Dewa, Hujan, Telaga, dan Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Katanya minggu ini gak pulang?” Aku menoleh dan mendapati Kak Aga duduk di kursi sebelahku. Aku tengah duduk santai di balkon rumah, menikmati sore sembari menatap beberapa santri putra yang sedang bermain sepak bola di lapangan, dan kini Kak Aga ikut menemani kegiatanku.

“Ummi nitip undangan buat Buya, jadi pulang deh.” Aku menjawab pertanyaan Kak Aga sembari tersenyum.

“Undangan apa? Bukannya jadwal akhirussanah pesantren kamu masih dua bulan lagi ya?” Kak Aga kulihat mengernyitkan dahi.

“Kak Aga hafal banget ama jadwal akhirussanahnya pesantren aku ya?” Aku terkekeh.

“Orang tiap tahun yang dateng kakak. Gimana gak hafal?” Kak Aga ikut terkekeh.

“Jadi, kalo bukan undangan akhirussanah, undangan apa?” Kak Aga kembali bersuara.

Aku menghembuskan napas panjang, kemudian mengangsurkan ponselku dan membiarkan Kak Aga melihat gambar yang tertera di layarnya. Tadi, sebelum memberikannya ke Buya, aku memotret undangan pernikahan Gus Dewa dan Ning Bida terlebih dahulu.

“Undangan pernikahan? Eh, Bu nyai kok tahu kalo kamu putri Buya Rasyid?” Kak Aga terkejut dan aku merasa heran. Mengapa Kak Aga justru fokus pada Ummi yang mengenal Buya? Mengapa tidak terkejut pada nama yang tertulis di undangan pernikahan?

“Kak Aga gak kaget ama siapa yang nikah?” Aku melirik Kak Aga sejenak.

“Dewa, kan? Kenapa kaget?” Kak Aga terlihat bingung.

“Emm, apa ya? Itu, kan Gus Dewa masih kuliah S2 di Semarang, masak tiba-tiba pulang Surabaya udah nyebar undangan aja. Kan gimana gitu, Kak.” Aku mencari-cari alasan untuk menjawab pertanyaan Kak Aga. Sebab setelah kupikir-pikir, rasanya memang  aku yang aneh. Apa pula yang perlu dikagetkan dari pernikahan Gus Dewa?

“Ya siapa tahu Dewa ketemu gadis ayunya Semarang, terus jatuh hati. Daripada jalin hubungan gak jelas, mending langsung nikah. Lagian Dewa udah mapan juga. Masalahnya di mana, Hujan?” Aku merasa semakin tersudut dengan pertanyaan Kak Aga. Tak tahu harus menjawab apa, akhirnya aku hanya mengendikkan bahu.

“Kenapa diem? Jangan-jangan...”

“Jangan-jangan apa?” Aku memotong ucapan Kak Aga dengan tatapan sebal. Kak Aga terkekeh pelan. Namun entah mengapa, bagiku kekehan Kak Aga kali ini terdengar hambar, tak ceria macam sebelumnya.

“Bukan apa-apa.” Kak Aga tersenyum tipis.

Aku tak lagi menyahuti ucapan Kak Aga, diam dan sibuk dengan angan-anganku sendiri. Lalu, tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk mendengar makna cinta bagi Kak Aga. Bukankah sejauh ini Kak Aga belum pernah membahas perihal kisah cintanya padaku? Tak pernah membahas bukan berarti Kak Aga tak punya cinta, kan? Kak Aga pasti memiliki kisah cinta, dan kurasa aku harus mendengarkan kisahnya.

“Kak Aga pasti udah pernah jatuh cinta, kan? Gimana rasanya?”

“Kenapa tiba-tiba tanya gitu?” Kak Aga menatapku heran.

“Ya gakpapa, masak tanya aja gak boleh.” Aku nyengir.

“Oh.”

“Ih, kok ‘oh’ doang? Pertanyaan aku gak dijawab?” Aku mendengkus sebal.

“Pertanyaannya mana?” Kak Aga berpura-pura bingung sembari terkekeh.

“Kak Aganya Hujan pasti udah pernah jatuh cinta, kan? Gimana rasanya?” Aku mengerucutkan bibir, merasa kesal.

“Iya iya, maaf. Kak Aga pasti udah pernah jatuh cinta lah, udah umur segini juga.” Kak Aga tertawa, kemudian melanjutkan, “rasanya kayak kehilangan kewarasan, Hujan.”

“Sama kayak orang gila?” Aku bertanya pelan. Kulihat Kak Aga mengangguk sembari tersenyum.

“Bagi kamu, cinta itu yang seperti apa?” Aku yang menunduk merasa jika Kak Aga tengah menatapku.

“Kan aku yang tanya, Kak. Bukannya dijawab malah balik tanya ih?” Aku melirik Kak Aga.

“Kakak mau denger pendapat kamu dulu, baru abis itu kakak kasih pendapat kakak.” Kak Aga tersenyum.

Aku terdiam, mengingat-ingat perihal apa yang sebenarnya kusebut cinta. Rasaku pada Gus Dewa dahulu, bisakah disebut cinta? Aku merasa nyaman dengan putra Abah Yai itu. Bertukar pesan dengannya benar-benar menjadi candu. Suaranya di dalam telepon pada beberapa waktu rutin membuatku tersipu. Setiap bertemu dengannya di pesantren kemudian ia menganggukkan kepala untuk menyapa, rasanya hatiku sudah seperti taman bunga yang sedang mekar-mekarnya. Jika melihatnya mengobrol bersama santriwati, meski itu kepada teman sekelasku untuk memberikan pertanyaan ketika mengajar, atau bahkan kepada Mbak Ndalem yang setiap harinya memang ada di sekeliling Gus Dewa, entah mengapa hatiku merasa sedikit tak rela. Sedikit? Ah, tidak! Aku benar-benar tak rela, semacam perasaan cemburu, kala itu. Lantas, bisakah perasaan-perasaan itu kusebut cinta?  

“Ah, aku gak paham, Kak. Udah mending Kak Aga langsung aja yang kasih pendapat.” Aku mengusap wajah frustrasi. Aku benar-benar tak bisa menjawab pertanyaan Kak Aga meski telah terdiam sekian lama.

“Keruh amat wajahnya? Baru ditanyain cinta bagi kamu yang seperti apa aja udah bingung gitu.” Kak Aga tertawa, dan aku merasa sebal ditertawakan.

“Ih, Kak Aga nyebelin. Udah deh, pertanyaan aku buruan dijawab.” Aku mengerucutkan bibir, masih merasa sebal.

“Lagian kamu, ditanya perasaan cinta itu yang kayak gimana aja gak bisa jawab. Sok-sokan mau bahas masalah cinta. Mana tadi udah diem lama banget, Kakak kira bakal muncul jawaban yang fenomenal, tahunya malah bingung sendiri.” Kak Aga masih tertawa, kali ini bahkan lebih lebar. Abangku satu-satunya itu, senang sekali melihat adiknya kebingungan.

“Tau ah.” Aku makin mengerucutkan bibir.

“Iya iya, gak usah cemberut gitu.” Kak Aga terkekeh sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya, “jadi gini, Kakak pernah baca sebuah ungkapan Arab, tapi Kakak lupa siapa yang nulis. Intinya gini, sa’altu akhohal akbar: ‘mal hubbu?’ faqola: ‘huwa an tasruqiya asyukulatih min haqibatiy kulli yaumin, wa laa zalat adho’ahaa fi nafsil makanin’ paham?”

“Ha? Kak Aga ngomong apa? Kenapa Arab semua sih?” Aku menggaruk kepala meski tak gatal, bingung dengan ucapan Kak Aga.

“Katanya udah semester lima? Kuliah di UIN? Masak Kak Aga ngomong Arab gak tahu artinya?” Kak Aga lagi-lagi kambuh menyebalkannya.

“Aku anak psikologi, Kak. Pembelajaran bahasa Arabnya kan gak spesifik. Ya gak paham lah kalo suruh nerjemahin segitu banyaknya Arab semua. Kalo aku anak bahasa Arab, baru bisa.” Aku memutar bola mata, kesal dengan Kak Aga.

“Lah, emang Kakak lulusan bahasa Arab? Kakak juga lulusan psikologi kalo kamu lupa. Kak Aga belajar bahasa Arabnya di pesantren. Kamu kan nyantrinya di Kudus juga lama, Hujan.” Kak Aga tertawa.

“Ish, kita kan beda, Kak. Otaknya Kak Aga itu suruh ngapalin apa aja bisa. Lah, aku?” Aku masih sebal. Yang benar saja? Lelaki yang sejak kecil sekolah menggunakan beasiswa prestasi itu menyamakan kondisi otaknya denganku. Lelucon apa?

“Kamu juga bisa, Hujan. Semua orang bisa kalo mau belajar. Tergantung kamu mau belajar apa enggak.” Kak Aga justru menceramahiku. Obrolan kami benar-benar melenceng dari pembahasan awal.

“Kita lagi bahas apa sih, Kak? Kenapa malah berasa aku diceramahin ya?” Aku memutar bola mata, malas.

“Nah nah, kalo dibilangin malah gitu.” Kak Aga tertawa.

“Iya, besok aku belajar bahasa Arabnya lebih giat deh. Sekarang Kak Aga jelasin arti kalimat tadi dulu.” Aku sungguh penasaran apa arti kalimat bahasa Arab yang diucapkan Kak Aga tadi. Dan, abangku yang satu itu, entah mengapa sejak tadi justru berbelit-belit membahas sesuatu yang tak sesuai dengan obrolan kita.

“Iya iya, Kakak jawab deh. Dengerin ya, arti kalimat tadi itu, ‘aku bertanya pada kakak lelakiku, “apa itu cinta?” lalu dia menjawab, “cinta adalah ketika kamu mencuri coklat di tasku setiap hari, dan aku tetap meletakkan coklat itu di tempat yang sama’, gitu. Paham?” Kak Aga akhirnya menjelaskan arti kalimat itu.

“Artinya bagus ya, Kak.” Aku tersenyum sembari menatap lapangan.

“Iya, bagus. Tapi jangan cuma tau bagusnya aja dong. Paham maknanya gak?” Kak Aga terkekeh.

“Paham dong. Jadi yang disebut cinta adalah ketika kita gak peduli lagi ama kesalahan orang yang kita cinta. Kita justru sengaja mencari celah gimana caranya biar orang yang kita cinta itu terus ngelakuin kesalahan. Apapun kesalahan dia, asal kesalahan itu bisa bikin dia seneng ama hadirnya kita, bagi kita semua itu udah cukup. Iya gak sih, Kak?” Aku sebenarnya mengarang saja, mengutarakan makna kalimat itu sepahamku. Tapi dari yang kulihat, sepertinya Kak Aga takjub dengan jawabanku ini.

“Kamu benar-benar sudah besar, Hujan. Kakak gak nyangka bakal secepet ini.” Kak Aga tersenyum tipis. Ia mendongak, mengusap wajahnya kemudian menghembuskan napas panjang. Entah apa yang tengah ia pikirkan.

Aku ikut tersenyum. Aku juga tak tahu mengapa bisa sedetail tadi menjabarkan makna dari kalimat yang disampaikan Kak Aga. Aku hanya terbawa perasaan saja. Aku hanya sedang mengutarakan apa yang pernah kurasakan.

Dulu, aku pernah terlambat berangkat sekolah malam. Aku berjalan melewati asrama santri putra seorang diri. Aku sudah menyiapkan mental jika nantinya para santri putra akan menggodaku dengan siulan atau gurauan mereka. Namun anehnya, malam itu santri putra justru menunduk ketika aku lewat. Aku yang awalnya tergesa melewati mereka justru memelankan langkah dan memilih menoleh. Entah mengapa aku begitu penasaran apa yang membuat para santri putra bersikap demikian. Dan saat itulah, aku sungguh terkejut. Gus Dewa tengah berjalan di belakangku. Seketika aku mundur, mempersilahkan putra Abah Yai itu untuk berjalan mendahuluiku. Namun kala itu, yang kulihat justru Gus Dewa yang tersenyum dan berkata,

“tidak apa-apa, Bening. Kamu duluan saja.”

Njenengan riyin mawon, Gus.” (Kamu duluan saja)  Aku menggeleng dalam tunduk.

“Sudah, kita jalan bersama saja kalo gitu.”

Dan malam itu, akhirnya kami berjalan beriringan. Tak benar-benar beriringan sebenarnya, Gus dewa berada dua langkah di depanku. Kami hanya berjalan sampai gedung madrasah tanpa obrolan apapun. Namun usai sekolah malam, Gus Dewa mengirim pesan padaku. Bertanya mengapa aku sampai terlambat berangkat dan menasihati agar esok tak lagi melakukan hal yang sama. Kami terus bertukar pesan hingga aku terlelap.

Malam berikutnya, bukannya menjalankan nasihat Gus Dewa, aku justru sengaja berangkat terlambat. Sibuk mencari-cari kegiatan ketika Mbak Ziya mengobraki para santri agar segera berangkat sekolah malam. Dan aku berhasil! Aku kembali berjalan seorang diri di asrama putra dengan Gus Dewa yang ada dua langkah di depanku. Hal itu terus berlanjut hingga beberapa malam. Setiap Gus Dewa bertanya mengapa aku terlambat lewat pesannya sebelum tidur, aku selalu berhasil meyakinkan dengan alasan yang jelas kubuat-buat. Aku melakukan kesalahan, bukan? Namun, entah mengapa aku sengaja melakukan kesalahan itu berulang-ulang. Apalagi alasannya jika bukan karena aku senang berjalan beriringan dengan Gus Dewa, meski tanpa obrolan apa pun. Jadi, itu namanya cinta?

Malam-malam konyol itu berakhir di malam ke tujuh. Gus Dewa memaksaku untuk jujur sebab ia tak percaya jika aku bisa terlambat terus menerus selama tujuh hari. Akhirnya aku jujur, aku hanya senang berjalan beriringan dengannya setiap malam. Maka, aku sengaja mencari cara agar terlambat. Toh, aku tak terlambat sekolah, aku hanya terlambat berangkat bersama rombongan santri putri. Dan sebuah kejutan, Gus Dewa ternyata juga memiliki rahasia pada tujuh malam itu. Malam itu, ia berkata,

“Aku juga sengaja berangkat terlambat, Bening. Aku tahu kamu sengaja melakukan ini sejak hari kedua. Aku sengaja menemani perjalanan kamu. Aku gak mau kamu digoda para santri putra. Tapi, hal ini tidak bisa terus menerus dilakukan. Tidak baik dilihat para santri.”

Aku tersenyum kala itu. Gus Dewa sengaja melakukannya, sama denganku. Aku sibuk menebak-nebak rasa, menganggap perasaan Gus Dewa sama denganku. Malam itu, aku benar-benar melambung dengan perasaan yang sebenarnya sungguh masih ambigu. Berbulan-bulan setelah itu, Gus Dewa jujur perihal perasaannya. Namun, bukannya senang, aku justru menangis, menolaknya. Ah sudahlah, rasanya kejadian 1,5 tahun yang lalu itu tak lagi perlu kuingat.

Aku jadi sebal dengan diriku sendiri. Mengapa sejak tadi otakku terus menerus berisi tentang Gus Dewa? Bukankah setahun ini, aku telah baik-baik saja tanpa pernah mengingat lelaki itu? Mengapa ia justru kembali muncul di pikiranku setelah memberikan sebuah undangan pernikahan?

Aku menoleh menatap Kak Aga sejenak. Abangku yang satu itu masih betah duduk terdiam di sampingku.

“Kak Aga,”

“Iya?”

“Kalo aku ngambil coklat punya Kak Aga, Kak Aga bakal tetep naruh coklat di tempat yang sama apa dipindahin?” Entah mengapa pertanyaan itu meluncur saja dari bibirku.

“Jelas di tempat yang sama, Hujan. Apa pun asal kamu suka, Kakak akan terus mempertahankannya.” Aku seketika menoleh. Sungguh! Aku terkejut dengan jawaban Kak Aga. Kulihat, ia tengah menatap lurus lapangan, ia seperti menjawab pertanyaanku tanpa kesadaran yang penuh.

“Kak,” aku sengaja memanggilnya dengan intonasi yang lebih tinggi.

“Eh, iya, Hujan. Itu, kita sedang bahas coklat, kan? Eh, tapi kamu gak suka coklat ya? Oh ya, tadi kan cuma perumpamaan. Eh, udah jam lima lebih. Kakak kayaknya ada acara habis ini. Kakak masuk dulu ya, mau pamit pulang ke Buya.” Kak Aga tergagap dan menjawab panggilanku dengan rentetan kalimat yang sungguh tak tertata. Aku hanya menatap kepergian Kak Aga dengan raut bingung. Abangku itu kenapa?

Lalu, aku tersadar. Aku memang tak begitu menyukai coklat. Pertanyaan yang kuajukan pada Kak Aga jelas hanya perumpamaan. Seharusnya jawaban Kak Aga juga berisi perumpamaan. Tapi, jawaban Kak Aga tadi? Apa maksudnya?

*****
Pas 2000 kata.

Hai, hello. Assalamualaikum. Masih inget Naya? Masih inget ceritanya Rain, Dewa, Aga? Masih ada yang sabar menanti mereka? Maaf sekali Naya baru bisa muncul sekarang.

Kalo kalian udah ada yang lupa ama ceritanya, boleh kok dibaca lagi dari awal, hehe.
Semoga suka yaaa.
Selamat membaca.

Jangan lupa,
Tekan bintang, ramaikan komentar, dan tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar 😘.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro