gus Dewa adalah lelaki yang putih, tampan, dan gagah. Semua santri pasti sepakat dengan apa yang baru saja kusebutkan. Namun, lelaki yang beberapa menit lalu kulihat punggungnya itu kurus, ia sangat berbeda dengan Gus Dewa yang dulu.

“Aku sengaja menunggu kamu di sini. Apa kabar, Bening? Sepertinya kamu baik-baik saja. Berarti memang cuma aku yang kacau.” Aku mendengar kekehan sumbang dari bibir Gus Dewa.

“Kamu salah, Bening. ‘Untuk saling melupakan, tidak sesulit yang dibayangkan selagi kita benar-benar memantapkan hati. Mungkin butuh waktu, tapi aku yakin gak akan lama.’ Itu yang kamu katakan dulu. Sekarang, 1,5 tahun dari hari itu, aku bahkan masih mengingat detail kalimat itu, Bening. Aku sengaja pergi, tapi nyatanya tak merubah apa pun. Jika dengan kalimatmu saja aku masing ingat, apalagi denganmu? Aku benar-benar payah dalam hal melupakan.” Merasa aku tak akan menjawab pertanyaanya, Gus Dewa kembali bersuara.

“Gus, ini salah. Njenengan sudah akan menikah dengan Ning Bida tiga minggu lagi. Cerita apa pun tentang kita di masa lampau sudah bukan waktunya diingat.” Aku menunduk dalam, sedikit tak percaya dengan kalimat-kalimat Gus Dewa. Jika memang tak bisa melupakanku, mengapa ia akan menikah?

“Bida perempuan idaman siapa pun, kami dijodohkan sejak dulu. Seperti katamu, ‘tradisi klasik keluarga kyai’. Tapi, aku berkali-kali menolak. Aku selalu merasa kamu tujuanku, Bening. Ummi akhirnya luluh. Beliau tidak lagi memaksa dan membiarkan aku mencari pilihanku sendiri. Aku berjuang, sayangnya yang kuperjuangkan tak bisa digoyahkan oleh apa pun. Kamu justru memaksaku untuk mundur. Kemudian aku menyerah, dan Ummi kembali memperkenalkan Bida. Apa aku masih punya alasan menolak?”

Pipiku basah, aku tak sadar jika menangis. Ya Allah, Gus Dewa. Ia begitu memperjuangkanku. Sementara aku? Entahlah. Aku benar-benar tak memiliki pilihan saat itu. Ah, bahkan sampai detik ini. Gus Dewa putra terakhir, pembangkangannya tak akan bermasalah bagi siapa pun, setidaknya itu menurutku. Tapi aku? Aku putri pertama. Bulan mencontoh banyak hal dariku. Jika aku membangkang, apa jadinya Bulan nanti? Maka, itulah yang membuat aku tak pernah bisa menolak permintaan Buya dan Bunda. Aku teladan bagi Bulan.

“Sudah, Gus. Tidak perlu diteruskan.” Aku menggeleng dalam tunduk.

“Kamu benar-benar sebaik-baik itu 1,5 tahun ini?” Gus Dewa menghembuskan napas beratnya.

“Iya, saya baik-baik saja.” Aku mengangguk yakin. Benar, aku merasa baik-baik saja sejauh ini. Kak Aga dan wejangan-wejangannya membuatku merasa baik setiap waktu. Aku justru mulai  merasa tak baik-baik saja sejak menerima undangan dari Ning Bida.

“Kamu berbohong, Bening.” Gus Dewa berkata lirih.

“Saya sungguh baik-baik saja, Gus. Saya sudah lupa jika kita pernah memiliki cerita.” Aku berkata tegas. Kali ini aku berbohong, aku masih mengingat banyak hal tentang lelaki itu.

“Kamu ikhlas aku nikah sama Bida?” Gus Dewa memberiku pertanyaan yang sungguh menohok hati. Aku mengepalkan tangan, memberi kekuatan pada diriku untuk mendongak.

“Saya sungguh ikhlas, demi Allah. Jika memang Gus Dewa masih ada rasa dengan saya, maka tolong lakukan apa yang saya katakan. Gus Dewa harus menikah dengan Ning Bida dan lupakan saya!” Dan aku kembali menunduk. Lega sekali rasanya.

“Kamu memang seteguh itu, baiklah. Selamat menemukan kebahagiaan masing-masing, Bening. Semoga di tahun-tahun yang akan datang, kita benar-benar berhasil untuk saling melupakan. Semoga siapa pun yang ditunjuk Buya Rasyid untuk menggenapkanmu, adalah orang yang terbaik dari yang paling baik. Aku duluan, assalamualaikum.” Gus Dewa berlalu. Aku menjawab salamnya dengan lirih dan segera berlari menuju kamar.

Asrama telah hening, seluruh santri tengah sekolah malam. Suasana hatiku yang mendadak buruk membuat aku enggan pergi menyusul para santri. Aku memilih tengkurap di ranjang kamar, menangis. Aku tak tahu apa yang kutangisi, aku hanya ingin menangis sepuasnya. Aku seperti merasa lega dan kehilangan di satu waktu. Aku ingin menyesali keputusanku 1,5 tahun yang lalu. Namun, apanya yang perlu disesali? Toh, sampai sekarang pun aku tetap tak mampu merubah keputusan Buya perihal perjodohan. Di tengah-tengah tangisan, tiba-tiba ponselku berdenting, sebuah pesan masuk.

Kak Aga:

Assalamualaikum, Hujan. Kakak pamit pergi untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Kamu tetap semangat kuliah dan ngaji. Mandiri ya mulai sekarang. Selesaikan masalah dengan baik. Kakak percaya kamu, kamu gadis paling bijak yang pernah Kakak kenal. Jaga diri baik-baik. Jaga Ummi, Buya, dan Bulan juga. Semoga kamu jadi psikolog yang hebat. Makasih udah jadi adik yang baik selama ini. Semoga Allah masih ngasih kita kesempatan buat ketemu lagi, entah kapan.

Aku terbelalak. Kak Aga akan ke mana? Mengapa isi pesannya semenakutkan ini? Aku segera menghubungi nomor Kak Aga. Namun, panggilanku tak tersambung. Aku terus mengulangnya berkali-kali. Lagi-lagi, tak tersambung.

Sampai di panggilan ke 30, aku menyerah. Air mataku menderas. Ya Allah, kejutan apa lagi ini?

*****
Duh, ini Naya updatenya kemaleman gak sih? Maaf ya, hehe. Tapi tetep pada mau baca, kan? Mau dong. Kan katanya kangen Rain-Aga.

Oh ya, tetep ramaikan komentar ya. Meskipun ada beberapa yang gak kebales, in syaa Allah Naya baca semua kok.
Oh ya, yang masalah ikhtilatnya Dewa ama Bening itu emang sebuah kesalahan. Kan, di situ juga udah dijelasin kalo Bening nyesel pernah ngelakuin itu, hehe.

Udah ah, udah malem, mau istirahat.
Oh ya, Naya lagi masa-masa skripsi nih. Yang mau ngasih semangat diterima bangettt, hehe.

Selamat malam menjelang pagi.
Jangan lupa, tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 🥰.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro