Dewa Mendewasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Nah, ini dia. Ke mana aja sih, Ning. Ummi udah nunggu tuh.” Cak Ghofur berdiri dengan wajah lega begitu aku sampai di depan pintu ndalem.

“Maaf, Cak, tadi lagi ngerekap takziran santri. Ummi ngapain manggil aku ya, Cak?” Aku menatap Cak Ghofur dengan raut penasaran.

“Aku juga gak tau, tadi tiba-tiba disuruh manggil gitu.” Cak Ghofur mengendikkan bahu, ia juga tak tahu kenapa Ummi memanggilku.

“Eh, tapi itu ada mobil. Ndalem lagi ada tamu?” Aku menatap pajero putih di tempat parkir ndalem. Siapa pula yang bertamu ke rumah Abah Yai malam-malam begini?

“Nah itu, tadi ada tamu. Terus tiba-tiba Ummi manggil kamu. Aku juga gak tahu. Udah, sana buruan masuk. Gak baik bikin Ummi nunggu.” Cak Ghofur mengibaskan kedua tangan, isyarat untuk mengusirku dari hadapannya.

“Iya iya.” Aku mengangguk sembari mengerucutkan bibir, pura-pura kesal dengan usirannya. Cak Ghofur terkekeh sebentar kemudian kembali duduk di balai depan ndalem.

Aku melepas sandal, meletakkannya di ujung teras dan segera masuk ke dalam ndalem. Ummi tengah duduk di ruang tamu bersama Ning Ana dan seorang perempuan cantik yang tak kukenali. Oh ya, Ning Ana adalah putri kedua Ummi, kakak dari Gus Dewa yang baru saja menjadi ibu tiga bulan lalu.

“Assalamualaikum, Ummi. Ngapunten radi dangu. Ummi malam-malam manggil saya ada apa, nggeh?” (Maaf agak lama) Aku mencium tangan Ummi, Ning Ana, dan seseorang itu kemudian duduk di lantai sembari menunduk.

“Waalaikumsalam, Nduk. Iya gakpapa. Ini loh, Ummi ada butuh sama kamu. Sini duduk di kursi, jangan di lantai gitu.” Ummi menatapku sembari tersenyum. Wajah beliau benar-benar meneduhkan, khas istri para kyai pada umumnya. Mendadak, aku rindu Bunda.

Mboten, Ummi. Di sini saja gakpapa.” (Tidak) Aku menggeleng pelan sembari tersenyum. Mana mungkin aku duduk di kursi yang sama dengan Ummi? Di mana takzimku sebagai murid jika hal itu sampai terjadi?

“Ya sudah, kalo gak mau Ummi ya gak maksa,” Ummi masih tersenyum. Kurasa beliau tak pernah marah. Lagi-lagi, sama seperti Bunda.

“Nah, Ning Bida. Kenalkan, ini Ning Rain, putri Kyai Rasyid dari pesantren Bahrotul Ulum, Malang.” Aku terbelalak. Bagaimana bisa Ummi tahu? 2,5 tahun di pesantren ini, kukira hanya Gus Dewa dan keempat temanku yang tahu kenyataan itu. Jangan-jangan, Ummi memang sudah tahu sejak dulu? Atau mungkin, Gus Dewa yang bercerita?

“Loh, masyaa Allah. Ini Ning Rain putrinya Buya Rasyid? Saya kok jadi sungkan duduk di sini. Biar saya ikut duduk di bawah saja.” Seseorang yang dikenalkan Ummi sebagai Ning Bida itu menatapku canggung.

“Eh, gak usah. Ning Bida di situ saja. Saya sudah biasa duduk di sini.” Aku menggeleng, tak menyetujui pemikiran Ning Bida. Bagaimana pun juga, posisiku di sini adalah santri sementara Ning Bida adalah tamu. Ummi kulihat tersenyum melihat interaksi kami.

“Nah, Nduk. Ini Ning Bida putrinya Kyai Hamdan dari pesantren Tarbiyatul ilmi, Lamongan.” Kali ini Ummi berganti mengenalkanku pada Ning Bida. Aku menyalami Ning Bida untuk kedua kalinya sembari mengangguk. Ning Bida melakukan hal yang sama.

Sejak kecil, hidupku kuhabiskan di luar pesantren Buya. Aku tak paham kyai mana pun, berikut dengan keturunan para kyai itu. Wajar jika aku tak mengenali Ning Bida apalagi abahnya. Namun, sepertinya Ning Bida bukan tipe orang sepertiku. Ia paham siapa Buya dan siapa aku. Ning Bida benar-benar sosok putri kyai pada umumnya. Cantik, lemah lembut, dan paham seluk-beluk kepesantrenan. Tentu saja sangat berbanding terbalik jika dibandingkan denganku yang sama sekali tak paham dunia itu.

“Kamu akhir minggu ini mau pulang ke Malang apa gak, Nduk? Kalo iya, Ummi mau nitip undangan buat Kyai Rasyid.” Suara Ummi membuatku mendongak, beliau tengah menatapku.

“Oh, iya, Ummi. Saya mau pulang.” Aku mengangguk. Sebenarnya, aku sedang tak ingin pulang akhir minggu ini. Namun, Ummi ingin menitip sesuatu untuk Buya, mana mungkin aku menolak?

“Nah, alhamdulillah. Ini undangannya, semoga Kyai Rasyid bisa datang ya. Masih sebulan lagi acaranya.” Ummi mengangsurkan sebuah undangan berwarna coklat padaku. Aku menerimanya sembari mengangguk pelan.
Ini undangan pernikahan? Kukira undangan untuk acara pesantren. Eh, tapi sebentar, D&B? Aku membalik undangan pernikahan itu dengan tangan gemetar.

Kami yang berbahagia:
Dewa dan Bida.

Gus Dewa? Aku tak salah membaca, bukan?  Gus Dewa menikah? Yang benar saja? Mengapa jantungku berdebar? Mengapa di hatiku masih ada sedikit perasaan tak rela? 1,5 tahun sudah.

Setiap hari, Kak Aga sibuk menasihatiku agar terus belajar dan tak memikirkan perihal jodoh. Aku selalu meng-iyakan karena kurasa hatiku memang telah bersih, tak ada lagi perasaan apapun, untuk siapa pun. Namun, hari ini, menatap undangan ini, mengapa hatiku merasa tercubit? Aku ini kenapa?

“Nah, Ning Bida. Biar Ummi yang bilang atau Ning Bida sendiri?” Aku lagi-lagi mendongak mendengar suara Ummi. Ning Bida kulihat tersenyum.

“Biar Bida saja,Ummi.” Ummi mengangguk. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Beliau berdua tengah membicarakan apa?

“Jadi begini, Ning Rain. Mohon maaf sekali sebelumnya. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya mau minta tolong sama Ning Rain. Nanti di acara pernikahan saya, Ning Rain bisa jadi salah satu pendamping saya sebagai mempelai wanita? Saya satu-satunya putri Abah, tidak punya saudara perempuan lagi. Mau mengambil santri Abah saya kira kejauhan,”

“tadi saya bilang sama Ummi mau minta tolong carikan santri sini saja. Ternyata beliau malah manggil Ning Rain ke sini. Saya sebenarnya luar biasa sungkan, masak menyuruh putri Buya Rasyid sebagai pendamping pengantin. Tapi, gak tau kenapa, lihat Ning Rain saya langsung merasa cocok. Mohon maaf sekali atas ketidak sopanan saya, Ning.” Ning Bida menatapku dengan ekspresi berharap dan canggung yang dikombinasikan. Aku tersenyum. Putri Kyai Hamdan ini kenapa lemah lembut sekali? Kurasa, tutur katanya mampu menghipnotis siapa pun. Wajar jika Gus Dewa memilihnya menjadi istri. Ah, kenapa hatiku sedikit tidak rela menyebut kalimat terakhir ini?

“Ning Rain?” Aku tergagap mendengar panggilan Ning Bida. Bagaimana bisa aku malah melamun disaat Ummi, Ning Ana, dan Ning Bida menanti jawabanku?

“Eh, iya. Maaf, Ning, saya malah ngelamun.” Aku tersenyum canggung.

“Jadi, gimana Ning Rain? Bisa?” Kali ini Ning Ana yang sedari terdiam mulai bersuara.

“In syaa Allah nggeh, Ning.” Aku mengangguk.
Lagi-lagi, posisiku di sini adalah santri. Seorang murid tak boleh menolak perintah gurunya. Maka, aku meng-iyakan permintaan Ning Bida.

“Alhamdulillah, terimakasih sekali, Ning.” Ning Bida menatapku semringah. Ia terlihat benar-benar menginginkan aku sebagai pendampingnya. Aku hanya tersenyum tipis.

Dulu, Gus Dewa yang ingin datang ke Malang, memintaku pada Buya. Gus Dewa berharap banyak padaku, aku juga. Sayangnya, aku sudah harus membunuh harapan-harapan itu. Demi kebaikan semua orang, pikirku saat itu. Kemudian sekarang, 1,5 tahun setelah hari itu, 1,5 tahun setelah Gus Dewa sengaja pergi dari kehidupanku, ia kembali dengan kabar mengejutkan. Ia akan menikah. Dan aku, seseorang yang dulu pernah ia minta sebagai pendamping hidup, justru akan menjadi pendamping istrinya selama prosesi menggenapkan hidup itu. Lucu sekali dunia ini.

“Ya sudah, Ummi cuma mau bilang itu, Nduk. Kamu boleh balik ke asrama. Maaf ya, Ummi jadi ganggu kegiatan kamu.” Ummi lagi-lagi tersenyum.

“Gakpapa, Ummi. Saya sedang gak ada kegiatan kok.” Aku menggeleng pelan.

Nggeh pun, saya pamit nggeh, Ummi.” (Saya pamit) Aku bangkit dari duduk, berjalan menggunakan lutut untuk menghampiri Ummi yang duduk di kursi. Aku menyalami beliau dan Ning Ana. Ketika ingin menyalami Ning Bida, putri Kyai Hamdan itu justru berdiri.

“Jangan menyalami saya, Ning Rain. Biar saya ikut Ning Rain keluar aja ya?” Ia menatapku, meminta persetujuan.

“Bida mau mengantar Ning Rain sampai luar. Boleh, Ummi?” Sebelum aku meng-iyakan, Ning Bida justru telah meminta ijin pada Ummi.

“Iya, boleh. Silahkan.” Ummi mengangguk.

“Assalamualaikum, Ummi.” Aku berpamitan sekali lagi pada Ummi kemudian segera berjalan mundur untuk keluar begitu salamku terjawab.

“Ning Rain, boleh saya minta nomor telepon njenengan?” (kamu dalam bahasa Jawa halus) Ning Bida menyentuh lenganku begitu kami berdua sampai di teras ndalem.

“Oh, boleh, Ning.” Aku segera menyebutkan nomor ponselku, Ning Bida mencatatnya di ponsel.

“Sekali lagi, terimakasih sekali, Ning Rain. Njenengan baik sekali.” Ning Bida tersenyum.

“Sama-sama, Ning. Saya padahal gak ngelakuin apapun. Kenapa dibilang baik?” aku terkekeh pelan. Ning Bida ikut terkekeh.

“Ning Rain, boleh saya meluk njenengan?” Ning Bida menatapku canggung. Aku mengangguk, kemudian lebih dulu memeluk Ning Bida.

“Setelah menikah, Ummi meminta saya tinggal di sini. Saya terbiasa hidup di pesantren Abi, tidak pernah keluar dari Lamongan. Sebenarnya, saya takut dengan permintaan Ummi, saya gak kenal siapa-siapa di sini. Tapi, saya gak bisa nolak. Pas ngelihat Ning Rain tadi, entak kenapa saya ngerasa lega. Ning Rain mau jadi teman saya?” Ning Bida berbicara panjang lebar di dalam pelukanku. Kasihan sekali putri Kyai Hamdan ini. Ah, apa nanti jika aku menikah, aku juga harus meninggalkan Buya, Bunda, dan Bulan?

“Iya, Ning. Kita berteman.” Aku mengusap punggung Ning Bida, memberinya ketenangan.

“Lagi-lagi, Ning Rain baik sekali. Terimakasih, Ning.” Ning Bida melepaskan pelukan dan menatapku semringah. Aku hanya terkekeh pelan.

“Ya sudah, saya balik ke asrama dulu, Ning. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Dan aku segera berjalan menuju asrama, bahkan tanpa menyapa Cak Ghofur yang masih menikmati kopinya di balai. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Semacam perasaan kecewa, takut, dan tak rela yang dikombinasikan. Aku benar-benar tak bisa membaca hatiku malam ini.

Dewa Faishal Abdillah
dan
Bidayatul Mujtahidah

Aku meraba dadaku ketika membaca dua nama itu. Mengapa ada setitik ketidak ikhlasan di sana? Sebenarnya, aku ini kenapa? Bukankah Gus Dewa bukan lagi menjadi siapa-siapa, di hatiku?

*****
Ning Rain, hayo katanya udah move on? Masak ditinggal nikah ama mantan calon gebetan aja nyesek? Haha.

Happy Jum'ah Mubarokah, udah baca al-kahfi belum?
Jan lupa!
Tekan bintang, ramaikan komentar, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat untuk bersandar 😘.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro